“Kini sudah saatnya para pemilih cerdas untuk merubah orientasinya kepada caleg pemula yang masih bersih dan heroik.”
Oleh Muhammad Yuntri
Tupoksi DPR-RI itu diatur pada pasal 20A UUD’45. Kewenangannya meliputi bidang legislasi, anggaran dan pengawasan. Tugas pengawasannya terhadap penyelenggara negara ditujukan kepada eksekutif pemerintahan maupun yudikatif peradilan dan institusi negara non departemen lainnya.
Eksistensi personal legislator DPR-RI juga dibekali dengan berbagai hak imunitas, hak angket, hak interpelasi, hak menyatakan pendapat dan lainnya. Hal ini sebagai ‘vitamin’ untuk percaya diri dalam menjalankan tugas kenegaraannya. Sehingga fungsi check and balances dalam pemerintahan akan terasakan jika semua hak tersebut difungsikan dengan baik. Dan penerapan azas good goveranance governance juga akan terkontrol di semua bidang pemerintahan.
Fasilitas legislator
Para legislator DPR juga mendapatkan honorarium khusus yang jumlahnya juga tidak kecil. Masih terngiang di telinga kita ketika wawancara podcast-nya Akbar Faizal dengan Krisdayanti, legislator dari PDIP yang secara spontan membeberkan honorariumnya selama bertugas di gedung Senayan yang terhormat itu. Mungkin tidak kurang dari Rp. 5 Miliar per tahunnya. Makanya tidak heran setiap pemilu legislatif banyak caleg yang bermimpi dan berebut untuk kedudukan tersebut, walau ada yang masih tetap idealis.
Pertarungan Caleg dhuafa
Seorang timses caleg secara sesumbar mengatakan bahwa untuk memperpanjang periode keanggotaannya di DPR jauh lebih mudah ketimbang berjuang sebagai pemula ataupun volunteer. Khusus bagi caleg pemula kadang hanya mengandalkan idealisme perubahan dalam kampanye dan modal finance yang pas-pasan. Sehingga di lapangan dicandai dengan sebutan “caleg dhuapa.”
Bagi caleg incumbent, mesin partai secara struktur bisa dimanfaatkan untuk mengulangi “success story.” Faktor kultur/budaya masyarakat yang sangat sering mengharapkan uluran tangan dari para caleg yang berduit bisa sebagai pelengkapnya. Maka kloplah sudah. Tidak heran jika ada caleg incumbent tidak perlu turun sosialisasi ke dapilnya. Semua permainan legal dan non legal di lapangan sudah khatam bagi timsesnya, yang penting fulusnya oke. Sebagaimana kita ketahui bahwa jumlah suara sah yang jadi kursi di DPR hampir sama jumlah dengan suara sah, tapi tidak jadi kursi di DPR. Bagaikan remah-remah, sisa-sisa suara yang ditinggalkan peraihnya akan bisa dimanfaatkan dalam suatu transaksional untuk dijadikan satu budel suara menjadi kursi tiruan guna bisa melenggang ke gedung Senayan. Mungkin hanya timses yang lebih paham akan hal ini.
Jabatan tanpa pembatasan periode
Sang caleg incumbent berduit cukup menerima laporan dan menunggu hari pelantikannya saja di gedung Senayan. Begitulah peristiwanya dari periode ke periode berikutnya. Bahkan sampai saat ini tidak ada aturan yang membatasi periode masa jabatan bagi seorang legislator. Jadi tidak heran jika ada yang sudah menjabat 4 atau 5 periode di DPR sana. Semua seluk beluk ketatanegaraan dan personal audit terhadap penyelenggara negara akan mudah mereka pahami. Tidak tertutup kemungkinan mereka bermain karaoke politik mengikuti alunan suara musik dari eksekutif atau sesama legislator dari partai lainnya. Sampai saat ini belum ada gugatan judicial review tentang pembatasan periode jabatan anggota DPR-RI ini di Mahkamah Konstitusi (MK)-RI.
Hipokrit/Pengkhianat bangsa
Permasalahan akan mulai muncul di negara ini jika tupoksi DPR ini tidak efektif lagi. Apakah karena adanya tekanan atau larangan dari sang ketua umum partai untuk tidak berbicara dan mempermasalahkan sikap tindak eksekutif dalam fakta penegakkan hukum atau lainnya. Di sinilah muncul dikotomi idealis sang legislator. Semula berjuang untuk idealisme perubahan demi kepentingan rakyat wong cilik katanya, guna mewujudkan tujuan negara sebagaimana tertera pada pembukaan UUD’45. Akan tetapi tiba-tiba saja harus berubah haluan menjadi petugas partai yang harus tunduk jika tidak ingin dirinya diganti secara tiba-tiba (PAW). Bukankah awalnya si legislator incumbent punya marwah senator mewakili rakyat guna memperjuangkan aspirasi rakyat di dapil yang memilih dirinya. Tetapi kenapa setelah dapat tiket kursi di gedung Senayan tiba-tiba menjadi cuek dan tidak peduli lagi dengan idealisme awal?, dan malah larut dengan permainan barunya di antara para koleganya di gedung Senayan itu. Sikap seperti itu lebih cenderung dinilai rakyat sebagai sifat yang hipokrit/pengkhianat.
Akrobatik Pelanggaran Konstitusi
Sekilas terasakan bahwa negara ini dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Pelanggaran dimaksud terjadi secara nyata tanpa perlawanan dan teguran dari Parlemen R.I -Tap MPRS No. XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan harga mati selama ini. Produk per-UU tertinggi di negara ini tiba-tiba dilanggar begitu saja oleh Presiden Jokowi dengan terbitnya Keppres No.17 tahun 2022 tanggal 26 Agustus 2022. Secara hirarkhi per-UU urutan Keppres ini jauh di bawah Tap MPR yang bisa menisbikan eksistensi TAP MPRS tersebut. Keppres tentang pembentukan tim penyelesaian non-judisial pelanggaran HAM berat masa lalu terhadap para korban dari keluarga eks anggota PKI, jelas-jelas memutar balik fakta dan membelokkan sejarah bangsa Indonesia. Bahkan sudah direalisasikan bagi 5.000 orang eks keluarga PKI mendapatkan santunan dalam bentuk semacam BPJS dari LPSK dan Komnasham.
– Penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Omnibuslaw Ciptakerja. Perppu ini dirasakan sangat tidak memihak kepada para buruh maupun komponen bangsa Indonesia lainnya di berbagai bidang kehidupan. Terkesan Presiden lebih cenderung berpihak kepada para investor maupun pengusaha ketimbang kepentingan rakyat banyak. Telah menimbulkan friksi dan bentrokan fisik antara rakyat dengan aparat penegak hukum yang telah membawa banyak korban dan sangat merugikan rakyat. Bahkan presiden Jokowi mengancam akan memecat jabatan Kapolda dan Kapolres jika tidak mampu mengamankan investasi asing tersebut di Indonesia.
Sebagai catatan, saat Perppu Omnibuslaw ini diketok palu oleh Wakil Ketua DPR Azis Syamsudin di gedung DPR Senayan, tidak terlihat satu lembaran kertas pun di meja anggota dewan tersebut, sehingga tidak diketahui berapa jumlah halaman dari Perppu tesebut sebenarnya. Cerminan tidak adanya suatu kepastian hukum di situ.
– Pemberian izin untuk serangkaian investasi baru begitu mudah diberikan dan terkesan sangat memanjakan para investor asing dengan layanan karpet merah. Aturan bagi kepemilikan HGU selama 190 tahun dan 160 tahun untuk HGB. Semuanya sangat tidak logik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdampak besar kepada rakyat, kecuali ada maksud lain yang jelas-jelas tidak akan sesuai dengan tujuan negara sebagaimana tertera dalam pembukaan UUD’45. Bagi mereka yang awam tindakan tersebut terkesan membuka peluang untuk terciptanya kolonialisme baru di Indonesia.
Mana sense of crysis dari anggota parlemen. Rakyat justru menunggu sikap tindak mereka dalam menyikapi dan meminta pertanggungjawaban Presiden Jokowi untuk masalah ini jika memang berpihak sebagai wakil rakyat, baik secara partisan maupun secara perorangan. Kalau selalu dibiarkan, quovadis bangsa dan negara ini nantinya ?!
Senator yang kehilangan Marwah
Tupoksinya sebagai Senator dan wakil rakyat kenapa tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh?. Kalau hanya sekedar basa-basi tentulah sangat mengecewakan bangsa Indonesia. Harapan masyarakat begitu besar kepada para wakil rakyat yang telah mereka pilih di pemilu legislatif. Tetapi kenapa untuk hal yang sangat urgen dan prinsip di negara ini, para legislator justru menghindar dari tupoksinya itu. Mana tanggung jawabnya ?.
Apapun alasannya untuk tidak berjuang mati-matian demi membela kepentingan rakyat akan ditafsirkan sebagai bentuk pengkhianatan. Setidaknya dinilai sebagai suatu “perselingkuhan” untuk kepentingan lain selain rakyat. Apakah marwah kesenatorannya telah hilang. Atau sengaja dilupakan untuk kepentingan pribadi jangka pendek. Kemudian memberdayakan kembali timsesnya untuk meraih dan memperpanjang periode jabatan berikutnya di gedung Senayan.
Ganti legislator lama menuju perubahan
Kini sudah saatnya para pemilih cerdas untuk merubah orientasinya kepada caleg pemula yang masih bersih dan heroik. Pilih caleg baru, lupakan caleg incumbent yang tidak konsisten dengan tupoksinya. Sudah semestinya pemilih lebih cerdas untuk memilih para wakilnya di parlemen guna menuju perubahan dan perbaikan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara ini ke depan. Pelajari gagasan mereka sebelum menjatuhkan pilihan. Hindari politik uang yang sangat menghinakan kualitas pemilih yang ditukar dengan suara rakyat seharga puluhan atau ratusan ribu rupiah saja untuk penderitaan lima tahun mendatang jika mereka tidak amanah.
Revisi System Pemilu atas pasal tertentu
-Judicial Review PT 4 persen :
Suatu ide cerdas telah dilakukan oleh Partai Ummat, tanggal 4 September 2023 yang telah menggugat ketentuan Parliamentary Threshold (PT) 4 persen. MK-RI diminta menetapkan penafsiran baru terhadap PT 4 persen tersebut tidak hanya dimaknai perolehan suara sebanyak 4 persen dari perolehan suara yang sah saja, tetapi juga dimaknai secara alternatif terhadap perolehan 4 persen dari total jumlah kursi di DPR-RI, yang ekuivalen dengan 24 kursi.
Hal ini sangat memungkinkan untuk dikabulkan karena mengangkat masalah keadilan, kesetaraan dan proporsional dalam pelaksanaan pemilu legislatif sebagai azas pemilu. Keadilan pemilu tersebut akan bisa terwujud jika adanya kesetaraan dan proporsional antara jumlah peroleh suara dengan jumlah kursi di DPR-RI. Kalau mengacu kepada aturan pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, sangat memungkinkan terbuang percumanya perolehan suara oleh suatu partai, walau perolehan kursinya di DPR-RI hanya sebanyak 20 kursi dan tidak mencapai 24 kursi. Karena dianggap tidak lolos PT 4 persen, maka partai yang bersangkutan tidak bisa diikutkan dalam parlemen.
Dengan demikian kursi yang sempat diperolehnya itu otomatis akan diperebutkan oleh partai incumbent yang selama ini dinilai tidak amanah dengan berbagai masalah kebangsaan sebagaimana dijabarkan di atas. Dan sejumlah partai tersebut akan tetap berkuasa dan merajalela dengan pola-pola lama tanpa bisa dipaksa kecuali dengan aturan per-UU yang dibuat di DPR-RI yang nantinya akan dibuat oleh partai-partai incumbent itu lagi sebagai kewenangan “open legal policy.”
-Judicial Review C1 E-Court :
Bahwa selain itu bisa juga dilakukan gugatan judicial review terhadap pasal 60 huruf d UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang intinya meminta MK-RI untuk menambahkan satu frasa dalam pasal tersebut, sehingga mewajibkan KPPS untuk membuat berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta membuat sertifikat penghitungan suara dan wajib menyerahkannya kepada saksi peserta pemilu, pengawas TPS, dan PPK dan secara e-court kepada MK melalui PPS. Penambahan satu frasa tersebut sama sekali tidak akan berdampak kepada anggaran pemilu maupun teknis kinerja PPS secara signifikan. Akan tetapi hal itu akan bisa membawa perubahan mendasar dalam menegakkan kebenaran materiil bagi peserta pemilu, baik perorangan maupun partai yang akan bersengketa di MK. Karena MK yang selama ini diperkirakan sangat mahfum tentang kecurangan yang dilakukan oknum yang terlibat dalam proses pemilu tersebut, tetapi tidak bisa berbuat tanpa data khusus di tangannya.
Dengan adanya mekanisme seperti ini azas pemilu yang jujur dan adil secara das sollen akan terwujud, karena MK sebagai Mahkamah akan bertindak adil dengan data pembanding yang akurat ada di tangannya secara valid dan itu diperolehnya secara real time pada saat KPPS menyerah C1 kwk secara bersamaan kepada seluruh saksi, pegawas TPS dan PPK yang juga dikirimkan secara elektronik via email kepada MK-RI.
Dengan kemajuan ini akan membawa perubahan mendasar kepada pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil dan memperkecil kecurangan pemilu selanjutnya dimasa mendatang. Dan akan menjamin masuk dan duduknya legislator baru yang jujur dan baik serta intelektual di Parlemen periode berikutnya dari berbagai partai baru.
Harapan dari semua itu tidak lain adalah akan berimbangnya legislator pendatang baru dengan legislator status quo, sehingga bisa memberi semangat baru dalam memperjuangkan kemajuan bangsa dan negara ini di masa depan yang terbebas dari belenggu para oligarkhi yang telah mencengkram dan mengendalikan negara ini untuk kepentingan kelompok mereka dibanding kepentingan rakyat Indonesia dan pribumi Indonesia.
Ganti Legislator Lama dengan yang baru
Dari pemikiran di atas, legislator status quo akan berpikir ulang untuk bertindak curang membodohi rakyat calon pemilihnya di pileg. Karena rakyat pemilih akan semakin cerdas memilih wakil-wakilnya di parlemen. Sedangkan di sisi lain, infrastruktus perangkat pemilu maupun mekanisme pelaksanaan pemilu akan semakin baik untuk melaksanakan azas pemilu jujur, adil dan proporsional ke depan. Maka sudah saatnya legislator busuk dan berkhianat untuk diganti dengan calon legislator baru di parlemen yang benar-benar mengutamakan dan memperjuangkan kepentingan rakyat sesuai ketentuan yang berlaku menuju tujuan negara R.I sebagaimana tercantum pada pembukaan UUD’45. Halmana harus dilaksanakan secara konsisten, jujur dan terhormat sebagai Senator wakil rakyat yang memilihnya.
Jakarta, 12 September 2023
H. Muhammad Yuntri, SH., MH – Praktisi hukum senior berdomisili di Jakarta