Berita  

Buya Syafii Sosok yang Selalu Dibutuhkan Presiden

Dok.Fotografer

JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Kabar duka datang dari keluarga besar Muhammadiyah. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif atau biasa disapa  Buya Syafii meninggal dunia. Buya Syafii menghembuskan napas terakhirnya di RS PKU Muhammadiyah Gamping pukul 10.15 WIB.

Buya Syafii adalah seorang ulama moderat, ahli sejarah dan cendekiawan Indonesia. Buya Syafii lahir di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Minangkabau pada 31 Mei 1935 silam. Buya pernah juga menjadi Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) sekaligus pendiri Maarif Institute.

Kemenkumham Bali

Bekas aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini belajar ilmu keislaman di Universitas Negeri Yogyakarta. Buya kemudian melanjutkan program ilmu sejarah melalui Program Master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS. Dilanjutkan mengejar gelar doktor melalui Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS.

Selama di Chicago, anak bungsu dari empat bersaudara ini melakukan pengkajian terhadap Alquran, dengan bimbingan dari seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazlur Rahman. Di sana pula, dia kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid dan  Amien Rais yang sedang mengikuti pendidikan doktornya.

Di usia 18 tahun, Buya Syafii merantau ke Pulau Jawa. Selama kuliah di Yogyakarta, dia sempat menggeluti beberapa pekerjaan untuk melangsungkan hidup. Dia pernah menjadi guru mengaji dan buruh sebelum diterima sebagai pelayan toko  kain pada 1958.

Setelah kurang lebih setahun bekerja sebagai pelayan toko, dia membuka dagang kecil-kecilan bersama temannya, kemudian sempat menjadi guru honorer di Baturetno dan Solo. Buya juga sempat menjadi seorang jurnalis. Dalam beberapa literatur, Buya pernah menjadi redaktur Suara Muhammadiyah hingga anggota Persatuan Wartawan Indonesia.

BACA JUGA  Untuk Muktamar Muhammadiyah, Stadion Manahan Solo Terus Dimatangkan

Dia juga tercatat pernah menjadi Dosen Sejarah dan Kebudayaan Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta pada periode 1964-1969. Buya Syafii kemudian menghabiskan sekitar 27 tahun sebagai pengajar di IKIP Yogyakarta, ia mengampu sejarah Asia Tenggara hingga filsafat sejarah.

Buya Syafii kemudian menjajal karir di organisasi keagamaan Muhammadiyah pada 1995 silam. Saat itu dia, menjabat sebagai Wakil Ketua PP Muhammadiyah. Karirnya menanjak hingga menjadi pucuk pimpinan ormas besar tersebut pada 1998-2005.

Setelah melepas jabatan Ketum PP Muhammadiyah, Buya Syafii lebih banyak aktif di komunitas Maarif Institute. Selain itu, dia aktif sebagai guru besar IKIP Yogyakarta.

Selain sederet jabatan tadi, Buya Syafii juga aktif menulis. Sejumlah karya tulis datang dari pemikiran Buya Syafii, di antaranya Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis, Yayasan FKIS-IKIP, Yogyakarta, Dinamika Islam, Islam, Mengapa Tidak?, Islam dan Masalah Kenegaraan. Atas karya-karyanya, pada tahun 2008 Syafii mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina.

Beberapa penghargaan internasional pernah dianugerahkan kepadanya, seperti Ramon Magsasay Award dalam kategori Perdamaian dan pemahaman Internasional (2008), Habibie Award (2010), IBF Award kategori Tokoh Perbukuan Islam (2011), dan beberapa penghargaan bergensi lainnya. Dalam dunia Internasional, dia pernah menjabat Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) yang berpusat di Amerika Serikat.

BACA JUGA  Wabup Asahan Hadiri Tabligh Akbar Gebyar Muktamar Muhammadiyah/Aisyiyah ke-48

 Jokowi dan Buya Syafii

Buya Syafii dikenal cukup dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ketika Buya sakit, Jokowi begitu khawatir. Jokowi pernah sampai mengutus Menteri Sekretaris Negara Pratikno untuk menjenguk Buya Syafii pada 2019 lalu.

Jokowi mengungkapkan, bangsa Indonesia membutuhkan Indonesia membutuhkan ilmu dan pencerahan dari Buya Syafii. Baginya, sikap dan keteladanan Buya Syafii yang plural, kritis, dan bersahaja membuatnya layak dijuluki ‘Bapak Bangsa’.

“Bangsa ini butuh keteladanan dan pencerahan Buya,” kata Jokowi beberapa tahun silam.

Sebaliknya, Buya beberapa kesempatan membela Jokowi. Pada 2015 lalu, sedang ramai wacana pasal penghinaan Presiden. Buya memberikan pandangannya.

Buya Syafii Maarif berharap pengkritik presiden tidak menjurus pada penghinaan. Sebab, seorang presiden adalah simbol negara.

“Presiden itu harus dihormati karena sebagai simbol negara. Jangan kasar pada presiden,” kata Buya Syafii

Diketahui, Buya Syafii juga pernah menolak tawaran Presiden Joko Widodo sebagai Dewan Pertimbangan Presiden pada 2015.

Terakhir kali, Jokowi menjenguk Buya Syafii secara langsung ke kediamannya, Sleman, Yogyakarta pada 26 Maret 2022. Sebelumnya, Buya Syafii dikabarkan dirawat di rumah sakit karena terkena serangan jantung ringan.

Jokowi meminta kepada seluruh masyarakat untuk turut mendoakan kesehatan Buya Syafii.

“Saya menjenguk Buya Syafii Maarif. Alhamdulillah beliau saat ini dalam keadaan sehat walafiat. Saya mendengar beliau beberapa hari, beberapa minggu yang lalu dirawat di rumah sakit,” ujar Jokowi dalam keterangannya usai mengunjungi Buya Syafii.

BACA JUGA  Bupati Asahan Terima Audiensi PD Muhammadiyah Asahan

Buya Syafii juga dikenal sebagai tokoh yang selalu menjaga kebhinekaan dan kemajemukan. Dalam peluncuran otobiografinya 8 Juni 2006 Buya Syafii mengatakan kemajemukan Indonesia kini menjadi arena pertikaian karena masyarakat tidak beragama secara dewasa dan autentik.

“Dewasa artinya orang tampil lapang dada. Kita harus lapang dada, langit ini untuk semua orang termasuk mereka yang tidak percaya pada Tuhan,” kata Syafii.

“Kita harus mencintai negeri ini dengan tulus meskipun saat ini keadaannya kacau dan ruwet,” lanjut Nuya Syafii.

Menurut dia, harus selalu ada optimisme untuk menjaga Indonesia, sebab banyak anak muda yang kini juga memiliki idealisme tinggi, hanya memang perlu menunggu waktu.

“Oleh sebab itu keutuhan bangsa harus dijaga. Kalau bangsa tidak utuh generasi berikutnya akan berserakan. Ini yang saya khawatirkan,” kata Syafii. Maka menurutnya, proses pencerahan harus terus dilakukan.(red)

 

 

Tinggalkan Balasan