Dampak Lingkungan Fast Fashion: Apakah Cukai Dapat Memaksa Industri Bertanggung Jawab?

Dampak Lingkungan Fast Fashion: Apakah Cukai Dapat Memaksa Industri Bertanggung Jawab?
Foto:Vectorstock

Oleh Kiara Linauli Simanjuntak

Bayangkan sebuah kaos yang dibeli dengan harga Rp40.000 di salah satu gerai fast fashion. Harganya memang menggiurkan, tapi tahukah kalian bahwa di balik harga murah itu tersembunyi biaya lingkungan yang sangat mahal?. Fast fashion atau tren mode cepat berganti dengan harga terjangkau menjadi salah satu penyumbang terbesar pencemaran lingkungan global. Menurut laporan dari The Business of fashion pada tahun 2023, industri fast fashion menyumbang 10 persen dari total emisi karbon global, menggunakan 93 miliar meter kubik air bersih per tahun, dan menghasilkan 92 juta ton limbah tekstil yang sebagian besar berakhir di tempat pembuangan sampah.

Kemenkumham Bali

Jika melihat dari besarnya dampak lingkungan yang ditimbulkan, beberapa negara mempertimbangkan penerapan cukai sebagai “cambuk” untuk memaksa industri fast fashion lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan. Sebagaimana dijelaskan dalam artikel DDTC News “Perlukah Pengenaan Pajak Pencemaran Lingkungan?” (2023), penerapan pungutan atas aktivitas yang mencemari lingkungan sejalan dengan prinsip “polluter pays principle“, di mana pihak yang menghasilkan dampak buruk pada lingkungan harus membayar biaya perbaikannya.

Industri fast fashion menjadi suatu pola konsumsi masyarakat untuk pakaian yang tidak berkelanjutan. Pakaian mewakili lebih dari 60 persen dari total tekstil yang digunakan dalam 15 tahun terakhir produksi pakaian global meningkat dua kali lipat, sementara rata-rata pemakaian pakaian menurun hampir 40 persen. Berdasarkan laporan Ellen MacArthur Foundation (2019), setiap detik satu truk sampah penuh dengan tekstil dibuang ke tempat pembuangan sampah atau dibakar. Masalah utama yang saat ini terjadi dalam industri yaitu pakaian sangat kurang dimanfaatkan. Jejak kaki yang sangat besar di mana industri tekstil sebagian besar bergantung pada sumber daya yang tidak terbarukan termasuk minyak untuk memproduksi serat sintetis, pupuk untuk menanam kapas dan bahan kimia untuk memproduksi.

BACA JUGA  Menjadi 'Panglima Diplomasi' di Kancah Internasional

Besarnya dampak lingkungan dari industri fast fashion inilah yang mendorong wacana pengenaan cukai. Menurut analisis McKinsey & Company (2020), industri fashion menyumbang 4 persen emisi gas rumah kaca global yang setara dengan gabungan emisi dari Prancis, Jerman dan Inggris. Tidak hanya itu, industri ini juga menggunakan 215 triliun liter air per tahun dan mencemari perairan dengan 0,5 juta ton serat mikroplastik. Apabila diterapkan cukai maka harga pakaian fast fashion akan mencerminkan “biaya sebenarnya” termasuk dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Hal Ini nantinya akan mendorong produsen untuk berinvestasi dalam teknologi produksi yang lebih ramah lingkungan dengan desain pakaian lebih tahan lama.

Pemberlakuan cukai fast fashion diharapkan dapat mengubah perilaku konsumen. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Pratiwi & Zulian pada tahun 2023 bahwa konsumen membeli pakaian fast fashion karena harganya yang murah, meski mereka sadar akan dampak buruknya terhadap lingkungan. Dengan adanya cukai, selisih harga antara produk fast fashion dengan pakaian berkelanjutan akan mengecil. Hal ini akan mendorong konsumen untuk lebih mempertimbangkan kualitas dan daya tahan pakaian daripada sekadar mengikuti tren. Dengan adanya perilaku konsumen yang tidak konsumtif akan memaksa industri fast fashion untuk mengadopsi model bisnis yang lebih berkelanjutan.

Penerapan cukai juga dapat menjadi pendorong inovasi dalam penggunaan material yang lebih ramah lingkungan. Menurut laporan Hawthorn (2019), saat ini 72 persen pakaian fast fashion menggunakan bahan poliester yang berasal dari minyak bumi dan membutuhkan waktu hingga 200 tahun untuk terurai. Dengan adanya cukai yang lebih tinggi untuk penggunaan material berbahan dasar minyak bumi, industri fashion akan terdorong untuk beralih ke alternatif yang lebih ramah lingkungan seperti serat daur ulang, kapas organik, atau bahkan material inovatif seperti serat dari jamur dan limbah buah.

BACA JUGA  APRI: "Shelter" dan pasir di kolam pembenihan kurangi tingkat kanibal rajungan

Meski cukai dapat menjadi alat yang efektif untuk mendorong industri fast fashion lebih ramah lingkungan, penerapannya menghadapi tantangan. Berdasarkan opini dari Kompasiana (2023) bahwa salah satu tantangannya adalah pemungutan cukai nantinya akan berpengaruh pada daya beli masyarakat sehingga pada sektor ekonomi dapat menjadikan suatu masalah yang baru. Selain itu, penetapan cukai yang terlalu tinggi berpotensi mendorong munculnya pasar gelap pakaian, sementara cukai yang terlalu rendah tidak akan efektif mengubah perilaku industri dan konsumen.

Negara lain telah lebih dulu menerapkan cukai untuk mengatasi dampak lingkungan dari industri fast fashion, sedangkan Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara lain yang telah menerapkan cukai. Pada Liputan 6 tahun 2023, Perancis menjadi pionir dengan menerapkan “ecocontribution” sebesar 6-25 Euro untuk setiap item pakaian fast fashion pada tahun 2023, tujuannya untuk dapat menekan limbah tekstil yang ada di Prancis sehingga pemerintah mensubsidi biaya reparasi baju dan sepatu lama. Jika ada yang ingin memperbaiki baju akan disubsidi sekitar 6 Euro atau Rp.100.000,00. Jika ada pula yang ingin memperbaiki sepatu lama dengan syarat tertentu akan diberi subsidi sekitar 25 Euro atau Rp.420.000,00.

Menurut penulis, penerapan cukai pada industri fast fashion merupakan langkah yang cukup efektif namun perlu didampingi dengan kebijakan pendukung lainnya agar benar-benar mengatasi masalah lingkungan. Di satu sisi, cukai dapat memaksa brand fashion untuk meningkatkan harga produk mereka yang secara tidak langsung nantinya akan mengurangi konsumsi berlebihan dan produksi massal yang menjadi akar masalah pencemaran dari industri ini. Ketika konsumen harus membayar lebih mahal, mereka cenderung akan lebih selektif dalam berbelanja dan memilih pakaian yang lebih berkualitas dengan daya pakai lebih lama.
Penerapan cukai fast fashion di Indonesia perlu dipertimbangkan secara matang karena banyaknya industri tekstil. Hal ini dapat dimulai dengan menerapkan cukai yang relatif rendah pada produk import fast fashion, dan memberikan insentif pajak bagi produsen lokal yang menerapkan praktik produksi berkelanjutan. Pemerintah juga perlu membangun infrastruktur pendukung seperti fasilitas daur ulang tekstil dan sistem pelacakan limbah industri sebelum menerapkan cukai. Selain itu karena kontribusi industri tekstil berkontribusi besar terhadap lapangan kerja di Indonesia, kebijakan cukai harus diimbangi dengan program pelatihan dan pengembangan kapasitas bagi pekerja untuk beradaptasi dengan teknologi serta praktik produksi yang lebih ramah lingkungan.

BACA JUGA  Bank Mandiri Tebar Promo dan Diskon Jelang Perayaan Imlek

*Penulis Kiara Linauli Simanjuntak, Mahasiswi Fakultas Ilmu Administrasi Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia