“Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat perlu bergandengan tangan untuk mengatasi kendala-kendala ini, sehingga elektrifikasi transportasi tidak hanya menjadi wacana ambisius, tetapi juga solusi nyata bagi masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.”
Oleh Ibnu Abbas Al Ghifari
Di tengah maraknya berita mengenai isu perubahan iklim global, upaya dekarbonisasi menjadi salah satu agenda yang tak terelakkan yang harus dilakukan Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara dengan kontribusi emisi karbon yang signifikan di dunia. Faktor seperti deforestasi dan kebakaran hutan, lalu masih besarnya ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil menjadikan negeri ini salah satu negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia. Namun, Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam melihat fakta yang terjadi di lapangan saat ini. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah meluncurkan berbagai kebijakan strategis untuk mempercepat langkah menuju ekonomi hijau.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan dalam sambutannya di forum Indonesia Net Zero Summit 2023 menyampaikan bahwasannya dekarbonisasi merupakan hal yang paling penting untuk dilakukan. Ia mengungkapkan bahwa saat ini, Indonesia telah berada di jalur yang tepat guna mencapai target net zero di tahun 2060 dan sekaligus menjadi bentuk pemenuhan Perjanjian Paris 2015 dalam menjaga kenaikan suhu rata-rata yang tidak melebihi 1,5 derajat celcius.
Salah satu contoh upaya dekarbonisasi yang saat ini sedang digencarkan oleh pemerintah Indonesia adalah membangun ekosistem kendaraan bermotor listrik berbasis baterai. Kendaraan listrik dianggap sebagai alternatif yang ramah lingkungan karena tidak menghasilkan emisi secara langsung selama digunakan. Namun, upaya peralihan ekosistem ke kendaraan listrik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pemerintah Indonesia masih perlu menghadapi tantangan-tantangan yang dapat saja muncul saat upaya peralihan ekosistem ke kendaraan listrik ini.
Tantangan Ekonomi: Harga Mobil Listrik Tinggi dan Daya Beli Masyarakat yang Redah
Tantangan utama adalah dari segi ekonomi masyarakat. Saat ini, kondisi perekonomian Indonesia bisa dikatakan sedang tidak baik-baik saja. Di tengah kondisi meningkatnya tingkat PHK, pengangguran dan naiknya harga kebutuhan pokok menyebabkan turunnya daya beli masyarakat, termasuk penurunan daya beli kendaraan. Dikutip dari CNBC, berdasarkan data penjualan PT Astra Internasional Tbk., penjualan mobil mengalami penurunan hingga 23 persen. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan serta evaluasi pemerintah terkait apakah penerapan kebijakan insentif pajak untuk mobil listrik diterapkan di waktu yang tepat padahal kondisi perekonomian sedang mengalami penurunan.
Ditambah dengan harga mobil listrik yang mahal menjadikan pembeliannya bukan menjadi opsi utama pembelian masyarakat terutama di tengah kondisi mahalnya kebutuhan pokok. Berdasarkan hasil data survei Katadata Insight Center (KIC) menunjukkan bahwa harga yang tinggi menjadi salah satu alasan utama mengapa masyarakat masih enggan dan ragu untuk beralih ke kendaraan listrik. Bahkan ketika harga BBM kian meningkat, masyarakat masih cenderung enggan beralih ke kendaraan listrik (Annur, 2022). Mayoritas masyarakat menganggap harga kendaraan listrik baik motor maupun mobil terlalu tinggi.
Pemerataan Jaringan Listrik dan Pengisian Daya yang Belum Memadai
Selain dari sisi ekonomi, infrastruktur yang belum memadai juga menjadi tantangan percepatan adopsi kendaraan listrik. Keberadaan charging station sebagai infrastruktur utama dalam proses percepatan elektrifikasi masih belum merata. Bahkan di beberapa wilayah di Jakarta pun, charging station masih sulit untuk ditemukan. Terlebih, hingga saat ini masih banyak wilayah terpencil di Indonesia yang belum dialiri listrik. Sehingga tantangan keterbatasan jaringan listrik seharusnya menjadi prioritas utama dalam percepatan elektrifikasi kendaraan listrik. Namun dalam pemerataan aliran listrik dan juga SPKLU, PLN selaku pihak utama seringkali menghadapi kendala di bidang pendanaan. Untuk dapat memperbanyak jumlah SPKLU dan pemerataan aliran listrik, PLN membutuhkan investasi dari pihak swasta untuk membangun SPKLU dan juga pembangkit listrik terutama di daerah terpencil.
Tantangan Lingkungan: Polusi Tidak Langsung dari Pembangkit Listrik
Dalam wawancara dengan Akademisi sekaligus Kepala Program Studi Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia, Inayati, mengenai percepatan elektrifikasi kendaraan, ia mempertanyakan efektivitas kebijakan pemerintah dalam mengurangi polusi udara. Menurutnya, meskipun mobil listrik tidak menghasilkan emisi saat dikendarai, kendaraan mobil listrik tetap membutuhkan pasokan listrik.
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa mayoritas bauran energi primer pembangkit listrik di Indonesia masih berasal dari batu bara, dengan persentase mencapai 67,21 persen pada tahun 2022. Penggunaan batu bara dalam bauran energi bahkan tercatat mengalami peningkatan, seiring dengan bertambahnya kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang mencapai 42,1 Gigawatt (GW) pada tahun yang sama. Berdasarkan hal tersebut, jika peningkatan penggunaan mobil listrik menyebabkan PLTU harus membakar lebih banyak batu bara untuk memenuhi kebutuhan listrik, maka yang terjadi hanyalah pergeseran polusi (shifting pollution). Asap yang sebelumnya dihasilkan dari knalpot kendaraan bermotor kini beralih ke cerobong PLTU. Dampak ini tentu bertolak belakang dengan tujuan elektrifikasi kendaraan untuk mengurangi polusi udara, kecuali jika Indonesia mampu beralih ke sumber energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan (clean energy).
Inayati juga berpendapat bahwa saat ini kondisi Indonesia masih belum siap untuk melakukan percepatan adopsi kendaraan listrik. Selain karena masih belum meratanya energi listrik, Indonesia masih belum bisa beralih menggunakan clean energy dalam hal produksi listrik. Dengan belum beralihnya ke penggunaan clean energy dalam memproduksi listrik, lingkungan akan tetap mengalami pencemaran.
Pencemaran berupa polusi udara yang terjadi akan berdampak negatif pada kondisi lingkungan dan kesehatan masyarakat, terutama bagi warga yang tinggal pemukiman yang dekat dengan area PLTU.
Dikutip dari website Kementerian Kesehatan, polusi udara bisa berdampak pada peradangan saluran pernapasan, gangguan penglihatan, gangguan kognitif, bahkan kanker paru-paru. Sedangkan dari sisi lingkungan, ia menjelaskan bahwa pemerintah juga perlu memperhatikan sampah baterai atau e-waste yang dihasilkan dari baterai kendaraan listrik serta kemacetan yang dihasilkan akibat dikeluarkannya kebijakan insentif fiskal untuk mobil listrik yang dapat menambah frekuensi kendaraan di jalan raya.
Tantangan Politik: Ketidakpastian Kebijakan Insentif Pajak di Masa Depan
Selanjutnya, pergantian kursi kepresidenan juga menjadi hal yang krusial bagi keberlanjutan pelaksanaan insentif pajak pada kendaraan listrik. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyebutkan bahwasannya pemerintah saat ini tengah mendorong untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, ia mengajukan perpanjangan beberapa insentif yang akan berakhir pada tahun 2024. Beberapa insentif pajak yang diusulkan meliputi Pajak Penjualan atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM DTP), Pajak Penjualan Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk Kendaraan Listrik Berbasis Baterai (KLBB), serta PPN DTP untuk sektor properti.
Namun hingga saat ini durasi dan kuota perpanjangan insentif masih dalam tahap pembahasan bersama Kementerian Keuangan. Hal tersebut menandakan bahwa belum ada kepastian terkait perpanjangan insentif perpajakan untuk kendaraan listrik, ditambah banyaknya asumsi masyarakat bahwa insentif tersebut hanya dirasakan segelintir orang saja.
Selain itu, berdasarkan diskusi APBN tahun 2025, Kementerian Keuangan menargetkan defisit anggaran sebesar 2,5 persen sampai 2,8 persen. Padahal defisit anggaran sesuai yang ada pada undang-undang keuangan negara tidak boleh mencapai 3 persen.
Oleh karena itu, pemerintah akan sangat berkepentingan untuk menjaga defisit anggaran tersebut. Jika berbagai insentif ini kemudian menyebabkan penerimaan negara turun dan belanja negara naik sehingga kemudian jadi defisit negara mendekati 3 persen, maka pemerintah hanya akan memiliki opsi untuk memungut saja pajak kendaraan listrik dengan menghapus insentif pajak atau berhutang ke negara lain.
Dalam menghadapi ambisi besar menuju elektrifikasi transportasi, tantangan-tantangan ekonomi, infrastruktur, lingkungan, dan politik menjadi pengingat bahwa proses ini memerlukan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan. Meski kendaraan listrik menawarkan solusi potensial untuk dekarbonisasi, keberhasilannya sangat bergantung pada kesiapan ekosistem pendukung, seperti harga yang terjangkau, infrastruktur pengisian daya yang memadai, transisi ke energi bersih, serta stabilitas kebijakan jangka panjang. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat perlu bergandengan tangan untuk mengatasi kendala-kendala ini, sehingga elektrifikasi transportasi tidak hanya menjadi wacana ambisius, tetapi juga solusi nyata bagi masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Referensi
- https://www.cnbcindonesia.com/news/20240417094129-4-530923/penjualan-mobil-ri-turun-23-daya-beli-masyarakat-lemah
- https://www.cnbcindonesia.com/research/20230523113140-128-439740/ebt-jauh-pembangkit-listrik-ri-masih-didominasi-batu-bara
- https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220713143354-532-820996/sri-mulyani-62-persen-pembangkit-listrik-pln-masih-berbasis-batu-bara
- https://ayosehat.kemkes.go.id/bahaya-polusi-udara-bagi-kesehatan
- https://www.cnbcindonesia.com/research/20230523113140-128-439740/ebt-jauh-pembangkit-listrik-ri-masih-didominasi-batu-bara
*Penulis Ibnu Abbas Al Ghifari adalah Mahasiswa Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia