“Investasi Pencegahan sebagai Strategi Kesehatan Nasional: Menutup Jurang Paradoks antara Biaya Pengobatan dan Upaya Preventif”
Oleh Sri Rijki Septiyeni
Mengapa Kita Lebih Memilih Membayar Mahal untuk Sakit daripada Berinvestasi Murah untuk Sehat?
Indonesia saat ini berada pada persimpangan penting dalam pembangunan kesehatan. Kita dihadapkan pada kenyataan pahit: angka penyakit kronis meningkat, sementara upaya pencegahan belum menjadi prioritas utama. Padahal, pencegahan adalah strategi paling hemat biaya sekaligus paling efektif menjaga masyarakat tetap sehat.
Beban Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti diabetes, hipertensi, jantung, dan kanker terus meningkat setiap tahun. Ironisnya, di tengah ancaman tersebut, alokasi anggaran untuk upaya promotif dan preventif justru masih sangat terbatas. Paradoks ini tidak hanya berkaitan dengan pengambilan keputusan teknis, tetapi juga mencerminkan mentalitas reaktif dalam sistem kesehatan kita.
Kesenjangan Anggaran yang Mencolok
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa lebih dari 70% anggaran kesehatan masih difokuskan pada upaya kuratif pengobatan dan perawatan penyakit yang sudah terjadi. Sementara itu, program promotif dan preventif mendapatkan kurang dari 5% dari total anggaran. Angka ini sangat kontras dengan rekomendasi WHO yang mendorong alokasi 15 – 20% untuk kegiatan pencegahan.
Sebagai perbandingan, biaya pengobatan pasien diabetes dengan komplikasi dapat mencapai 10 – 15 juta rupiah per tahun, belum termasuk biaya cuci darah yang dapat mencapai ratusan juta rupiah sepanjang hidup. Padahal, skrining dini dan edukasi gaya hidup sehat hanya membutuhkan biaya sekitar 100 – 200 ribu rupiah per orang per tahun. Perbandingan ini mencapai rasio efektivitas biaya 1:50 hingga 1:100.
Mengapa Kita Mengabaikan Logika Ekonomi yang Jelas?
Berbagai studi internasional telah membuktikan bahwa setiap 1 dolar yang diinvestasikan untuk pencegahan PTM mampu menghemat 5 – 10 dolar biaya pengobatan di masa depan. Finlandia berhasil menurunkan angka kematian akibat penyakit jantung sebesar 65% dalam 25 tahun melalui kampanye diet sehat dan aktivitas fisik. Thailand menerapkan pajak minuman berpemanis dan mengalokasikan hasilnya untuk program kesehatan masyarakat. Hasilnya, prevalensi obesitas anak turun 8% dalam lima tahun.
Sementara itu, Indonesia memiliki program seperti Posbindu PTM dan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas), namun pelaksanaannya belum optimal akibat minimnya dukungan anggaran, fasilitas, serta komitmen lintas sektor.
Akar Permasalahan: Mengapa Paradoks Ini Berulang?
Tekanan Politik Jangka Pendek
Pencegahan membutuhkan waktu lama untuk menunjukkan hasil. Pejabat dengan masa jabatan terbatas cenderung memilih program yang hasilnya cepat terlihat, seperti pembangunan rumah sakit atau pengadaan alat kesehatan.Bias Kognitif dalam Pengambilan Keputusan
Masyarakat dan pengambil kebijakan cenderung lebih peduli pada ancaman yang sudah terjadi (orang yang sakit) dibanding risiko masa depan.Sistem Monitoring yang Lemah
Kesuksesan pencegahan sulit diukur karena indikatornya adalah “orang tidak jadi sakit”, sehingga kurang menarik bagi pembuat kebijakan.Pengaruh Industri Kesehatan
Industri farmasi dan alat kesehatan memiliki kepentingan ekonomi dalam mempertahankan pendekatan kuratif yang lebih menguntungkan.
Dampak Ekonomi yang Mengkhawatirkan
Paradoks ini membawa konsekuensi ekonomi yang serius. PTM menyumbang hampir 60% klaim BPJS Kesehatan, yang menyebabkan defisit besar setiap tahunnya. Bank Dunia memperkirakan Indonesia kehilangan 1 – 2% PDB per tahun akibat dampak PTM terhadap produktivitas.
Sekitar 15 – 20% keluarga Indonesia mengalami kemiskinan akibat biaya kesehatan yang bersifat katastrofik. Jika tidak segera diatasi, beban ini dapat mengancam keberlanjutan sistem jaminan kesehatan nasional dan stabilitas ekonomi negara.
Reorientasi Kebijakan Kesehatan Nasional
Untuk mengatasi paradoks ini, Indonesia perlu melakukan transformasi struktural dalam kebijakan kesehatan, antara lain:
Reformasi Anggaran Kesehatan
Tingkatkan alokasi anggaran promotif dan preventif menjadi minimal 15% dalam lima tahun ke depan.Kebijakan Fiskal Berbasis Kesehatan
Terapkan pajak gula dan minuman berpemanis, naikkan cukai rokok, serta subsidi bahan pangan bergizi. Pendapatan pajak ini perlu dialokasikan secara khusus untuk upaya pencegahan PTM.Penguatan Primary Healthcare
Puskesmas harus menjadi pusat pencegahan PTM melalui skrining, konseling, dan pemantauan kesehatan masyarakat, yang mana pada saat ini puskesmas juga gencar melaksanakan Program Cek Kesehatan Gratis.Kolaborasi Lintas Sektor
Pendidikan, pertanian, perdagangan, dan tata ruang harus terlibat dalam menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan.Sistem Insentif untuk Fasilitas Kesehatan
Ubah pendekatan pembiayaan dari pay-per-service menjadi pay-for-performance berbasis outcome populasi.
Kesehatan adalah Investasi, Bukan Beban
Indonesia memiliki momentum besar untuk melakukan transformasi kebijakan kesehatan. Bonus demografi hanya akan menjadi berkah jika masyarakatnya sehat. Paradoks mahalnya biaya pengobatan dibanding investasi pencegahan harus diakhiri.
Saatnya kita mengubah cara pandang. Pencegahan bukan program sampingan, melainkan strategi utama untuk membangun masa depan bangsa yang produktif, kompetitif, dan sejahtera. Pertanyaannya bukan apakah kita mampu membiayai pencegahan, tetapi apakah kita siap menanggung konsekuensi jika tidak melakukannya.
*Penulis adalah Mahasiswi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Maju









