“Pasar modal bukan tempat ngopi-ngopi cantik sambil nunggu cuan jatuh dari langit. Yang dijual di sini bukan tahu bulat, tapi saham perusahaan alias emiten. Sebelum nyemplung, wajib tahu kenapa si emiten nekat tampil di bursa. Kalau nggak paham motif, siap-siap jadi korban agenda orang lain”
Oleh : Dr. Kemal H Simanjuntak, MBA
Pasar modal tak ubahnya gelanggang para predator bermodal besar. Di balik narasi idealisme IPO, tersembunyi agenda exit, persepsi, dan valuasi fiktif. Tulisan ini membongkar cara main mereka dengan gaya jenaka tapi jujur agar pemain kecil tak jadi camilan di meja spekulan.
Main Saham Itu Bukan Kaya Beli Bakso
Pasar modal bukan tempat ngopi-ngopi cantik sambil nunggu cuan jatuh dari langit. Yang dijual di sini bukan tahu bulat, tapi saham perusahaan alias emiten. Sebelum nyemplung, wajib tahu kenapa si emiten nekat tampil di bursa. Kalau nggak paham motif, siap-siap jadi korban agenda orang lain. Jangan bawa hati ke lapangan berdarah ini, karena ini arena orang dewasa bukan taman bermain bocil-bocil manja.
IPO: Bukan Cerita Cinta, Tapi Exit Strategy
Di buku OJK, alasan perusahaan IPO itu mulia banget: biar kepemilikan menyebar, modal makin sehat, dan perusahaan jadi keren. Tapi kenyataan lebih mirip sinetron kriminal. Banyak emiten yang listing cuma pengen ‘Cabut pelan-pelan’. Alias: nyebar risiko ke publik, dapet duit gede di depan, lalu tinggal bilang “dadah”.
Paham agenda itu penting, biar nggak kena tipu gaya kampanye Pilpres. Kampanye IPO pakai influencer keuangan, motivator pasar, media massa, dan komunitas saham yang isinya yel-yel semangat 45. Narasinya: teknologi keren, lapangan kerja luas, ekosistem solid. Ujung-ujungnya, jebakan FOMO alias Fear of Missing Out.
Bandar Itu Bukan Mafia, Tapi Hampir Mirip
Bandar bukan cuma istilah di meja judi. Di pasar modal, mereka adalah manajer aset yang pegang investor institusi. Mereka pawang pasar, pencipta valuasi, dan pengatur drama kapitalisasi. Jadi kalau saham naik-turun nggak jelas, bisa jadi mereka yang narik tali benang mainan.
Biasanya sebelum IPO, emiten udah ngobrol duluan sama investor kakap. Duit dari utang dalam bentuk obligasi konversi disiapkan buat dikonversi jadi saham. Misalnya, Gojek dan Tokopedia. Gojek utang USD 450 juta ke Telkomsel, Tokopedia utang USD 500 juta ke Temasek.
Semua utang itu diubah jadi saham pas IPO. Artinya? IPO bukan buat ngembangin bisnis, tapi buat nutup utang dan nyari untung dari harga saham.
Valuasi: Saham Serupiah, Dijual Tiga Ratus
Waktu IPO, harga saham GoTo Rp 300, padahal nilai bukunya Rp 1. Itu ibarat beli bakwan seribu, dijual harga steak wagyu. Enak bener yang pegang obligasi dapat saham murah, dijual mahal, dan cuan di depan. Publik? Ya beli dengan harga premium, terus tinggal berdoa semoga nggak nyangkut di puncak.
Pemerintah Ngapain? Nonton Aja
Kalau saham jeblok, pemerintah nggak bisa intervensi. “Pasar bebas,” katanya. Tapi anehnya, kalau kerugian terlalu besar, negara malah masuk buat “selamatkan”. Contohnya: Danantara mau masuk GoTo buat mencegah dikuasai asing. Padahal dari awal udah tahu GoTo bukan cari untung dari operasi, tapi dari persepsi.
Persepsi: Senjata Pemusnah Massal
Saham GoTo nggak pernah kasih laba, tapi tetap banyak yang beli. Kenapa? Karena persepsi dibentuk, bukan datang sendiri. Market maker, liquidity provider, dan trader elite bekerja sama bikin harga naik lewat transaksi margin call, short selling, repo. Retail? Jadi bulan-bulanan, kayak anak kos kehabisan mi instan tanggal tua.
Data Fundamental? Kadang Cuma Kosmetik
Analisis fundamental kadang bikin geleng-geleng kepala. PER, PBV, PEG semua kelihatan cakep di kertas, tapi pas lihat harga saham, beda dunia. Apalagi kalau sahamnya properti atau perbankan. Properti? Lihat kebijakan LTV dulu. Perbankan? Cek dana pihak ketiga (DPK), lalu cocokkan sama fasilitas makroprudensial BI. Kalau bank nyedot dana BI banyak, artinya rapuh, walau laporan keuangan kinclong.
Dividen? Ngarep Aja Dulu
Kadang ada saham yang kasih dividen seiprit. Kalau dihitung, butuh 100 tahun biar balik modal. Tapi tetap aja dibeli rame-rame. Karena apa? Karena berharap harga naik. Ujung-ujungnya, masuk perangkap pump-and-dump, arbitrase, high-frequency trading. Hanya spekulan dan pendatang baru yang jadi korban. Yang lain? Sudah siap cover posisi sambil ngeteh.
Goto Dan Model Bisnis “Ngebebanin Mitra”
Model bisnis GoTo: platform untung, driver buntung. Aplikator investasi di sistem digital, sementara operasional di lapangan diserahkan ke pihak lain. Penghasilan driver kecil, fee aplikator cuma sepertiga. Tapi kalau dikali jutaan driver, duitnya segunung. Arus kas besar, valuasi naik, saham mahal. Padahal kontribusi ke driver? Ala kadarnya.
IPO datang, harga saham turun. Pemegang saham publik rugi. Negara turun tangan via Danantara. Uang negara buat nutup lubang yang digali orang lain. Semua atas nama “mencegah dominasi asing”. Padahal, dari awal skemanya jelas: capital gain buat elit, risiko buat rakyat.
Kesimpulan: Pasar Modal Itu Rimba, Bukan Kebun Binatang
Jangan baper, jangan naif, jangan percaya semua yang bercahaya itu emas. Pasar modal penuh jebakan: dari influencer, dari narasi, dari valuasi palsu. Kalau mental nggak siap, mending mundur teratur. Atau, belajar dulu ampe otak panas. Karena di sini yang survive bukan yang paling pintar, tapi yang paling disiplin dan paham permainan.
Catatan Tambahan
Kalau ada yang nanya “Kenapa bisa begitu?”, jawab aja pelan: “Karena ini bukan pasar takjil.”
*Penulis Dr. Kemal H Simanjuntak, MBA adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK).