Opini  

Kebijakan Pajak Karbon: Pendorong Perubahan atau Sekadar Janji Manis?

Kebijakan Pajak Karbon: Pendorong Perubahan atau Sekadar Janji Manis?
Foto:Dok.natura-sciences.com

“Saatnya pemerintah memantapkan langkah untuk segera mengimplementasikan pajak karbon. Bukan hanya sekadar janji, tetapi sebuah langkah konkret yang akan menyelamatkan bumi, tempat kita bernaung dan bermimpi.”

Oleh Ariana Setyaningrum dan Frania Audrey Marisya

Kemenkumham Bali

Apakah Anda pernah membayangkan bagaimana dunia kita akan terlihat jika suhu global terus meningkat?. Di Indonesia, tantangan ini bukan sekadar sebuah prediksi, melainkan sudah menjadi kenyataan yang harus dihadapi. Data dari Global Carbon Project pada tahun 2020 menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-10 sebagai penghasil emisi karbon terbesar di dunia, menyumbang sekitar 1,69 persen dari total emisi global dengan rata-rata emisi per kapita sebesar 2,16 juta ton. Dengan posisi ini, Indonesia kini berada di peringkat ke-14 dalam Global Climate Risk Index 2024, menegaskan status kita sebagai salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Fenomena ini tidak hanya mengancam lingkungan, tetapi juga memperburuk kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk memperkuat komitmennya dalam menurunkan emisi karbon melalui Paris Agreement dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Menyikapi Emisi Karbon di Indonesia

Melalui perumusan Nationally Determined Contributions (NDC), Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen secara mandiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030, serta menuju Net Zero Emission (NZE) paling lambat pada tahun 2060. Sejalan dengan negara lain, langkah penting dalam mendukung target ini adalah dengan menerapkan pajak karbon, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Dalam UU HPP, pajak ini tidak hanya dikenakan pada pembelian barang yang mengandung karbon, tetapi juga pada aktivitas yang menghasilkan emisi karbon, dengan tarif minimum Rp30,00 per kilogram CO2e atau satuan yang setara. Bertujuan untuk membuat pelaku ekonomi menyadari dan mempertimbangkan dampak negatif dari tindakan mereka terhadap lingkungan yang diabaikannya. Dengan cara ini, pajak karbon diharapkan dapat mendorong peralihan ke Energi Bersih dan Terbarukan (EBT). Kemudian, Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021, memperkuat kebijakan ini dalam mendukung target kontribusi nasional serta pengendalian emisi GRK secara berkelanjutan.

Namun, implementasi pajak jarbon masih mengalami kendala dan direncanakan tertunda hingga 2025 karena pertimbangan kesiapan infrastruktur, ketergantungan industri pada bahan bakar fosil, dan potensi dampak yang mungkin ditimbulkan terhadap masyarakat berpenghasilan rendah.

Mengintip Keberhasilan Pajak Karbon di Finlandia dan Swedia

Keberhasilan dan kegagalan suatu kebijakan tidak hanya ditentukan oleh penerapan regulasi, tetapi juga oleh sejauh mana kesiapan pemerintah dan sektor-sektor terkait untuk mengurangi emisi karbon tanpa mengorbankan daya saing ekonomi. Dalam konteks ini, Indonesia dapat mengintip pengalaman negara-negara seperti Finlandia dan Swedia yang berhasil mengimplementasikan pajak karbon sebagai alat pengendalian emisi. Dengan tujuan utamanya untuk mengubah perilaku pelaku industri, bukan sekadar menambah pendapatan negara.

Finlandia, sebagai negara pertama yang menerapkan Pajak Karbon, berhasil menuru:nkan emisi karbon hingga 19,49 persen dalam tahun 2000 hingga 2018, sementara Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh sebesar 114 persen dalam periode 2000 hingga 2020 (World Bank, 2020). Di sisi lain, Swedia mencatat peningkatan emisi sebesar 27 persen dari tahun 1990 hingga 2018, bersamaan dengan peningkatan PDB sebesar 50 persen selama periode 1990-2019.

Di Swedia, pemerintah memberikan insentif kepada masyarakat melalui pengurangan tarif pajak penghasilan badan menjadi 27 persen dan pajak penghasilan pribadi menjadi 30 persen. Selain pajak jarbon, Swedia juga menambahkan pajak energi, pajak transportasi, dan pajak sumber daya sebagai bagian dari strategi menyeluruh untuk mencapai target iklim. Pemerintah Swedia dan Finlandia bahkan memberikan pengecualian pajak karbon pada sektor-sektor tertentu, seperti di sektor pertambangan pada Swedia dan sektor kayu pada Finlandia. Meskipun begitu, sektor-sektor ini tetap dikenakan pungutan lain melalui skema carbon pricing, yang berarti tetap memperhitungkan emisi dalam sistem pengendalian emisi nasional.

Saatnya Pajak Karbon Menjadi Kenyataan

Kesuksesan negara lain terhadap kebijakan ini seharusnya memotivasi pemerintah Indonesia untuk segera melaksanakan pajak karbon. Dengan belajar dari Finlandia dan Swedia, Indonesia dapat mengambil langkah strategis untuk memastikan pajak karbon sebagai pendorong perubahan nyata.

Pertama, infrastruktur yang siap adalah fondasi agar kebijakan pajak karbon berjalan efektif, sehingga pemerintah Indonesia perlu mempercepat pembangunan sistem pemantauan dan pengukuran emisi karbon yang terintegrasi untuk memastikan transparansi, serta memudahkan pengawasan dan evaluasi dalam menurunkan emisi. Kedua, pemerintah dapat memberikan pengecualian Pajak Karbon bagi sektor-sektor yang bergantung pada bahan bakar fosil, namun tetap memasukkan emisi dalam skema carbon pricing untuk memastikan pengendalian emisi tanpa menghambat sektor-sektor tersebut. Ketiga, insentif pajak dapat menjadi daya tarik bagi industri untuk beralih ke energi bersih. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan insentif pajak guna meringankan beban pajak bagi pembayar pajak karbon. Terakhir, pemerintah perlu menekankan bahwa pajak karbon bertujuan untuk mengubah perilaku, bukan hanya sebagai sumber pendapatan, sehingga fokus utama tetap pada pencapaian target iklim dan peralihan ke energi bersih guna memperkuat komitmen Indonesia dalam mencapai NDC dan NZE.

Kini saatnya pemerintah memantapkan langkah untuk segera mengimplementasikan pajak karbon. Bukan hanya sekadar janji, tetapi sebuah langkah konkret yang akan menyelamatkan bumi, tempat kita bernaung dan bermimpi.

*Penulis Ariana Setyaningrum dan Frania Audrey Marisya (Mahasiswi Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia)

BACA JUGA  Catatan Akhir Tahun 2022: Tanggung Jawab SMSI dan Bisnis Media di Tahun Politik