Realita di Balik Peringatan 75 Tahun Nakba Palestina

Rana Setiawan. Spirit Hari Kemenangan Idul Fitri Tingkatkan Solidaritas untuk Palestina
Rana Setiawan (Dok.Pribadi)

“Kini sudah waktunya untuk mengakui bahwa jika warga suatu negara sebagian besar dijadikan pengungsi, berada di bawah pendudukan asing, terkurung di tanah yang semakin menyusut, dan berada di bawah ancaman permanen kelompok pemukim bersenjata, maka dari sisi ini seseorang tidak bisa terus bersikap “netral”.”

Oleh Rana Setiawan

Kemenkumham Bali

Dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk pertama kalinya peringatan Hari Nakba Palestina diselenggarakan di Markas Besar PBB New York Amerika Serikat (AS) sesuai amanat Majelis Umum PBB (A/RES/77/23 tanggal 30 November 2022).

Komite PBB untuk Pelaksanaan Hak Rakyat Palestina (CEIRPP) menyelenggarakan pertemuan khusus tingkat tinggi dalam rangka memperingati 75 tahun Nakba di Markas Besar PBB New York, Senin 15 Mei 2023, mulai pukul 10.00 hingga 12.30 (Waktu New York).

Peringatan 15 Mei dikenal oleh banyak orang sebagai Hari Nakba, hari yang khusus memperingati peristiwa dimana ratusan ribu orang Palestina terpaksa melarikan diri atau diusir dari rumah mereka dalam perang atas berdirinya ‘negara sepihak’ Israel pada 1948.

Nakba, yang dalam bahasa Arab berarti “malapetaka”, diakui sebagai hari yang paling kelam bagi bangsa Palestina, tetapi di lain pihak dirayakan oleh pemukim Israel sebagai “Hari Kemerdekaan,” karena peristiwa itu juga disebut sebagai awal pembentukan “negara sepihak” Israel. Tanggal peringatan masing-masing sedikit berbeda, karena perayaan Israel berubah setiap tahun berdasarkan kalender Ibrani.

Peristiwa Nakba itu sendiri adalah salah satu akar dari permasalahan atas apa yang hari ini bisa disaksikan di tanah yang terjajah, Palestina. Kejadian itu juga merupakan akar dari penderitaan bangsa Palestina yang berkelanjutan. Para penduduk lokal Palestina secara terpaksa terusir dan tidak pernah diterima untuk kembali. Peristiwa Nakba bukanlah peristiwa masa lalu karena sejatinya masih terjadi hingga sekarang.

Seluruh organisasi Hak Asasi Manusia mainstream kemudian setuju pada fakta bahwa warga Palestina hidup di situasi apartheid. Tindakan menyudutkan bangsa Palestina adalah bagian dari tindakan kejahatan perang. Peristiwa Nakba mengarah pada tragedi pengusiran massal dan pembersihan etnis terhadap rakyat Palestina serta penggusuran kota-kota dan pedesaannya di bawah tangan para pemukim ekstrimis Yahudi dan milisi Zionis.

Pembantaian terjadi di desa-desa Palestina, saat milisi Zionis melakukan pembunuhan tanpa pandang bulu terhadap warga yang tak bersenjata dan menguburkannya secara massal. Diperkirakan sekitar 15.000 warga Palestina tewas dan lebih dari 750.000 lainnya harus lari dari rumah mereka dan hidup sebagai pengungsi.

Malapetaka atau bencana besar Palestina, Nakba, juga adalah salah satu konsekuensi terpenting dari pembentukan “negara sepihak” Israel pada Mei 1948. Zionis Israel kemudian tiada hentinya menerapkan strategi yang dirangkum David Ben-Gurion, Perdana Menteri Israel pertama, yang berkata bahwa situasi di Palestina akan diselesaikan dengan kekuatan militer. Ini adalah titik awal penjajahan di Palestina dan Yahudisasi di bumi Palestina.

Sementara itu agresi militer Israel di Gaza serta penodaan dan penyerbuan ektrimis Yahudi ke Masjid Al-Aqsa dan Kota Al-Quds (Yerusalem) yang masih berlanjut merupakan bukti kekalnya sistem apartheid dan penjajahan yang sudah digagas para pendiri negara sepihak Israel itu. Berdirinya negara sepihak Israel pada 78 persen dari wilayah Palestina tepat terjadi 51 tahun setelah konferensi Zionis pertama diadakan di Kota Swiss Basel.

Keturunan para korban Nakba sekarang sudah berlipat ganda dan sebagian besar masih tinggal di berbagai negara di seluruh dunia. Presiden Biro Pusat Statistik Palestina (PCBS) Ola Awad mengatakan, Ahad (14/5/2023), 75 tahun sejak Nakba Palestina, jumlah warga Palestina di seluruh dunia telah berlipat ganda, sekitar 10 kali lipat. Populasi penduduk Palestina di seluruh dunia adalah 14 juta pada akhir 2022, dan lebih dari setengahnya tinggal di Palestina yang bersejarah.

Perkiraan populasi menunjukkan bahwa jumlah penduduk Palestina pada akhir 2022 di Tepi Barat, termasuk di Yerusalem adalah 3,2 juta. Sekitar 2,2 juta jiwa di antaranya hidup di Jalur Gaza, dan Otoritas Pendudukan Israel terus menguasai 85 persen wilayah Palestina bersejarah yang berjumlah 27 ribu kilometer persegi (km2) itu.

Sementara jumlah syuhada Palestina dan Arab yang gugur terbunuh sejak Nakba tahun 1948 hingga hari ini (di dalam dan di luar Palestina) mencapai sekitar 100 ribu orang, dan jumlah syuhada yang gugur dalam Intifada Al-Aqsa antara 29 September 2000 hingga 31 Desember 2022 sebanyak 11.540 orang. Masa paling berdarah adalah tahun 2014 dengan jumlah syuhada 2.240 orang Palestina, dan 2.181 orang di antaranya berasal dari Jalur Gaza selama perang di Gaza.

Khusus selama 2022, jumlah syuhada Palestina mencapai 231 orang, 56 di antaranya adalah anak-anak dan 17 wanita. Sedangkan jumlah warga Palestina yang terluka mencapai sekitar 10.000 orang pada 2022. Belum lagi agresi militer Israel yang dilancarkan ke Jalur Gaza sejak Selasa-Sabtu, 9-13 Mei 2023, mengakibatkan sejauh ini 33 warga Palestina gugur, dan sebagian besar di antaranya warga sipil.

Theodor Herzl, bapak pendiri gerakan Zionis, berkata ”Jika pada suatu hari kita berhasil menguasai Yerusalem dan saya masih hidup pada saat itu, saya akan menghapus segala hal yang tidak suci bagi orang-orang Yahudi di Yerusalam. Saya akan memindahkan semua barang antik di dalam Yerusalem, bahkan jika (barang itu) telah berusia berabad-abad lamanya”.

Maka, otoritas pendudukan Israel kemudian mengambil langkah-langkah cepat Yahudisasi ke Yerusalem untuk melenyapkan situs bersejarah Islam dan Kristen serta mengusir warga Palestina dari kota Yerusalem dengan melakukan operasi deportasi dan pengusiran penduduk lokal untuk menggantikan mereka dengan warga Yahudi Israel dari seluruh dunia.

Selama 2022 otoritas pendudukan Israel menyetujui sekitar 70 proyek perencanaan untuk membangun lebih dari 10 ribu unit permukiman di Yerusalem, dan pada masa itu pula para pemukim ekstrimis Yahudi, di bawah perlindungan pasukan militer pendudukan Israel melakukan sekitar 8.724 serangan terhadap warga Palestina dan harta benda mereka.

Serangan-serangan itu juga menyebabkan hancurnya 10.291 pohon zaitun. Ekstremis Yahudi juga menghancurkan banyak situs infrastruktur yang melayani warga Palestina, termasuk jalan, jaringan air dan sanitasi serta tempat rekreasi.

Melihat fakta-fakta tersebut, bagi Israel, pengambilan paksa dengan kekerasan 78 persen wilayah Palestina pada peristiwa Nakba 1948 tidaklah cukup. Penyerobotan tanah, pengusiran dan penindasan tidak pernah berhenti terjadi walau hanya sehari.

Proyek permukiman kolonial Israel di Palestina telah terlihat sebagai permulaan untuk menyingkirkan warga Palestina dari rumah dan kampung halaman mereka, dan lantas menggantinya dengan penduduk Yahudi Israel. Inilah eskalasi hari ini dan tindakan perlawanan orang-orang Palestina hanya bisa dipahami dalam konteks yang dijelaskan ini.

Mengulangi pernyataan dari Kedutaan Besar Palestina di Jakarta yang diterima penulis, kini sudah waktunya untuk mengakui bahwa jika warga suatu negara sebagian besar dijadikan pengungsi, berada di bawah pendudukan asing, terkurung di tanah yang semakin menyusut, dan berada di bawah ancaman permanen kelompok pemukim bersenjata, maka dari sisi ini seseorang tidak bisa terus bersikap “netral”.

*Rana Setiawan adalah Kepala Peliputan Kantor Berita MINA/Wakil Sekjen Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI).

BACA JUGA  Gagal Berhaji, 5 Calon Haji Indonesia Ditolak Imigrasi Masuk Arab Saudi

Tinggalkan Balasan