Ketika Hakim Korupsi

OC Kaligis Surati Kapuspenkum Kejagung. Hakim
O.C Kaligis.(Foto:Dok.Pribadi)

“Dalam praktik peradilan, kami mencatat sejumlah kasus yang memperlihatkan bagaimana sebagian hakim secara terang-terangan mengabaikan hukum acara. Hal ini bukan semata disebabkan oleh kekeliruan atau keterbatasan pemahaman hukum, melainkan karena adanya indikasi kuat bahwa hakim tersebut telah “masuk angin”.”

Oleh: Otto Cornelis Kaligis

Pada tanggal 5 Mei 2025, Harian Kompas menurunkan berita pada halaman satu berjudul “Hakim Paling Banyak Terjerat Kasus Korupsi”. Bagi kami yang bergelut sebagai praktisi hukum, berita semacam ini bukanlah hal yang mengejutkan. Namun tetap saja, fakta bahwa semakin banyak oknum hakim terlibat kasus korupsi adalah tamparan keras bagi dunia peradilan Indonesia.

Padahal, jika saja Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diterapkan secara benar dan konsisten oleh para hakim, baik dalam perkara perdata maupun pidana, maka para pencari keadilan akan merasa terlindungi dalam upaya mereka menegakkan kebenaran.

Dalam praktiknya, khususnya pada kasus-kasus korupsi, masih banyak ditemukan penyimpangan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak jarang memanipulasi fakta-fakta persidangan. Yang menjadi ironi, hakim yang seharusnya menjadi penjaga marwah keadilan, justru tidak mengoreksi dakwaan dan tuntutan yang tidak didasarkan pada fakta di persidangan. Sebaliknya, tuntutan tersebut malah disalin mentah-mentah oleh hakim dalam putusannya.

Salah satu contoh paling krusial adalah soal penetapan kerugian negara. Kerugian ini sering kali hanya didasarkan pada hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ketika hasil penyidikan KPK tidak dapat menemukan bukti kuat mengenai kerugian negara, mereka kerap beralih pada kesaksian pihak-pihak yang tidak memiliki kapasitas atau keahlian untuk menilai aspek tersebut. Praktik ini, antara lain, terjadi dalam perkara yang menjerat Surya Dharma Ali.

Lebih memprihatinkan lagi, di pengadilan-pengadilan tingkat daerah, terutama di wilayah terpencil dengan status Pengadilan Negeri Kelas II yang hanya memiliki enam hakim, praktik-praktik menyimpang justru makin mudah terjadi. Minimnya pengawasan media serta ketakutan masyarakat untuk melapor membuat hakim-hakim nakal merasa bebas bertindak. Para pencari keadilan pun sering kali tidak berani mengadukan penyimpangan ini ke Mahkamah Agung (MA), khususnya ke Ketua Muda Pengawasan.

Kondisi ini harus menjadi bahan renungan bersama. Penegakan hukum yang bersih dan adil tidak akan tercapai jika integritas aparat peradilan diragukan. Sudah saatnya MA dan lembaga terkait meninjau kembali mekanisme pengawasan, serta memperkuat penerapan hukum secara konsekuen di seluruh tingkatan peradilan. Tanpa itu, harapan rakyat terhadap keadilan hanyalah ilusi.

Dalam praktik peradilan, kami mencatat sejumlah kasus yang memperlihatkan bagaimana sebagian hakim secara terang-terangan mengabaikan hukum acara. Hal ini bukan semata disebabkan oleh kekeliruan atau keterbatasan pemahaman hukum, melainkan karena adanya indikasi kuat bahwa hakim tersebut telah “masuk angin”, istilah yang kerap digunakan untuk menyebut praktik suap oleh salah satu pihak yang berkepentingan dalam perkara.

Berikut beberapa catatannya:

1. Salah satu contoh dari putusan dapat dilihat bahwa hakim itu nakal pada kasus Heddy Kandou terkait pengadaan barang dan jasa di perusahaan negara, PT. Telkom. Dalam berkas perkara (BAP), terdapat 11 dokumen pemeriksaan yang menunjukkan bahwa proses pengadaan barang dan jasa sepenuhnya diurus oleh Padmasari Metta. Fakta ini sangat terang benderang, namun dalam amar putusan, hakim justru mengesampingkan bukti-bukti tersebut dan tetap menjatuhkan vonis kepada Heddy Kandou.

BACA JUGA  Kejati Papua Barat Tahan Bendahara Disnakertrans

2. 11 BAP tersebut terungkap oleh saksi-saksi di bawah sumpah dalam pemeriksaan dakwaan dugaan tindak pidana korupsi Heddy Kandou.

3. Baik Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya dan vonis hakim mengabaikan fakta yang terungkap di persidangan.

4. Tetap saja yang divonis bersalah adalah Heddy Kandou yang sama sekali tidak terlibat dalam pengurusan barang dan jasa. Bahkan, para petinggi Telkom divonis sangat rendah dibandingkan vonis Heddy Kandou, yaitu 10 tahun.

5. Hakim pemutus adalah Agam Syarief Baharudin, Bambang Joko Winarno, dan Hiashinta Fransiska Manalu.

6. Kami laporkan fakta hukum ini ke Kejaksaan Agung (Kejagung) bidang Pidsus agar menindak Jaksa Penyidik Beny Utama dan M.Kurniawan, tanpa hasil.

7. Dalam buku kami berjudul “Peradilan Sesat”, kami merangkum beberapa putusan sesat pengadilan antara lain:

8. Kasus yang menjerat mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik, adalah contoh lain bagaimana proses hukum bisa mengabaikan konteks jabatan dan mekanisme kerja pejabat negara. Ia dijatuhi hukuman pidana karena dianggap menyalahgunakan Dana Operasional Menteri (DOM), padahal dana tersebut milik yang bersangkutan. Hal ini dibenarkan oleh kesaksian di bawah sumpah Presiden SBY dan Wakilnya Jusuf Kalla.

9. Kesaksian mereka diabaikan sama sekali divonis hakim, Jero Wacik tetap divonis bersalah.

10. Kasus Indar Atmanto. Kasus yang menimpa Indar Atmanto, mantan Dirut PT Indosat Mega Media (IM2), menjadi contoh nyata lain dari bagaimana hukum pidana digunakan untuk menyeret pejabat korporasi yang sebenarnya sedang menjalankan praktik bisnis yang sah.

11. Indar Atmanto dimajukan sebagai terdakwa korupsi untuk regulasi sektor penyeleanggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi.

12. IM2 : dari penyelenggara jasa telekomunisasi, bukan penyelenggara jaringan telekomunikasi, sampai ke Pengadilan.

13. Penjelasan pakar hukum dan pemangku kepentingan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) nasional dan pokok-pokok.

14. Pemikiran sahabat peradilan (Amicus Curiae) memberi penjelasan kepada pengadilan bahwa kasus korupsi Indar Atmanto, bukan kasus korupsi.

15. Mereka terdiri dari mantan Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB), mantan Menkominfo, Anggota Komisi I DPR-RI, mantan Ketua dan Wakil ketua KPK, Masyarakat Telematika Indonesia, Pakar Telekomunikasi UI, Komisioner Kejaksaan Agung, dan sejumlah pakar lainnya dalam bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi, para Akademisi, ilmuwan minta ke pengadilan agar Indar Atmanto ditetapkan bukan sebagai terpidana korupsi.

16. Yang bersangkutan karena jasanya di bidang Mega Media, mendapatkan bintang Satya Lencana Wirya Karya dari Presiden SBY.

17. Indar Atmanto berjasa dalam perkembangan Industri telekomunikasi.

18. Berikutnya, kasus korupsi Surya Dharma Ali. Tidak menemukan kerugian negara hasil temuan BPK, direkayasalah keterangan seorang saksi, saat Surya Dharma Ali minta kepada majelis hakim agar dilakukan konfrontasi terhadap saksi tersebut, JPU KPK gagal menghadapkan saksi rekayasa tersebut.

BACA JUGA  Naik ke Penyidikan, Ipung: Polres Badung Harus Segera Penjarakan Pedofil

19. Bahkan, salah satu ironi terbesar dalam praktik penegakan hukum kita adalah penggunaan alat bukti yang tidak logis dan tidak relevan. Dalam sejumlah perkara korupsi, ada kejadian di mana sepotong kiswah kain penutup Ka’bah yang secara simbolik sangat sakral justru dijadikan alat bukti dugaan korupsi.

20. Dari perkara itu, terbukti mulainya penyelidikan, karena Surya Dharma Ali tidak harmonis dengan Komisi VII DPR-RI. Semua penonton sidang mengakui bahwa kasus korupsi Surya Dharma Ali adalah sarat muatan politik.

21. Kasus yang menjerat Miranda Swaray Goeltom, yang dikenal luas sebagai Kasus Cek Pelawat, merupakan salah satu contoh paling menonjol dari carut-marutnya proses penegakan hukum di Indonesia. Miranda dituduh memberikan suap kepada sejumlah anggota DPR RI agar dirinya terpilih sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI). Bentuk dugaan suap tersebut adalah pembagian cek pelawat kepada sejumlah anggota legislatif.

22. Dari persidangan, tidak seorang saksipun yang mendukung dakwaan dan tuntutan JPU.

23. Dari Rutan KPK Miranda Goeltom mengutarakan ketidak adilan yang dialaminya. Ketidak adilan yang telah menghilangkan kebebasannya, kebebasan untuk menentukan apa yang diinginkan, bahkan untuk hal yang sangat sederhana sekalipun.

23. Dari balik jeruji Rutan KPK, Miranda Goeltom pernah menyampaikan jeritan hati yang mencerminkan kepedihan akibat proses hukum yang ia anggap tidak adil. Ketidakadilan itu bukan hanya telah merampas kebebasannya sebagai warga negara, tetapi juga kebebasan yang paling mendasar: hak untuk menentukan arah hidup sendiri, bahkan untuk hal-hal paling sederhana dalam keseharian.

24. Selama 11 tahun di BI, aku cukup kenyang dengan segala fitnah.

25. Fitnah Pertama. Peristiwa ini terjadi saat seluruh jajaran Dewan Gubernur BI yang dipimpin Pak Syahril Sabirin menghadap Presiden Gus Dur di Istana. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba saja Gus Dur melontarkan pernyataan mengejutkan, ”Saya mendengar bahwa dua Deputi Gubernur BI, yakni Miranda dan Soebardjo mencetak uang palsu 100.000 plastik sebanyak puluhan triliunan rupiah, uang itu disimpan di bawah Monas. ”Oh Pembisik….kumaafkan engkau”.

26. Fitnah Kedua. Presiden SBY melakukan inspeksi mendadak ke BI pada saat mini krisis tahun 2005. Keesokan harinya aku difitnah melakukan spekulasi mata uang, Yang paling tidak bisa ku mengerti, mengapa SBY demikian rupa sehingga menceritakan hal itu pada sidang kabinet?. Tanpa mengetahui cara kerja BI, sungguh gegabah, tuduhan itu tak pernah terbukti, karena memang tidak ada. “Ah, aku maafkan dia. Tidakkah dia sadar bahwa keputusan kenaikan harga BBM yang terus tertunda?.

27. Fitnah Ketiga. Saat aku sedang berada di St.Petersburg untuk menjadi panelis sebuah Seminar International, muncul rumor di Jakarta bahwa Miranda Goeltom ditahan di Inggris karena mengutil di salah satu Departemen Store di London. Padahal aku ke London seminggu sebelumnya, dan hanya sempat ke Bank of England, ke Kementerian Keuangan, dan ke rumah Dubes Marty Natalegawa. Dan sudah kembal ke Jakarta lagi, sebelum akhirnya berangkat ke St. Petersburg.

BACA JUGA  Mengulik Reformasi Birokrasi di Ujung Kekuasaan

Temanku Shanti Poespo Sucipto meneruskan SMS itu ke suamiku Oloan yang langsung menelpon aku. Ada apa ini?. Ah’’’entahlah…. Yang penting berita itu tidak benar! Kedutaan Besar di London yang dihubungi pun mengatakan hal itu tidak benar. Lah…aku saat itu di St.Petersburg, di Rusia, bukan di London, Inggris.

28. Hoax di atas, menjelaskan betapa fitnah dilemparkan ke Miranda Goeltom untuk memberi justifikasi rekayasa korupsi tanpa bukti yang dialaminya. Terhadap segala macam fitnah, Miranda hanya berucap: “Keadilan Pasti Datang”.

29. Selanjutnya, kasus korupsi Hotasi Nababan. Kasus perdata yang dipidanakan.

30. Hotasi didakwa melanggar pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

31. Duduk Perkara. Hotasi Nababan bersama Dewan Direksi PT. Merpati Nusantara Airlines (PT. MNA) merencanakan untuk melakukan penambahan dua unit pesawat Boeing 737.

32. Tony Sudjiarto berdasarkan surat kuasa dari Hotasi Nababan, menandatangani Lease Agreement Summary of Term dengan Jon Cooper. Pokok-pokok kesepakatan.

33. PT.PMA menempatkan security deposit sebesar US.$. 500.000 untuk masing-masing pesawat.

34. P.T.MNA menempatkan SD sebesar US.$ 1000.000. secara langsung pada rekening kantor Pengacara Hume Associates.

35. Penempatan SD harus dilakukan 1 hari setelah Purchasing Agreement TALG dengan Lehman Brothers.

36. Pesawat akan dibeli oleh TALG dari Lehman Brothers dengan syarat PT.MNA akan melakukan penyewaan terhadap pesawat tersebut.

37. Dalam perkembangannya TALG sebagai pemberi sewa (lessor) gagal mendatangkan pesawat yang dijanjikan ke pihak pT.MNA.

38. Kasus ini salah satu potret kegagalan dalam menjalin kerja sama bisnis antara perusahaan negara dengan mitra asing yang tidak kredibel. Peristiwa ini mencuat ketika dana Setoran Dana (SD) yang semula dijanjikan sebagai bagian dari investasi ternyata telah dicairkan dan digunakan untuk kepentingan pribadi oleh pihak mitra, yakni Alan Messner dan John Cooper.

Setelah diketahui bahwa Setoran Dana (SD) yang telah disetor sudah dicairkan dan digunakan secara pribadi oleh Alan Messner dan John Cooper. Karenanya petinggi TAlg yaitu Jon Cooper dan Alan Massner. Keduanya telah dijatuhi hukuman pidana oleh otoritas hukum di yurisdiksi masing-masing atas tindakan manipulatif yang merugikan.

39. Kasus Merpati Nusantara Airlines menjadi gambaran nyata betapa hukum bisa berjalan terbalik. Dalam kasus ini, Hotasi Nababan yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama Merpati justru menjadi korban penipuan oleh mitra asing, namun ironisnya ia pula yang kemudian dikriminalisasi di tanah air. Yang nipu adalah Jon Cooper dan Alan Messner, yang korban dan dikriminalisasi adalah Hotasi Nababan.

*Penulis adalah praktisi hukum senior