BANJARMASIN-KALSEL, SUDUTPANDANG.ID – Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) Dr TM Luthfi Yazid, SH, LL.M menyerukan segera dilakukannya reformasi hukum secara total, dari hulu sampai ke hilir.
Dalam taklimat media yang diterima dari DePA-RI, Kamis (1/5/2025) disebutkan, seruan pimpinan organisasi advokat tersebut dikemukakan pada pelantikan para advokat baru DePA-RI pada 29 April 2025 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalse).
Pelantikan advokat baru itu dihadiri Sekjen DePA-RI Dr. Sugeng Aribowo; Ketua DPD DePA-RI Kalimantan Selatan Nizar Tanjung, S.H., M.H.; dan Wakil Ketua I Bidang PKPA dan UPA Abdul Hakim, S.H., M.H., M.I.Kom., M.Ap.
Hadir pula Wakil Ketua II Bidang Organisasi dan Keanggotaan Dr. Bahrudin Tampubolon, S.E., S.H., M.Kn dan Wakil Ketua III Bidang Advokasi dan Pembelaan Anggota Rachmad Fadillah, S.H.
Selain melantik advokat baru, Ketua Umum DePA-RI juga akan segera melantik pengurus-pengurus baru di beberapa provinsi lainnya serta mengadakan kerjasama dengan organisasi advokat dari negara lain.
Pada pelantikan advokat DePA-RI yang juga dihadiri pengurus DPD DePA-RI dan sejumlah advokat senior dari organisasi advokat lainnya di Banjarmasin itu Luthfi lebih lanjut menyatakan, pembenahan atau penataan kembali negara hukum harus dilakukan secara komprehensif, totalitas, dari hulu sampai hilir, dari pembuat UU sampai pelaksana UU.
Dalam pidato pengarahannya, Ketua Umum DePA-RI juga mengingatkan agar para advokat yang baru dilantik memegang teguh kode etik advokat, sumpah advokat, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sikap ini sangat penting dalam upaya memperjuangkan profesi advokat yang mulia (officium nobile) dengan mengedepankan keadilan bagi siapapun sesuai semboyan DePA-RI, Justitia Omnibus (Keadilan Untuk Semua).
Luthfi juga mengingatkan agar para advokat DePA-RI jangan sampai melakukan perbuatan tercela serta melakukan suap, menyogok, gratifikasi ataupun menghina lembaga peradilan atau Contempt of Court.
Dalam kaitan ini ia mencontohkan adanya dua advokat di Jakarta, Ariyanto Bakri dan Marcella Santoso yang diduga terlibat penyuapan Rp60 miliar untuk membebaskan kliennya yaitu PT Permata Hijau Group, PT Wilmar Group, dan PT Musim Mas Group.
Pimpinan DePA-RI juga mencontohkan advokat Lisa Rahmat yang melakukan hal yang sama di Pengadilan Negeri Surabaya yang menyeret nama mantan pejabat MA, Zarof Ricar.
Selain itu ada dua advokat, Razman Arif Nasution dan Firdaus Oiwobo yang dibekukan Berita Acara Sumpahnya sehingga mereka tidak bisa lagi menjalankan persidangan di pengadilan.
Dua advokat itu dianggap melakukan “Contempt of Court” saat sidang di Pengadilan Jakarta Utara. Ketika itu Razman Arif mengeluarkan kata-kata kotor kepada hakim dan Firdaus Oiwobo naik ke atas meja di ruang sidang.
Luthfi kemudian mengapresiasi langkah MA yang memutasi 199 hakim dan 68 panitera setelah terjadinya tiga kasus tersebut serta berharap pesan MA itu dipahami oleh para hakim di seluruh Indonesia.
Akan tetapi langkah itu, menurut dia, belum cukup, sebab pembenahan atau penataan kembali negara hukum harus dilakukan secara komprehensif, totalitas, dari hulu sampai hilir, dari pembuat UU sampai pelaksana UU.
Praktik mafia hukum dan korupsi yudisial itu muncul karena adanya demand dan supply. Tak akan ada suap kalau tak ada penyuap dan penerima suap. Ada yang menawarkan, ada yang menerima. Tapi kalau ditolak tawarannya, maka tak akan ada suap.
Luthfi menekankan bahwa memberantas atau mereduksi praktek suap harus dimulai dari level kepolisian, karena rekayasa perkara bisa dimulai dari tingkat penyidikan. Begitu juga “hengki-pengki” dapat juga terjadi di level kejaksaan dan pengadilan.
Polisi selaku penyidik, jaksa selaku penuntut, advokat yang membela dan hakim yang memutus sama-sama punya peran penting akan timbulnya praktek suap menyuap, dan tak kalah pentingnya adalah panitera yang menjadi penghubung antara advokat, jaksa dan hakim.
Tapi menurut pengacara Calon Presiden RI dalam sengketa Pilpres 2019 dan 2024 ini Indonesia harus memiliki Undang-undang Contempt of Court (UU COC). Tidak cukup terkait penghinaan kepada lembaga peradilan hanya diatur dalam pasal-pasal terpisah dalam KUHP, dan Luthfi menyayangkan sampai saat ini Indonesia belum memiliki UU Contempt of Court.
Maka, kata dia, kini sudah saatnya DPR menginisiasi serta menggoalkan UU COC yang harus dibuat dengan partisipasi publik dan kajian akademis yang mendalam. DPR tidak boleh “main sulap” dalam meloloskan sebuah RUU menjadi UU.
Dikatakannya, bukan hanya negara-negara yang menganut sistem common law seperti Singapura, Australia, dan Selandia Baru yang menganggap aturan COC penting, bahkan negara komunis seperti China atau Jepang yang homogen menganggap COC adalah masalah yang serius untuk mewujudkan peradilan yang merdeka dan imparsial (free and impartial tribunal).
Baginya, COC bukan hanya dapat dilakukan oleh seorang advokat, namun juga oleh pengunjung sidang, jaksa, dan bahkan hakim sendiri, sebab COC itu adalah penghinaan terhadap lembaga atau institusi, demikian TM Luthfi Yazid. (PR/02)