“Ada dugaan 5.000 titik dapur fiktif dan isu adanya keterlibatan anggota DPR-RI dalam bisnis ini. Sistem dan SDM harus dibenahi. Jangan dibiarkan tanpa solusi.”
JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Praktisi hukum H.M. Ilal Ferhard menilai kasus keracunan dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bukan sekadar insiden biasa, melainkan bisa menjadi “bom waktu politik” jika tidak segera ditangani dengan serius.
Ilal menekankan bahwa kejadian tersebut harus menjadi bahan evaluasi mendalam bagi pemerintah agar tidak menimbulkan krisis kepercayaan publik.
Ilal menjelaskan, pelaksanaan MBG saat ini dikelola melalui dua jenis dapur, yakni dapur yang didanai langsung oleh Badan Gizi Nasional (BGN) dan dapur yang dikelola secara mandiri. Namun, keduanya tetap berada di bawah standar yang ditetapkan BGN.
“Karena ini program pemerintah pusat dan baru dijalankan setelah Presiden Prabowo terpilih, suka tidak suka, mau tidak mau, harus dilaksanakan sesuai janji kampanye. Bukan sekadar omongan belaka,” kata Ilal dalam keterangan tertulis, Sabtu (27/9/2025).
Meski begitu, Ilal menegaskan kasus keracunan dan dugaan makanan kedaluwarsa adalah alarm penting untuk mengevaluasi kinerja BGN, terutama dalam memonitor dapur-dapur di seluruh Indonesia.
Ia pun mempertanyakan kemampuan lembaga tersebut dalam mengawasi pelaksanaan program di lapangan.
“Apalagi ada dugaan 5.000 titik dapur fiktif dan isu adanya keterlibatan anggota DPR-RI dalam bisnis ini. Sistem dan SDM harus dibenahi. Jangan dibiarkan tanpa solusi,” ungkapnya.
Kepercayaan Publik
Ilal menekankan, kegagalan dalam memastikan kualitas dan distribusi makanan akan berdampak pada hilangnya kepercayaan publik terhadap program MBG. Kondisi itu, menurutnya, berpotensi menimbulkan konflik politik dan saling tuding, seolah-olah program ini telah dipolitisasi.
“Dampaknya merusak citra pemerintah. Banyak orang akhirnya berpikir lebih baik dana diberikan langsung kepada guru atau wali murid, daripada dipaksakan program yang sistemnya belum efektif,” kataya.
Ia juga menyampaikan bahwa masyarakat lebih membutuhkan kepastian kualitas gizi, bukan sekadar pelaksanaan formalitas.
“Uang lebih baik daripada harus keracunan, karena sistem MBG masih dalam tahap uji coba,” pungkas anggota DPRD DKI Jakarta periode 2004-2009 itu.(01)