Audit Konstitusional Proyek KCIC: Membangun atau Menjerat Kedaulatan Ekonomi?

Audit Konstitusional Proyek KCIC: Membangun atau Menjerat Kedaulatan Ekonomi?
Ichsanuddin Noorsy (Foto: istimewa)

“Proyek KCIC seharusnya menjadi pelajaran bahwa kemandirian ekonomi tidak dapat dibangun di atas ketergantungan. Audit yang sejati bukan sekadar menghitung angka, melainkan menegakkan konstitusi. Audit yang melahirkan kedaulatan, bukan hanya laporan angka.”

Oleh Ichsanuddin Noorsy

Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCIC) sejak awal digadang sebagai simbol modernitas dan kemajuan infrastruktur nasional. Namun di balik gemerlap narasi “lompatan peradaban”, tersembunyi pertanyaan mendasar, apakah proyek ini benar memperkuat kedaulatan ekonomi bangsa, atau justru menjerat kita dalam ketergantungan fiskal dan teknologi?.

Pertanyaan itu kini menjadi semakin relevan setelah biaya proyek membengkak, beban fiskal meningkat, dan manfaat ekonominya tak kunjung terasa di tingkat lokal. Dalam konteks inilah, audit KCIC tak cukup dilihat sebagai pemeriksaan administratif, tetapi harus menjadi audit konstitusional sebuah evaluasi menyeluruh terhadap apakah pembangunan ini masih sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.

Menembus Lapisan Proyek: 7P, 7i, dan 7R

Analisis ini berpijak pada kerangka 7P – 7i – 7R.

Kerangka ini berupaya membaca proyek publik dari tiga lapis: diagnosis internal (7P), penyakit eksternal (7i), dan terapi struktural (7R).

7P (Paradigma – Produksi – Pembiayaan – Perdagangan – Pemerintahan – Pendapatan – Peradaban) menunjukkan bahwa pembangunan KCIC cenderung berpijak pada utang dan simbol modernitas, bukan pada kekuatan ekonomi nasional. Tidak terjadi transfer teknologi yang bermakna, nilai tambah domestik rendah, dan ketergantungan pada kontraktor asing masih dominan.

BACA JUGA  Dorong Penerapan GRC, Bank DKI Sabet 3 Penghargaan Bergengsi

Di sisi fiskal, jaminan APBN menimbulkan risiko debt trap terselubung, sementara keuntungan ekonomi daerah nyaris stagnan. Di sini, modernitas fisik tidak diiringi dengan kemajuan nilai atau kemandirian bangsa.

Lapisan kedua, 7i, mengurai bagaimana penetrasi kapital global bekerja: dari invasi dan intervensi hingga indoktrinasi dan intimidasi. Semua ini menggambarkan mekanisme penaklukan ekonomi yang halus namun sistemik di mana proyek nasional dikendalikan dari luar, kebijakan publik terpengaruh kepentingan asing, dan kritik domestik dilemahkan melalui birokrasi serta opini media.

Jika dibiarkan, pola ini menimbulkan tiga konsekuensi berantai: instability, inflasi, dan impoverishment ketidakstabilan fiskal, kenaikan biaya publik, dan pemiskinan struktural.

Audit yang Menyembuhkan, Bukan Sekadar Menghitung

Melalui pendekatan 7R (Reformulasi -Rekonstruksi – Reposisi – Redistribusi – Regulasi – Reproduksi – Reorientasi), audit konstitusional berfungsi bukan hanya untuk mencari angka rugi, tetapi memulihkan arah pembangunan nasional.

Pertama, paradigma pembangunan harus direformulasi agar berbasis kedaulatan ekonomi, bukan utang luar negeri.

Kedua, sistem pembiayaan publik perlu direkonstruksi agar tidak terjebak pada pinjaman berisiko tinggi.

Ketiga, posisi industri nasional mesti diperkuat: porsi produksi lokal minimal 70%, dengan transfer teknologi sebagai kewajiban kontraktual.

BACA JUGA  Gandeng Kelompok Tani, Indocement Programkan Budi Daya Lebah dan Jangkrik di Taman Serangga

Keempat, hasil ekonomi proyek harus didistribusikan secara adil melalui koperasi dan UMKM.

Dan terakhir, seluruh kebijakan mesti diregulasi kembali agar tunduk pada uji konstitusional dan transparansi publik.

Pendek kata, audit KCIC seharusnya menjadi momentum koreksi struktural bukan sekadar laporan tahunan yang berhenti di meja birokrasi.

Mengembalikan Hierarki Nilai Ekonomi Konstitusi

Pembangunan yang konstitusional memiliki urutan nilai yang tegas: hukum → etika → kepentingan publik → ekonomi.

Namun dalam kasus KCIC, hierarki ini terbalik. Politik mengalahkan hukum, euforia menggantikan kehati-hatian, dan profit dijadikan tujuan utama.

Akibatnya, pembangunan kehilangan legitimasi moral dan sosial.

Audit konstitusional harus memulihkan urutan nilai tersebut. Ia harus menjawab tiga pertanyaan pokok:

  1. Apakah pembangunan tunduk pada Pasal 33 UUD 1945?
  2. Siapa yang mengendalikan manfaat ekonomi nasional?
  3. Bagaimana kemandirian industri dan fiskal dipulihkan?

Tanpa menjawab tiga hal itu, setiap proyek strategis berpotensi menjadi “modernisasi semu” tampak maju di permukaan, namun secara struktural menurunkan kemandirian bangsa.

Menuju Kedaulatan Ekonomi

Untuk itu, diperlukan langkah nyata:

  • Membentuk Komisi Audit Konstitusional Independen yang melibatkan BPK, akademisi, dan masyarakat sipil;
  • Membekukan sementara jaminan APBN hingga hasil audit diumumkan;
  • Meninjau ulang kontrak KCIC agar memenuhi prinsip good governance, tidak menimbulkan debt trap, dan menjamin transfer teknologi serta pemerataan manfaat ekonomi daerah;
  • Menetapkan uji kedaulatan ekonomi sebagai syarat wajib setiap proyek strategis nasional.
BACA JUGA  Cokelat dan Madu Dipromosikan Pemkab Kepulauan Sula di Spanyol

Jika hal ini dilakukan, audit KCIC bisa menjadi model koreksi nasional bagi seluruh proyek infrastruktur ke depan. Sebuah momentum untuk menata ulang relasi antara pembangunan, kedaulatan, dan keadilan sosial.

Pembangunan sejati bukanlah percepatan fisik, melainkan pemulihan martabat dan kedaulatan bangsa.

Proyek KCIC seharusnya menjadi pelajaran bahwa kemandirian ekonomi tidak dapat dibangun di atas ketergantungan. Audit yang sejati bukan sekadar menghitung angka, melainkan menegakkan konstitusi. Audit yang melahirkan kedaulatan, bukan hanya laporan angka.

*Ichsanuddin Noorsy adalah Pengamat Politik Ekonomi yang juga Penasehat Forum Akademisi Indonesia (FAI).


Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis berdasarkan kajian akademik dan pengalaman profesional. Tidak mewakili pandangan institusi mana pun.

Hari Santri 2025 DPRD Kabupaten Sidoarjo