“Herd Immunity” Covid-19, Slogan atau Harapan Nyata?

Dr. Najab Khan, S.H., M.H

Masyarakat skeptis memandang target atau capaian membentuk / membangun Herd Immunity akan dapat berhasil sesuai target. Skeptis masyarakat disebabkan karena persoalan Covid-19 ternyata bukan sekedar persoalan bagaimana melakukan pengadaan atau penyediaan obat atau vaksin saja yang mesti dipenuhi, tetapi lebih disebabkan karena ketidak siapan pengadaan alat-alat kebutuhan medis terkait vaksinasi atau ketidak siapan menyediakan sarana prasarana terkait dampak ikutannya (KIPI) yang sesuai standar kebutuhan.

Memang kalau hanya bertujuan menumbuhkan Herd Immunity pada kawanan populasi di wilayah tertentu bisa saja dilakukan, namun semua itu perlu diikuti dengan kesiapan jumlah ketersediaan vaksin yang berkualitas maupun kesiapan alat-alat penunjang kebutuhan medis termasuk kebutuhan sarana dan prasarana penunjang vaksinasi, tenaga kesehatan yang cukup maupun ketersediaan tempat-tempat KIPI yang memadai.

Mengenai ketersediaan vaksin dan pelaksanaannya memang merupakan hal penting dan tidak dapat dipandang remeh. Sangat berbahaya mencoba mentargetkan Herd Immunity sementara ketersediaan jumlah maupun kualitas vaksin Covid-19 tidak cukup. Masyarakat dan negara tidak siap dan bahkan cenderung tidak serius serta apalagi membuat kebijakan double standar. Dampak buruknya, dapat membuat masyarakat lengah, abai, acuh tak acuh dengan protokol kesehatan, dan lain-lain.

Sebaliknya, kesiapan jumlah maupun kualitas vaksin Covid-19, kesiapan tenaga kesehatan dan kecukupan fasilitas pendukung dalam program vaksinasi, kesadaran masyarakat atau kesiapan negara membuat dan mematuhi regulasi yang diterapkan serta tidak menerapkan double standar kebijakan merupakan harapan nyata dalam membentuk Herd Immunity.

Oleh sebab itu, jikalau ternyata Herd Immunity “tidak terbentuk”, sementara vaksin Covid-19 sudah disuntikkan walaupun sudah mencapai tingkatan maksimal (100%), maka artinya ada masalah seputar pengadaan dan pelaksanaan vaksinasi vaksin Covid-19 atau ada masalah dengan kebijakan double standar yang diterapkan Pemerintah.

Metode melaksanakan vaksinasi yang tidak serempak atau boleh jadi terjadi kesalahan pelaksanaan dalam proses pengadaan vaksin Covid-19 itu sendiri yang ternyata tidak berkualitas atau diperparah dengan kebijakan double standar yang diterapkan akan membawa persoalan tersendiri.

Faktor kesalahan demikian perlu diproses, diselidiki lebih lanjut serta dicari tahu apa faktor-faktornya. Apakah karena ada faktor korupsi, kolusi, suap dalam soal pengadaan dan pelaksanaan vaksinasi vaksin Covid-19?. Atau apakah karena ada faktor pembuatan regulasi yang lemah sehingga mudah disalah gunakan atau apakah ada faktor kesalahan petugas lapangan atau ada mafia-mafia Covid-19?. Sehingga vaksin Covid-19 yang sudah dibeli tidak maksimal digunakan dan tidak memenuhi standart kebutuhan rational masyarakat.

H. Simpulan

Tinggalkan Balasan