Jakarta, SudutPandang.id – Suherman Mihardja, SH, MH, seorang Advokat dan juga pengembang properti di Tangerang melalui Kuasa Hukumnya Peter Wongsowidjojo, SH, melaporkan Notaris Yan Armin, SH ke Majelis Pengawas Daerah (MPD) Notaris.
Dalam surat pengaduan dengan No: 9.03/PW-SM/IX/2020 tertanggal 18 September 2020, Notaris Yan Armin dilaporkan atas dugaan adanya pelanggaran yang dilakukan pada saat melakukan transaksi jual beli 23 (dua puluh tiga) bidang tanah di Desa Jurumudi, Kecamatan Benda, Kota Tangerang.
Menurut Peter Wongsowidjojo, permasalahan berawal dari adanya transaksi jual beli yang dilakukan oleh Notaris Yan Armin, SH dengan 22 (dua puluh dua) Akta Pelepasan Hak pada tanggal Oktober 2013.
Transaksi antara Wijanto Halim berdasarkan Surat Kuasa Nomor 82 dan Nomor 83 yang dibuat di hadapan Notaris H.Muh Hendarmawan, SH, Notaris di Jakarta tertanggal 23 Januari 1981 dengan Rahardjo dan Tahir Santoso Tjioe (PT Profita Purilestari Indah) atas 23 (dua puluh tiga) AJB atas nama Johanes Gunadi yang menimbulkan kerugian bagi kliennya Suherman Mihardja.
“Klien kami adalah ahli waris dari (alm) Surya Mihardja sebagai pembeli pertama tanah di Desa Jurumudi, Kecamatan Benda (dulu Kecamatan Batuceper). Oleh karena itu, klien saya melaporkannya kepada Majelis Pengawas Daerah Notaris untuk dapat memeriksa dan memberi sanksi kepada Notaris Yan Armin, SH atas transaksi ke 22 (duapuluh dua) Akta Pelepasan Hak Nomor 16 sampai Akta Pelepasan Hak Nomor 38 tertanggal 3 Oktober 2013,” jelas Peter, dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat, (25/9/2020).
Peter mengatakan, Notaris Yan Armin diduga tidak melaksanakan asas kecermatan, ketelitian dan asas kehati-hatian karena tidak melakukan pengecekan terlebih dahulu atas keabsahan Surat Kuasa No. 82 dan No.83 yang dibuat tahun 1981 yang sudah 32 (tiga puluh dua) tahun sebagaimana sesuai fakta bahwa Johannes Gunadi telah meninggal dunia pada tahun 20 Juli 1987.
“Notaris Yan Armin juga tidak melakukan pengecekan atas keabsahan dari Girik-girk/Letter C pada AJB milik Johannes Gunadi kepada instansi yang berwenang (Kelurahan Jurumudi dan Kecamatan Benda) sebelum melakukan transaksi tersebut,” katanya.
Kronologi
Peter juga menjelaskan kronologi asal usul kepemilikan tanah milik kliennya. Sesuai fakta bahwa Girik-girik /Letter C pada 23 (duapuluh tiga) Akta Jual Beli (AJB) atas nama Johannes Gunadi tahun 1978 yang telah dilebur atau disatukan menjadi 1 (satu) yaitu dengan Nomor C 2135 pada tahun 1981.
“Wijanto Halim pada tahun 1988, selaku pemegang kuasa berdasarkan Surat Kuasa No. 82 dan No. 83 tanggal 23 Januari 1981 yang dibuat di hadapan Notaris Raden Muhamad Hendarmawan, SH di Jakarta, Wijanto Halim melakukan transaksi jual beli kepada Surya Miharja (alm) ayahnya klien kami Pak Suherman Mihardja di hadapan Camat Batuceper, Drs. Darmawan Hidayat yang tertuang dalam 5 (lima) AJB yaitu AJB Nomor 703 sampai dengan AJB Nomor 707 /JB/AGR/1988 tertanggal 31 Desember 1988,” jelas Peter.
Namun, lanjut Peter, anehnya Wijanto Halim mengaku tidak melakukan transaksi jual beli tersebut, bahkan melaporkan orang tua kliennya ke pihak berwajib. Dikarenakan tidak terbukti dalam persidangan alm Surya Mihardja divonis bebas murni dan sesuai putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor:866K/Pid/1993 tertanggal 10 Februari 1998 dengan menolak kasasi dari Jaksa Penuntut Umum.
“Namun tidak sampai disitu saja, Wijanto Halim melakukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Tangerang dengan Nomor 542/PDT.G/2013/PN.TNG tertanggal 30-09-2013 dengan alasan hak kepemilikan tanah dengan 23 (duapuluh tiga) AJB tahun 1978 yang Girik- giriknya sudah dilebur atau disatukan, dimatikan menjadi 1 (satu) Nomor Girik baru yaitu C-2135 yang sudah ditransaksikan kepada orang tua Pak Suherman pada tahun 1988,” kata Peter.
Selanjutnya, sambung Peter, gugatan sengketa kepemilikan tanah dengan Nomor 542/PDT.G/2013/PN.TNG tertanggal 30-9-2013 dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Tapi, putusannya dibatalkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Banten sesuai dengan putusannya Nomor 99/PDT/2014/PT.BTN.
“Kemudian putusannya dikuatkan oleh Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 3221 K/PDT/2015 tertanggal 24-02-2016 serta Putusan Permohonan Peninjauan Kembali Nomor 481 PK/PDT/2018 tertanggal 30 -7-2018,” ujar Peter sembari menunjukan putusan yang dimaksud.
Tidak Memiliki Legal Standing
Masih menurut Peter, salah satu pertimbangan Hakim pada Pengadilan Tinggi serta Hakim Agung pada Mahkamah Agung, menyatakan bahwa Wijanto Halim tidak memiliki legal standing.
“Sebagaimana Wijanto Halim sebagai penggugat yang menerima kuasa dari Johannes Gunadi pada tanggal 23 Januari 1981 berdasarkan Surat Kuasa Nomor 82 dan Nomor 83 yang dibuat oleh Raden Muhamad Hendarmawan SH, Notaris di Jakarta, tetapi pemberi kuasa sesuai dengan bukti dan fakta bahwa Johannes Gunadi sudah meninggal pada tanggal 20 Juli 1987.
“Sementara gugatan Wiyanto Halim diajukan pada 1 Oktober 2013, maka dengan meninggalnya pemberi Kuasa , maka kuasa tersebut berakhir demi hukum, vide pasal 1813 KUHP (burgedjik welboek) sehingga penggugat (Inc Wiyanto Halim) tidak memiliki legal standing melakukan gugatan,” terang Peter.
Peter menyebut, bahwa pertimbangan Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung tersebut juga didukung dengan adanya putusan Komisi Yudisial Nomor: 0390/L/KY/IX/2014 tertanggal 07 Mei 2015 atas hasil pemeriksaan Majelis Hakim yang memeriksa dan mengabulkan gugatan Wiyanto halim di Pengadilan Negeri Tangerang dalam perkara perdata No:542/Pdt.G/2013/PN.TNG yang terbukti telah melanggar kode Etik dan pedoman perilaku Hakim.