Buruh dan Presiden Sepanggung Sepenanggungan

Ketua Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat, Tundra Meliala.(Foto: Dok.Pribadi)

“Negara tidak boleh lemah dalam melindungi buruh. Kita akan perkuat regulasi, kita akan tingkatkan pengawasan, dan kita pastikan setiap pekerja Indonesia hidup dengan layak.”

Oleh Tundra Meliala

Monumen Nasional, Jakarta, kembali menjadi saksi bisu sejarah. Pada Hari Buruh Internasional (May Day), 1 Mei 2025, untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade, Presiden Republik Indonesia berdiri di atas panggung yang sama dengan para pemimpin serikat buruh. Riuh tepuk tangan bergema di tengah lautan massa berbaju merah, biru, dan putih, menandai babak baru hubungan antara buruh dan negara.

Momentum ini bukan sekadar selebrasi tahunan. May Day kali ini menyimpan aroma perubahan. Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Jumhur Hidayat, menyebut momen kebersamaan ini sebagai “simbol harapan baru”. Pernyataan yang terdengar sederhana, tapi punya daya ledak politik yang besar.

“Banyak yang bertanya, bagaimana mungkin buruh bisa bersama Istana,” ujar Jumhur dari atas panggung. Jawabannya, menurut dia, karena Istana hari ini adalah Istana yang ingin membebaskan kaum miskin dan memulihkan martabat kaum buruh.

BACA JUGA  Novel Baswedan Kembali Jadi ASN, OC Kaligis Sampaikan Ini ke Jokowi

Ada yang berbeda dalam perayaan May Day 2025. Bukan hanya karena semarak panggung hiburan dan barisan spanduk penuh tuntutan, tetapi karena atmosfer kebijakan terasa bergeser. Presiden Prabowo Subianto tak hanya hadir, ia juga bicara langsung di hadapan buruh dengan nada yang tegas namun bersahabat.

“Negara tidak boleh lemah dalam melindungi buruh. Kita akan perkuat regulasi, kita akan tingkatkan pengawasan, dan kita pastikan setiap pekerja Indonesia hidup dengan layak,” ujar Presiden Prabowo.

Ucapan itu langsung disambut gemuruh massa. Tapi di balik tepuk tangan, ada ekspektasi besar. Buruh tidak hanya menginginkan pengakuan simbolik, mereka menuntut aksi konkret.

Salah satu aspirasi penting yang disuarakan Jumhur adalah dorongan agar pemerintah segera meratifikasi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Nomor 188 tentang Pekerja Perikanan. Ini bukan permintaan baru, tetapi kini gaungnya terdengar langsung ke telinga presiden.

“Teman-teman buruh yang bekerja di laut menitipkan pesan agar konvensi ini segera diratifikasi menjadi undang-undang,” kata Jumhur. Di balik tuntutan itu, ada nasib ratusan ribu pekerja di kapal-kapal nelayan dan pabrik pengolahan ikan yang hingga kini masih bekerja tanpa jaminan perlindungan memadai.

BACA JUGA  Saat Prabowo Disambut Ribuan Warga Dayak dan Panglima Jilah

Presiden Prabowo menyambut aspirasi tersebut dengan terbuka. Ia menjanjikan pembahasan cepat bersama DPR. “Kami akan pelajari dan kaji dengan serius agar perlindungan hukum bisa diperluas,” katanya. Bahasa tubuhnya tenang, tetapi suara hatinya, tampaknya, sedang menimbang tanggung jawab besar yang dibebankan rakyat kepadanya.

Namun, euforia May Day ini tetap harus dibarengi kewaspadaan. Sejumlah aktivis buruh mengingatkan bahwa kebijakan tak boleh berhenti di podium. Komitmen presiden harus diterjemahkan ke dalam tindakan nyata revisi regulasi yang selama ini dianggap tidak berpihak pada pekerja, seperti Undang-Undang Cipta Kerja, masih menjadi tuntutan utama.

Pendekatan dialogis yang kini diambil pemerintah patut diapresiasi. Tapi dalam negara demokratis, suara kritis tetap harus dijaga. Serikat buruh harus tetap menjadi kekuatan independen, bukan sekadar mitra pemerintah yang jinak. Kolaborasi tak boleh menghilangkan daya kritis.

May Day 2025 menjadi titik balik penting. Sebuah panggung yang mempertemukan Istana dan massa pekerja bukan hanya ruang simbolik, tapi juga medan pertarungan ide. Arah kebijakan ketenagakerjaan ke depan akan ditentukan oleh seberapa serius pemerintah menjalankan komitmennya. Jika benar negara ingin memperkuat ekonomi rakyat, maka penguatan buruh dalam upah, perlindungan hukum, dan jaminan sosial adalah keniscayaan.

BACA JUGA  Catatan Akhir Tahun SMSI: Pendidikan Berpikir Kritis Menunjang Jurnalisme Berkualitas

Buruh adalah rakyat. Sama seperti TNI yang berasal dari rakyat dan kembali kepada rakyat setelah purna tugas. Presiden Prabowo, yang datang dari latar belakang militer, tampaknya mengerti hal itu. Ia ingin menyatu dengan rakyat, termasuk mendengar dan merespons koreksi dari mereka. Jika ia konsisten, sejarah akan mencatat May Day 2025 sebagai awal terang bagi kaum buruh Indonesia.

*Penulis adalah Ketua Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat