“Banyak kepala daerah yang diam-diam mengagumi Dedi, tapi tak berani menyuarakan atau meniru langkahnya karena takut dianggap “turun kelas”.
Oleh Kemal H Simanjuntak Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)
Dalam atmosfer politik nasional yang kerap diwarnai gemerlap simbolik dan kompetisi status, muncul sosok seperti Dedi Mulyadi, seorang pemimpin yang tampil sederhana, bersahaja, dan dekat dengan rakyat sebagai anomali yang membangkitkan harapan.
Mantan Bupati Purwakarta sekaligus Gubernur Jawa Barat ini membuktikan bahwa politik tidak harus tampil kaku, birokratis, dan jauh dari denyut kehidupan masyarakat kecil. Ia memilih jalan yang lebih membumi: merevitalisasi pasar tradisional, melestarikan budaya lokal, memperbaiki birokrasi lewat pelayanan langsung, dan menenun kembali jembatan antara pemerintah dan rakyat.
Namun yang mengejutkan, keberhasilan Dedi yang disambut hangat oleh masyarakat justru tidak menjadi inspirasi bagi banyak elit politik di provinsi lain. Bukannya ditiru, pendekatan inovatifnya malah diabaikan seolah keberhasilan itu tak layak dicontoh hanya karena berasal dari sosok yang “tidak satu kelas”. Bukan substansi kebijakan yang ditolak, tetapi identitas pembawanya yang tak sesuai dengan logika hierarki kekuasaan lama.
Fenomena ini menyentuh akar persoalan politik Indonesia hari ini: dominasi simbol dan status di atas substansi dan dampak nyata. Politik kita masih digerakkan oleh logika warisan feodalisme modern, tempat trah, gelar, dan kedekatan dengan pusat kekuasaan menjadi tiket utama untuk diakui.
Tokoh-tokoh dengan latar belakang militer, partai besar, atau birokrasi nasional seolah membentuk kasta tersendiri dalam arena kekuasaan. Dalam konstruksi semacam ini, hadirnya figur seperti Dedi Mulyadi dianggap “mengganggu tatanan”, karena ia menunjukkan bahwa efektivitas tidak selalu lahir dari pusat.
Pierre Bourdieu pernah mengingatkan bahwa dalam medan kekuasaan, yang menentukan bukan hanya apa yang dikatakan, tapi siapa yang mengatakan. Inilah yang membuat banyak elit enggan belajar dari Dedi. Mereka takut kehilangan status simbolik dengan mengakui keunggulan dari yang dianggap lebih rendah. Ini bukan persaingan kebijakan, ini adalah resistensi status.
Sayangnya, gengsi semacam ini berbiaya mahal dan yang menanggungnya adalah rakyat. Ketika kebijakan yang terbukti efektif tidak ditiru hanya karena sumbernya dianggap “tidak pantas” secara simbolik, maka kesempatan memperbaiki kehidupan masyarakat di tempat lain ikut terenggut.
Padahal, daerah-daerah lain menghadapi masalah yang sama: pelayanan publik yang timpang, birokrasi yang lambat, hilangnya identitas lokal dalam pembangunan, hingga jarak psikologis antara pemimpin dan rakyat. Pendekatan Dedi menjawab semua itu dengan cara yang sederhana namun bermakna.
Efek kredibilitas sumber dalam psikologi sosial menjelaskan bahwa gagasan dari luar kelompok “elit” sering kali diabaikan. Dalam konteks politik, hal ini diperparah oleh ketakutan akan dianggap lemah jika mengadopsi ide dari pihak yang tidak memiliki legitimasi simbolik. Maka tak heran, banyak kepala daerah yang diam-diam mengagumi Dedi, tapi tak berani menyuarakan atau meniru langkahnya karena takut dianggap “turun kelas”.
Namun di tengah perubahan zaman, sikap seperti ini harus ditinggalkan. Era digital dan keterbukaan informasi menuntut pemimpin untuk rendah hati dalam belajar dan terbuka terhadap inovasi, tak peduli dari mana datangnya. Merasa tinggi hati di atas gengsi tak akan membawa rakyat ke sejahtera. Justru keberanian mengakui keberhasilan orang lain terutama yang dianggap di luar lingkaran kekuasaan adalah ciri dari pemimpin sejati.
Politik kita membutuhkan budaya baru: budaya kolaborasi lintas batas simbolik, di mana keberhasilan siapa pun adalah kemenangan bersama. Bukan saling menjatuhkan atau membungkam karena gengsi, melainkan membangun dari praktik terbaik yang sudah terbukti. Justru dalam suasana yang penuh tantangan ini, pembelajaran dari bawah (bottom-up learning) adalah fondasi penting untuk merancang solusi yang nyata.
Ironisnya, jika sikap resisten terhadap praktik baik seperti yang dicontohkan Dedi terus dipertahankan, maka sistem kepemimpinan kita akan terus berjalan di tempat. Ketika pemimpin lebih peduli menjaga gengsi ketimbang menyerap ide baik, maka mereka bukan hanya gagal sebagai individu tetapi mengkhianati mandat kepercayaan publik.
Kini, saatnya para pemimpin daerah dan nasional mengoreksi arah. Keberhasilan tak mengenal hierarki. Inspirasi tak harus datang dari pusat. Dan belajar dari yang dianggap kecil bukanlah kerendahan, melainkan kebesaran jiwa.
Karena dalam kepemimpinan, ukuran sejatinya bukan siapa yang paling tinggi, tapi siapa yang paling mau turun untuk mendengar, melayani, dan mengubah.
Dan kalau kita terus memilih gengsi di atas kebijakan, maka sejarah akan mencatat: yang kalah bukan hanya Dedi Mulyadi tapi kita semua.
*Penulis adalah Senior Consultant, Asesor LSP Tata Kelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)