JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia alias Walhi mengapresiasi langkah pemerintah mencabut 2.078 izin pertambangan, 192 izin di sektor kehutanan dan 137 izin Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan.
Namun, menurut mereka, hal yang paling penting selanjutnya adalah bagaimana proses ini menjadi momentum untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria yang selama ini terjadi antara rakyat dan perusahaan baik milik negara maupun swasta.
“Agar pencabutan izin ini dapat menjadi resolusi konflik, maka yang pertama harus dilakukan oleh pemerintah adalah membuka informasi terkait perusahaan-perusahaan apa serta dimana saja yang telah dicabut,” tulis Walhi dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 6 Januari 2022.
Langkah itu diperlukan untuk mengetahui mana-mana saja perusahaan yang selama ini berkonflik dengan rakyat, sehingga selanjutnya tanah-tanah tersebut dapat dikembalikan kepada rakyat sebagai bentuk Pemulihan terhadap hak Rakyat yang selama ini dirampas oleh negara melalui skema Perizinan.
Selain Langkah untuk menyelesaikan konflik agraria, pencabutan ini tidak boleh serta merta menghilangkan tanggung jawab korporasi terhadap kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkannya, baik terhadap kerugian kerusakan lingkungan hidup yang timbul ataupun upaya pemulihan lingkungan hidup.
“Izin-izin di sektor kehutanan misalnya, pemerintah harus memastikan perusahaan-perusahaan tersebut melakukan pemulihan ekosistem hutan dengan mengembalikan fungsi hutan sebagaimana mestinya,” ujar Pengkampanye Hutan dan Kebun Walhi Uli Arta Siagian.
Jika perusahaan sektor kehutanan tersebut selama ini berkonflik dengan rakyat, kata Uli, maka negara harus memastikan pengakuan serta pengembalian wilayah Kelola rakyat tersebut kepada rakyat.
Dia juga menambahkan, selain izin-izin di sektor kehutanan, izin HGU perkebunan yang telah dicabut,jika adalah izin yang selama ini berkonflik dengan rakyat, maka harus dikembalikan kepada rakyat. Jika konsesi izin tersebut berada di kawasan penting dan genting maka harus dipulihkan.
Ihwal pencabutan izin tambang yang tidak pernah menyampaikan rencana kerja, dimana izin yang sudah bertahun-tahun telah diberikan tetapi tidak dikerjakan, menurut Walhi, telah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No.7 tahun 2020.
Sebagai langkah perbaikan secara administratif, Walhi menilai ini adalah langkah baik awal untuk menata pertambangan mineral dan batubara. Pasalnya, tanpa sikap tegas, justru pemerintah akan dihadapkan pada pengelolaan tambang yang bahkan belum tentu akan memberikan manfaat optimal sesuai amanah undang-undang.
“Selanjutnya, evaluasi terhadap izin pertambangan yang ada juga diharapkan menyasar kepatuhan pemegang izin terhadap kewajiban terhadap lingkungan ini, karena jika tidak ada jaminan, maka perbaikan lingkungan wilayah operasi pertambangan akan terabaikan,” ujar Tri Jambore, Pengkampanye Tambang dan Energi Walhi.
Ia pun meminta agar pemerintah tidak hanya melakukan evaluasi izin usaha pertambangan berbasis pada aspek administratif semata, namun juga mempertimbangkan kapasitas daya dukung dan daya tampung wilayah selaras dengan kesesuaian tata ruang serta kerawanan bencana akibat aktivitas pengubahan bentang lahan dalam pertambangan” kata Tri Jambore.
Seperti diketahui, pemerintah mencabut sebanyak 2.078 izin perusahaan pertambangan mineral dan batu bara (minerba) karena tidak pernah menyampaikan rencana kerja, begitu juga dengan 192 izin sektor kehutanan seluas 3.126.439 hektar yang dicabut karena tidak aktif, tidak membuat rencana kerja, dan ditelantarkan.
Selain itu, pemerintah juga mencabut Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan yang ditelantarkan seluas 34,448 hektar. Dari luasan tersebut, sebanyak 25.128 hektare adalah milik 12 badan hukum, sisanya 9.320 hektar merupakan bagian dari HGU yang terlantar milik 24 badan hukum.