“Masing-masing kita punya peran yang sama, sesuai kemampuan yang dimiliki, dan karena masalah Masjid Al-Aqsa ini menjadi (salah satu) ukuran keimanan dan akidah seseorang, maka perjuangan ke arah itu (pembebasan Al-Aqsa) selamanya tidak akan pernah terputus.”
Oleh Rana Setiawan
Belum lama ini Ketua Komite Tinggi Islam di Kota Al-Quds, Syaikh Ikrima Sabri menegaskan, jamaah Muslimin Palestina tidak akan membiarkan otoritas pendudukan Israel mewujudkan tujuannya untuk melakukan “pembagian secara waktu dan tempat” di Masjid Al-Aqsa.
“Meskipun penjajah Israel mendeportasi para penjaga dan jamaah yang bersiaga dari Masjid Al-Aqsa, kami tidak akan membiarkan mereka merealisasikan tujuannya dengan melakukan pembagian masjid secara waktu dan tempat,” tegasnya dalam sebuah pernyataan tertulis yang dirilis Pusat Informasi Palestina, Ahad (13/2/2022).
Ia menyatakan, pembagian secara waktu adalah untuk mengalokasikan waktu khusus bagi orang-orang Yahudi di Masjid Al-Aqsa, di mana umat Islam pada waktu tersebut tidak diperbolehkan berada di dalam masjid.
Sedangkan pembagian secara tempat adalah memberikan sebagian area Masjid Al-Aqsa khusus untuk orang-orang Yahudi. Mereka dikonsentrasikan mengambil bagian area Masjid Al-Aqsa, termasuk lingkungan Gerbang Rahmah, salah satu mushala yang ada di dalam kompleks, terletak di dinding Timur Masjid Al-Aqsa.
Gerbang Ar-Rahmah adalah gerbang paling besar dan indah di Masjid Al-Aqsa. Orang-orang Barat menyebutnya sebagai Gerbang Emas (Golden Gate). Kata “gerbang” mungkin dapat membuat salah paham, karena sebenarnya itu adalah bangunan kecil setelah menjadi gerbang utama menuju Al-Aqsa yang digunakan oleh Bani Umayyah.
Namanya mengacu pada pemakaman Muslim bersejarah Al-Rahma yang berdekatan dari luar tembok. Pemakaman itu termasuk kuburan para sahabat Syaddad ibn Aws dan Ubadah ibn as-Shamit.
Bangunan kecil itu kemungkinan besar dibangun pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, dan Imam Abu Hamid Al-Ghazali konon pernah tinggal di sudut Gerbang Rahmah ketika dia tinggal di Kota Al-Quds.
Gerbang tersebut ditutup dari luar dengan batu, disebabkan oleh keinginan otoritas pendudukan untuk mengontrol mereka yang memasuki Al-Aqsa melalui gerbang itu. Seluruh pintu yang mengarah langsung ke luar Kota Al-Quds ditutup.
Otoritas Pendudukan Israel menduduki Al-Quds Timur, lokasi Al-Aqsa berada, saat Perang Enam Hari pada 1967. Entitas Zionis itu kemudian menyatakan Al-Quds sebagai ibu kota dari negara mereka pada 1980. Klaim itu tak pernah diakui dunia internasional.
Setelah otoritas pendudukan menguasai tembok bagian barat Al-Aqsa, Tembok Al-Buraq pada 1967 itu, mereka “mengarahkan pandangannya” ke bagian selatan dan timur Al-Aqsa.
Di sisi selatan yang sejajar dengan Al-Aqsa, penggalian dilakukan demi mencari sisa-sisa dari kuil, tapi yang mereka temukan adalah Istana Umayyah. Terlepas dari fakta bahwa itu merupakan reruntuhan bangunan Islam, mereka menguasainya dan membuat perubahan untuk memberikan nuansa Yahudi.
Kemudian, di sisi timur mereka berencana menguasai Masjid Al-Marwani yang berlokasi di bawah tanah dan dapat menampung 5.000 jamaah. Gerakan Islam Palestina merenovasinya pada tahun 1996 dan rencana untuk merebutnya digagalkan.
Tidak hanya itu, Markas Komite Zakat Al-Quds berlokasi di dalam bangunan Gerbang Ar-Rahmah, namun polisi Israel menutupnya pada 2003 dengan dalih terorisme. Hingga kini, bangunan itu tetap ditutup dan kosong.
Sebuah bukit kecil terbentuk di dekat Gerbang Ar-Rahmah akibat kotoran dan limbah yang dikeluarkan dari Masjid Al-Marwani pada 1996 yang kini dikenal sebagai Bukit Gerbang Ar-Rahmah.
Otoritas Pendudukan Israel tidak mengizinkan pembersihan kotoran dan limbah dari Al-Aqsa, atau pun mengizinkan setiap pekerjaan atau pembersihan dilakukan. Sejumlah pemuda pernah mencoba membersihkan area tersebut, namun Israel melarangnya.
Syaikh Sabri menambahkan, rencana pendudukan Israel dan Yahudisasi kompleks suci ini dapat digagalkan oleh kesadaran penduduk Al-Quds serta umat Muslim dunia dan berkat pembelaan mereka terhadap Al-Quds.
Dia mengatakan, Otoritas Pendudukan Israel menerapkan apa yang diinginkannya di dalam Kota Al-Quds, dan tidak ada yang menentangnya kecuali rakyat Palestina.
Pada saat yang sama, imam dan khatib Masjid Al-Aqsa itu memperingatkan bahwa pendudukan Israel mengepung Al-Quds dan mengisolasi dari sekitarnya, dengan tujuan untuk melemahkan dan mencegah orang Palestina memasukinya.
Dirinya mengemukakan, Kota Al-Quds sedang dalam bahaya, mengingat hadirnya pos-pos pemeriksaan militer zionis, penutupan jalan, perampasan tanah, dan Israelisasi pendidikan.
Syaikh Sabri juga menyatakan, otoritas pendudukan Israel mengeksploitasi ketentuan Perjanjian Oslo untuk melakukan Yahudisasi dan mengubah status quo yang ada di Kota Al-Quds.
Berbagai bentuk ancaman dan bahaya dihadapi situs tersuci ketiga bagi umat Islam ini, di antaranya ancaman dibakar, diserbu, digali dasarnya, dinodai, dihalangi pengunjungnya, dikepung, dinajisi dan tindakan penistaan lainnya.
Hal itu semua telah terjadi dan terus menerus dilakukan oleh para ekstrimis Yahudi yang didukung oleh Otoritas Zionis Israel.
Bahkan hampir setiap hari kelompok pemukim Yahudi ekstremis menyerbu halaman Masjid Al-Aqsa. Mereka melakukan ritual Talmud di bawah perlindungan ketat kawanan polisi Israel.
Kewajiban Bela Al-Aqsa
Mencermati kondisi Masjid Al-Aqsa dan kaum Muslimin di Palestina yang hingga saat ini masih dalam penjajahan Zionis Israel, jelas wajib bagi kaum Muslimin terjajah untuk membela dan mempertahankan diri dengan jiwa dan harta mereka, sampai nantinya memperoleh kebebasan hakiki, terlepas dari kezaliman Zionis Israel.
Sebab, penjajahan sangat ditentang dalam ajaran Islam. Karena itu, setiap negeri Muslim yang terjajah, khususnya Palestina di mana terdapat Masjid Al-Aqsa, wajib melepaskan dirinya dari penjajahan.
Selanjutnya, kewajiban membebaskan Masjid Al-Aqsa dan Palestina itu bukan hanya kewajiban bagi warga Muslimin Palestina, tetapi juga kewajiban seluruh umat Islam, sebagai satu kesatuan Muslimin.
Permasalahan Palestina harus menjadi permasalahan paling utama yang menjadi perhatian kita. Oleh karena Palestina adalah sebuah negeri Islam yang diberkahi, negeri tempat Isra Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassallam dan tempat beliau bertolak Mira’j ke langit.
Sedangkan Masjid Al-Aqsa yang terletak di Palestina adalah Masjid kedua di bumi yang dibangun setelah Masjidil Haram di Arab Saudi.
Umat Muslim di seluruh dunia harus menumbuhkan perhatian terhadap permasalahan yang menimpa warga Palestina, termasuk permasalahan pertanahannya, dan mengembalikannya sebagai tanah kaum Muslimin lagi.
Kita dapat memberikan segala bantuan yang kita mampu kepada saudara-saudara kita, warga Palestina yang terjajah, baik berupa harta, jiwa, waktu, ilmu, maupun kontribusi lainnya.
Selain itu, kita harus mampu memberikan apa yang kita punya untuk menolong penyelesaian masalah tersebut, baik berupa semangat maupun ungkapan perasaan kita yang bisa memicu semangat untuk turut serta memperjuangkannya.
Begitu pun kewajiban bagi para wartawan dan penulis serta kalangan akademisi. Mereka perlu, bahkan harus menulis persoalan Masjid Al-Aqsa, Kota Al-Quds, dan Palestina, sehingga semua umat Islam paham, sampai kemudian Muslim seluruh dunia bisa mengunjungi Masjid Al-Aqsa kapan saja.
Masih teringat nasehat pamungkas dari Syaikh Ikrima Sabri saat penulis mendapat kesempatan bertemu beliau saat Safari Dakwah Ramadhan 1437H di Bandung, 13 Juni 2016 lalu:
“Masing-masing kita punya peran yang sama, sesuai kemampuan yang dimiliki, dan karena masalah Masjid Al-Aqsa ini menjadi (salah satu) ukuran keimanan dan akidah seseorang, maka perjuangan ke arah itu (pembebasan Al-Aqsa) selamanya tidak akan pernah terputus.”
Tentunya kita takkan pernah bisa membayangkan Masjid Al-Aqsa terbagi menjadi dua kawasan yang masing-masing diperuntukkan bagi warga Muslim di satu sisi, dan warga Yahudi di sisi lain.
*Penulis, Rana Setiawan, adalah Ketua Bidang Kerjasama dan Kemitraan Aqsa Working Group (AWG) dan Kepala Peliputan Kantor Berita MINA.