“Masa depan adalah milik mereka yang mampu melihat kemungkinan-kemungkinan kedepan”.
A.Pendahuluan
Kehadiran Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia tidak otomatis membantu rakyat mengingat perbedaan orientasi antara satu bangsa dan bangsa lain. Hal ini disebabkan faktor kepentingan suatu bangsa yang ingin mendominasi bangsa lain dan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Bangsa asing melalui perusahaan yang dimiliki dan dilindungi oleh Pemerintah Asing serta bersedia berbisnis dengan bangsa/Pemerintah Indonesia sudah barang tentu mengkalkulasi terlebih dahulu, membaca dan menyiapkan segala kemungkinan agar skema bisnisnya tidak rugi. Mengkritisi hal tersebut, tidak menutup kemungkinan bangsa asing memiliki target agar mendapat keuntungan lain dari sisi yang bukan keuntungan materi bisnis.
Rakyat Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) memang ditetapkan sebagai pemegang kedaulatan tertinggi atas negaranya. Kedaulatan yang dimaksud tentu digunakan agar rakyat hidup mandiri, sejahtera dan dapat menentukan kemajuan bangsanya. Untuk melaksanakan kebijakan, terutama kebijakan membuat perjanjian atau kontrak-kontrak bisnis dengan perusahaan asing (Pemerintahan Asing) menurut UUD 1945 ditentukan dalam sebuah Undang-Undang (UU).
Dus artinya rakyat yang tergabung dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dituntut memiliki peran besar dalam membuat UU atau dalam mengontrol jalannya kerjasama pembangunan proyek-proyek bisnis dengan pihak asing. Tanpa kontrol rakyat (lembaga rakyat), Pemerintah tidak akan optimal melaksanakan fungsinya secara benar. Di era global, jika Presiden (Pemerintah) mengabaikan fungsi kontrol rakyat (DPR) atau sebaliknya kongkalingkong dengan DPR, maka Pemerintah akan cenderung berbuat sembarangan dengan mitra bisnis asingnya. Efeknya TKI/rakyat yang rugi.
Dalam suatu pemerintahan yang lemah, rakyat mengkhawatirkan pemimpin dikendalikan group oligarki rezim. Kebanyakan group ini menggarap proyek bisnis yang tidak penting bagi hajat hidup rakyat. Bermacam-macam faktor yang melatarbelakangi group ini mempengaruhi pemerintahan lemah dan berbisnis. Salah satunya karena ingin korupsi, ingin mencari komisi dan keuntungan pribadi perusahaannya. Rakyat juga akan was-was jika kerjasama model seperti ini dibiarkan tanpa kontrol, dilakukan tidak untuk kepentingan rakyat kecil apalagi membebani Anggaran Pendapatan Belanjara Negara (APBN).
Memang untuk mengharmonikan tugas-tugas operasional eksekutif (Pemerintahan) dan tugas pengawasan legislatif (DPR) tidak mudah. Diperlukan peran tenaga ahli yang dapat membantu eksekutif dan legislatif. Tidak berarti tugas yang tidak mudah ini harus diserahkan, dikerjasamakan dan digantungkan pada bangsa asing (ahli-ahli asing). Jika ahli-ahli asing diberi peran besar apalagi tanpa kontrol mengatur atau mendesign pembangunan nasional Indonesia, maka otomatis arah kebijakan pembangunan nasional khususnya pembangunan SDM berubah total dan sudah dipastikan tidak akan sesuai seperti amanat UUD 1945.
Agar pemerintah dapat memfungsikan tugas pokoknya yaitu mensejahterakan rakyat, tentu diperlukan dua hal, yaitu pertama, diperlukan perencanaan yang matang dan pelaksanaan teknikal pembangunan nasional yang berkebudayaan serta terkontrol. Kedua, diperlukan ketajaman memprediksi kedepan arah kebijakan pembangunan bangsa Indonesia secara mandiri (semacam arah haluan Negara). Indonesia saat ini memang tidak memiliki haluan Negara sebagai penentu arah kebijakan pembangunan bangsanya karena sudah dipengaruhi oleh model pembangunan yang terlebih dahulu dilakukan bangsa lain. Sehingga efeknya pemerintah plus lembaga rakyat kesulitan menentukan skala prioritas perencanaan pembangunan nasionalnya.
Salah satu kesulitannya menyangkut bagaimana cara memadukan teknikal pembangunan yang terencana dan ketajaman membaca prediksi arah perkembangan pembangunan SDM bangsa Indonesia kedepan. Tidak heran jika rakyat ikut mengkritisi dan menilai perkembangan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Sebagian besar anggota DPR dinilai rakyat ikut andil membenarkan kesalahan arah kebijakan pemerintah. Padahal seharusnya DPR punya peran kontrol terhadap kinerja pemerintah berdasarkan UU, UUD 1945.
Wujud memperjuangkan kepentingan rakyat (TKI) agar hidup sejahtera ternyata tidak dilakukan. Sebaliknya TKI justru banyak menganggur. Ada pengangguran terang-terangan dan ada pula yang terselubung serta DPR diam tidak meminta pertanggung jawaban Presiden. Beban hidup rakyat semakin berat, harga-harga kebutuhan pokok tak lagi dapat dijangkau. Masalah yang muncul dari sisi kelemahan kebijakan atau kesalahan memilih skala prioritas pembangunan turut memperparah keadaan serta penuh masalah.
B. Masalah
Mengapa kebijakan mendatangkan TKA perlu dikoreksi, diawasi dan apakah kehadiran TKA di Indonesia cukup membantu TKI?
C. Investasi ambisius
Penggunaan TKA erat kaitannya dengan rencana pembangunan nasional dibidang Sumber Daya Manusia Indonesia (SDM Indonesia). Tujuan pembangunan ini tentu diprioritaskan untuk mewujudkan masyarakat sejahtera, adil dan makmur yang merata baik material maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Jika ditelisik dan dikaitkan dengan pedoman Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 UUD 1945 (tentang hak-hak buruh/pekerja) dan Pasal 39 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) terlihat jelas koreksinya, terutama koreksi pada substansi “pengaturan perluasan kesempatan kerja” TKI.
Pekerja (TKI) menurut UU No.13 Tahun 2003 ini sudah didudukan sebagai “subyek hak” yang memiliki tujuan luhur yaitu tujuan meningkatkan kwalitas SDM. Untuk melaksanakan tujuan luhur imi, Pemerintah bertanggungjawab mengupayakan sisi perluasan kesempatan kerja baik didalam maupun diluar hubungan kerja. Pembangunan nasional bidang tenaga kerja menurut UU ini memiliki arah dan tujuan lebih jelas dari UU sebelumnya, antara lain pertama, ada upaya memberdayakan TKI secara optimal dan manusiawi. Kedua, mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan memperluas penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional maupun daerah. Ketiga, memberikan perlindungan kepada TKI agar kesejahteraannya terwujud, dan keempat, meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja maupun keluarganya.
UU ini merupakan langkah maju dari UU sebelumnya, tetapi karakteristik UU No.13 Tahun 2003 ini “masih belum antisipatif” terhadap perkembangan dunia usaha yang semakin kompleks dan bersifat global. UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan “tidak terlalu kuat menjawab” tantangan dunia usaha yang beririsan dengan persyaratan investasi asing yang menjebak dan merugikan TKI. UU ini juga “tidak memberi proteksi kuat” terhadap ancaman penyempitan kebutuhan tenaga kerja akibat pemerintah salah membuat arah kebijakan investasi asing di Indonesia.
Nuansa eksploitasi, subordinasi, jebakan-jebakan skema investasi yang tidak menguntungkan tenaga kerja lokal serta bersifat diskriminasi masih menjadi faktor kendalanya. Sejak Presiden Joko Widodo (Tahun 2016) melakukan road show ke beberapa negara asing dalam rangka menawarkan proyek/bisnis yang dapat dimasuki asing sebagai investasi asing di Indonesia, maka sejak itu membawa perubahan besar terhadap tata perluasan kesempatan kerja bagi TKA, bukan bagi TKI. Dampak road show Presiden adalah a) investasi Asing yang masuk Indonesia ternyata mensyaratkan “syarat di luar kebiasaan” sehingga membawa pengaruh pada pelemahan ketahanan Negara RI. b) Jika tidak hati-hati dapat saja investor asing berinvestasi dengan menentukan prasyarat yang tidak masuk akal, seperti memaksa Pemerintah RI melonggarkan visa pada penduduk negara investor dan atau memberi izin pada penduduk asing pindah ke Indonesia dan “memiliki dwi kewarganegaraan” sebagai prasyarat kerjasama investasi.
Syarat investasi yang tidak lazim ditetapkan kepada pemerintah Indonesia, misalnya “Turnkey Proyect Investment (TPI)”. Modus TPI ini tidak dapat dipandang enteng oleh negara/rakyat Indonesia karena investasi modus ini mensyaratkan “uang, tenaga kerja, alat-alat/bahan dan management proyek diatur, dikendalikan dan dikuasai” oleh investor asing. Modus investasi semacam ini merupakan “jebakan utang investasi yang bukan saja merugikan rakyat”, tetapi dapat menciptakan tingginya angka pengangguran karena semua kebutuhan tenaga kerja ditentukan investor asing dan rakyat Indonesia hanya menjadi penonton di negeri sendiri.
Fakta kehadiran TKA China dirasa rakyat Indonesia sebagai bentuk pengambil alihan peluang-peluang pekerjaan yang seharusnya diisi dan menjadi porsi TKI. Kehadiran TKA tidak sekedar mengerjakan proyek investasi tetapi di lokasi proyek tersebut “tertutup bagi masyarakat setempat”. Masyarakat menduga di lokasi tersebut ada macam-macam kegiatan bisnis untuk kepentingan TKA dan dilakukan TKA serta hasil perputaran uangnya dikirim ke negara investor (China).
Kelemahan lain, Pemerintah (Kemenaker maupun pihak Imigrasi atau pihak terkait) ternyata tidak ketat melakukan pengawasan terhadap TKA yang ada di Indonesia. Kehadiran TKA dalam jumlah besar lambat laun menimbulkan gesekan dan kecemburuan sosial bagi warga setempat/TKI. Efek lain dari proyek ambisius era sekarang membuat tatanan sosial di wilayah NKRI berubah.
Dimana-mana timbul gejolak dan sekarang timbul gejolak pada “sisi regulasi”, misalnya gejolak ingin mengubah sistem hukum yang ada, melalui cara memaksa memberlakukan UU Omnibus Law. Padahal isi rencana UU Omnibus Law tersebut tidak cocok dengan filosofi Pancasila/sistem UUD 1945, tidak pro TKI dan merugikan TKI. Salah satu kelemahan RUU Omnibus Law adalah “membiarkan TKA mengisi dan menggeser kesempatan kerja TKI”, mengorbankan aspek nasionalisme dan memberi legalitas pada investasi asing modus TPI. Ditinjau dari aspek kemampuan Negara RI, proyek-proyek ambisius yang digarap tanpa kajian matang seperti ini dapat merongrong kedaulatan rakyat/kedaulatan negara itu sendiri.
D. Rakyat terintimidasi
Rakyat menjadi terintimidasi bila dihadapkan pada “investasi modus TPI”. Efek samping yang ditimbulkan dari proyek investasi modus TPI adalah ketahanan nasional terancam dan perlindungan TKI terabaikan. Selain itu, perluasan kesempatan kerja bagi TKI menjadi sempit karena batas 10% penempatan TKA dan batas 90% penempatan TKI realitasnya disimpangi akibat pengawasan lemah. Rakyat merasa terintimidasi dengan kehadiran TKA dalam jumlah banyak walaupun digembar-gemborkan sebagai tenaga ahli.
Hal demikian tergambar dari fakta, pertama, terjadi kebijakan perlakuan yang tidak sama antara TKA dan TKI sebagai efek dari pengawasan lemah. Kedua, Pemerintah hanya ingin mengejar target pencitraan serta tidak memikirkan resiko peningkatan pengangguran TKI akibat pengaruh investasi asing modus TPI. Ketiga, kemandirian serikat pekerja turut tergerus karena dilemahkan pemerintah. Keempat, proyek yang dikerjasamakan dengan asing (khususnya China) tidak visioner dan tidak memberi nilai tambah yang signifikan pada rakyat Indonesia (TKI), karena skema dan konsep perjanjian kerjasamanya tidak berimbang, dan tidak menguntungkan TKI. Peran Pemerintah RI seakan hanya bertugas mengintimidasi TKI atau rakyat yang menentang kebijakan investasi modus TPI atau apapun modusnya yang merugikan TKI (Read.ID, tanggal 18 Maret 2020).