Kilas Balik Penegakkan Hukum Era Reformasi, OC Kaligis: Hancur Leburnya “Fiat Justia Ruat Caelum”

OC Kaligis
OC Kaligis (dok.SP)

“Kesimpulan saya sebagai praktisi dan akademisi: Rusaknya penegakkan hukum di Indonesia, akibat merasuknya unsur politik ke dunia hukum.”

Sukamiskin, Selasa, 28 Desember 2021.

Kemenkumham Bali

Hal: Kilas Balik Penegakkan Hukum Era Reformasi. Hancur Leburnya “ Fiat Justitia Ruat Caelum” Akibat Campur Tangan Politik.

Kepada yang terhormat DPR-RI di Senayan.

Saya, Prof. Otto Cornelis Kaligis, “warga binaan” Lapas Sukamiskin, dijadikan tersangka korupsi tanpa bukti suap kepada Hakim, sebagai praktisi dan akademisi, hendak membagi pengalaman dan pandangan saya melalui kilas balik hancurnya penegakkan hukum di Era reformasi di bumi Indonesia ini. Sebagai praktisi yang ikut aktif dalam dunia peradilan di dalam dan di luar negeri, bersama surat ini, saya ingin berpartisipasi, memberi masukan yang mungkin bisa jadi kegiatan para wakil rakyat dalam turut memperbaiki penegakkan hukum di Indonesia.

Berikut Kilas Balik atas dasar pengalaman saya di dunia hukum:

1. “Ketika Politik menguasai hukum, lenyap sudah perjuangan akan keadilan dan kebenaran”

2. Cita-cita utama ditumbangkannya Orde Baru ke Orde Reformasi adalah katanya, karena pemerintahan Presiden Soeharto, korup. Buktinya Pemerintahan Soeharto lebih aman, tidak terjadi huru hara politik, penanaman modal asing berkembang cepat, bebas dari para oknum provokotar yang ingin ganti Pemerintahan melalui orator-orator provokasi mereka. Para Gubernur, Bupati, Wali Kota, Camat, Lurah, Pengusaha bisa bebas melakukan kegiatan, tanpa khawatir akan terjerat kasus pidana.

3. Bersamaan dengan awal lahirnya Orde Reformasi lahir beberapa perangkat Undang-undang pertanda niat baik Pemerintahan Orde Reformasi untuk menciptakan pemerintahan bersih.

4. Semua Undang-undang didasarkan atas falsafah Pancasila dan UUD 1945.

5. Sejalan dan sesuai konstitusi, dijamin “Persamaan perlakuan bagi semua orang di depan hukum.” Praktiknya: Tidak demikian.

6. Sumpah Presiden, Wakil Presiden, Kapolri, Jaksa Agung dan semua penegak hukum termasuk para pimpinan KPK, sesuai Pasal 9 UUD ’45, mereka bersumpah akan taat Undang-undang dan Peraturan-peraturan yang berlaku.

7. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 adalah bukti “katanya” untuk menciptakan pemerintahan bersih bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme.

8. Menyusul, dibuatlah Undang-undang Tipikor, UU Nomor 31/1999 jo. UUU Nomor 20 Tahun 2001, yang sifatnya ad hoc.

9. Karena sifatnya yang ad hoc, lahirnya untuk memaksimalkan kinerkerja Kepolisian dan Kejaksaan, maka para penyidik dan penuntut umum KPK, semuanya berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan.

10. Tugas KPK dalam penyelidikan dan penyidikan adalah untuk menangani kasus-kasus korupsi yang nilai kerugian negaranya di atas 1 miliar rupiah.

11. Sayangnya dalam praktik KPK pimpinan Agus Rahardjo, Abraham Samad, Bambang Wijojanto menjaring gratifikasi yang berjumlah hanya sekitar 5 juta rupiah, seperti yang dialami oleh kurang lebih 40 anggota DPRD Malang.

12. Ketentuan menjaring korupsi di atas 1 miliar rupiah dilanggar seenaknya oleh KPK, dan tak seorangpun peduli akan pelanggaran tersebut.

13. Bahkan para Hakim, penganut Restoratif Justice, menghukum mereka yang hanya menerima gratifikasi di sekitar 5 juta rupiah, dengan lama hukuman sekitar 3 – 4 tahun. Bukannya negara beruntung, sebaliknya negara dirugikan, karena mesti membiayai hidup mereka selama ditahan.

14. Dari hasil penelitian saya di Lapas Sukamiskin, terdapat cukup banyak karyawan kecil kelurahan, yang hanya karena menerima hadiah di bawah 10 juta rupiah harus mendekam di penjara minimal 4, atau 5 tahun. Mereka dibela tanpa Pengacara, atau dibela oleh Pengacara yang ditunjuk Jaksa.

15. Bahkan dalam kasus Bakamla seorang rekan Polisi Juli Amar yang menerima hanya 4 juta rupiah, harus dipenjarakan di Sukamiskin selama 2 tahun. Tentu peristiwa semacam ini adalah bukti buruknya penegakan hukum di Indonesia.

16. Mengapa saya berkata demikian?. Seandainya kasus Bibit-Chandra yang telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan melalui penetapan P-21, dimajukan ke Pengadilan, akan terbukti, sesuai dengan keterangan saksi di BAP, para komisioner KPK seperti Chandra Hamzah, Bibit, Jasin, Ade Raharja yang diduga menerima suap di sekitar 1 miliar rupiah. Sedangkan para penyidik KPK lainnya diduga menerima suap sampai dengan 400 juta rupiah, jauh di atas uang gratifikasi yang diterima oleh para anggota DPRD Malang, atau oleh para karyawan kecil di Kelurahan.

17. Bahkan, dua Komisioner KPK masing-masing Abraham Samad dan Bambang Widjojanto terpaksa diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Komisioner KPK karena terlibat dugaan pidana umum yang perkaranya telah dinyatakan p-21.

18. Yang parah karena beredar di media, Komisioner Abraham Samad diduga sedang berpelukan mesra dengan seorang wanita cantik, berbungkus selimut, berdua mesra diranjang yang sama.

19. Lebih hebat lagi karena terungkap bagaimana Abraham Samad bolak balik ke Partai Nasdem, dan PDI-P, untuk menggolkan dirinya sebagai calon Wakil Presiden. Padahal sebelum jadi Komisioner KPK, Abraham Samad, hanyalah Pengacara kecil, tanpa nama, yang kantornya di Makassar, dimana Abraham Samad tidak menangani perkara perkara besar.

20. Yang licik adalah komisionner Bambang Widjojanto. Sekalipun perkara pidananya berhasil dideponeer, Bambang Widjojanto berhasil menduduki tempat basah di DKI sebagai ketua TGUPP (Tim Gabungan untuk Percepatan Pembangunan).

21. Selaku ketua TGUPP, yang rangkap jabatan, Bambang Widjojanto bebas menjadi Juru Kampanye Prof. Denny Indrayana di Kalimantan Selatan, dan tetap memberi nasehat hukum dalam kedudukannya sebagai pengacara.

22. Mengenai perhitungan kerugian negara. Hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) satu-satunya badan yang punya wewenang menentukan kerugian negara sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17/2003, Nomor 1/2004 dan Nomor 15/2004. Hal ini juga diakui dan dibenarkan oleh baik Ketua Mahkamah Agung maupun oleh Jaksa Agung. Dalam Prakteknya: KPK selalu tidak mendasarkan kerugian negara berdasarkan Undang undang tersebut.

23. Pengawasan terhadap pembentukan undang-undang, melalui Mahkamah Konstitusi.

24. Ketika DPR-RI di tahun 2018 melakukan pengawasan terhadap KPK, KPK melakukan perlawanan melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Tujuannya adalah untuk menganulir wewenang pengawasan DPR terhadap KPK. Merasa gugatan tersebut akan ditolak, KPK menarik gugatannya menjelang putusan.

25. Sebenarnya hasil temuan DPRRI dalam rangka pengawasan ditahun 2018, cukup untuk membongkar penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi oknum oknum KPK. Sayangnya temuan itu tenggelam begitu saja, karena media tidak mendukung.

26. Bahkan ketika undang-undang revisi KPK, UU Nomor 19 Tahun 2019, dimana dimuat ketentuan kewajiban bagi penyidik KPK, mengikuti Test Wawasan Kebangsaan, para Komisioner KPK yaitu Agus Rahardjo, Laode Muhammad Syarif dan Saut Situmorang, menggugat lahirnya undang-undang tersebut yang berujung pada putusan akhir : Gugatan KPK ditolak.

27. Akibatnya sejumlah penyidik KPK yang tidak lulus Test Wawasan Kebangsaan, di bawah pimpinan Novel Baswedan membuat kegaduhan hukum, yang berakhir pada berhasilnya Novel Baswedan kembali diangkat menjadi ASN Mabes Polri. Bukti runtuhnya penegakkan hukum, ketika politik menguasai dunia hukum.

28. Lahirnya Mahkamah Konstitusi adalah guna mengawasi pembentukan undang-undang yang bertentangan dengan UUD ’45: maka berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD.45, Mahkamah Konstitusi berwewenang menguji undang-undang terhadap UUD ’45, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang dasar.

29. Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardian of constitution). Apabila terdapat undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, MK dapat menyatakan bahwa undang-undang itu tidak memiliki hukum yang mengikat, baik secara keseluruhan maupun bagian bagian dari undang-undang tersebut.

30. Sejak lahirnya otoritas Mahkamah Konstitusi sudah cukup banyak undang-undang yang “asal bentuk”, dinyatakan oleh KPK, sebagai undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, karenanya pembentukannya dinyatakan tidak sah.

31. Disamping itu, demi hukum acara yang terjadi di KPK ada beberapa putusan MK yang relevan bagi para tersangka KPK yang akan saya sebut di sini, sekalipun putusan MK tersebut diabaikan oleh para penyidik, penuntut umum , bahkan oleh hakim pemutus perkara.

32. Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016. Intinya: bahwa Jaksa tidak lagi berwewenang bertindak sebagai pihak pada acara permohonan PK. Wewenang KPK berakhir setelah putusan in kracht, dimana terpidana telah menjadi warga binaan di bawah otoritas binaan Menteri Hukum dan HAM. Dalam praktiknya setiap permohonan PK, Hakim memperbolehkan Jaksa untuk terlibat dalam permohonan PK.

33. Putusan PK Nomor 34/PUU-XI/2013. Warga Binaan boleh mengajukan PK lebih dari sekali. Praktiknya: Ketua Mahkamah Agung selalu menolak memeriksa PK kedua, sehingga praktis hak warga binaan untuk memajukan PK lebih dari sekali sesuai putusan MK tersebut, dilanggar.

34. Putusan PK Nomor 20/PUU-XI/2013. Sadapan bukan bukti. Praktiknya: KPK selalu menggunakan sadapan hasil editan sebagai alat bukti.

35. Putusan PK Nomor 25/PUU-XIV/2016: Kerugian negara dalam kasus korupsi, harus kerugian yang nyata hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan. Kata “dapat” dalam Pasal 2 dan 3 Undang-undang Tipikor, dilenyapkan. Hilang karena kata “dapat” bisa menimbulkan multi tafsir. Bukan fakta hukum mengenai kerugian negara yang sebenarnya.

36. Selain Putusan-putusan MK tersebut di atas, banyak undang-undang yang dilanggar. Contohnya UU Nomor 30 Tahun 2014. Intinya sebelum pegawai negeri ditentukan sebagai pelaku korupsi, harus mengikuti proses pemeriksaan oleh pengawas internal. Temuannya bisa sebagai pelanggaran administrasi atau korupsi. Bila korupsi baru disaat itu, KPK bisa mulai menyidik. Dalam PraktIk, hanya atas dasar sadapan atau laporan masyarakat, yang bersangkutan dapat dinyatakan sebagai tersangka korupsi.

37. Dalam perkara korupsi RJ. Lino misalnya, KPK tidak berhasil mendapatkan bukti adanya kerugian negara hasil pemeriksaan BPK. Agar perkara terus dapat dilanjutkan, KPK memeriksa sendiri perhitungan kerugian negara. Jelas KPK melawan undang-undang.

38. Saudara Syafruddin Tumenggung pun yang adalah Ketua BPPN akhirnya bebas, karena tidak adanya laporan BPK yang berwewenang menetapkan adanya kerugian negara.

39. Yang paling parah ketika Hakim Agung Artidjo menjadi Ketua Kamar Pidana Khusus di Mahkamah Agung. Pokoknya semua kasasi yang sampai ditangan beliau, divonis berat tanpa pertimbangan hukum.

40. Bukan hanya Ketua Mahkamah konstitusi DR. Hamdan Zoelva SH yang mengkritisi putusan putusan Hakim Agung Artijo, banyak pakar hukum lainnya berpendapat yang sama. Saya sendiri melihat beberapa putusan Artidjo tanpa pertimbangan hukum sama sekali. Vonis Artidjo 10 tahun terhadap diri saya, sama sekali mengabaikan bukti bukti yang terungkap di Pengadilan.

41. Terakhir saya membaca pernyataan seorang mantan Hakim Syarifudin Umar, yang memberi kesaksian bahwa dia sendiri mendengar pernyataan hakim Artidjo, bila kasasi sampai ditangan Artidjo, pasti para terdakwa divonis berat, tanpa pertimbangan hukum. Katanya Hakim Agung Artidjo memutus berdasarkan selera, bukan berdasarkan pertimbangan hukum.

42. Adalah Jaksa Senior Antasari Azhar, ketika diangkat sebagai Ketua Komisioner KPK berhasil memajukan korupsi Bibit- Chandra agar segera dimajukan ke Pengadilan. Bibit-Chandra diwaktu itu sudah ditahan di Makko Brimob. Menunggu sidang dibuka untuk umum.

43. Pada kasus Bibit-Chandra lah sebenarnya pemerintahan bersih KKN dapat diwujudkan. Terhalang oleh Deponeering ciptaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mungkin di saat itu SBY lupa akan sumpahnya. Sumpah untuk taat undang-undang, taat perintah Pengadilan. Padahal dalam suratnya yang dialamatkan kepada Nazaruddin, SBY dengan tegas menyatakan bahwa hukum harus dijalankan tanpa pandang bulu.

44. Seandainya kasus korupsi Bibit Chandra dimajukan ke Pengadilan, akan terbongkar siapa siapa makelar kasus di KPK, dan siapa siapa penyidik yang menerima suap. Seandainya kasus korupsi Bibit-Chandra maju ke Pengadilan, saya yakin sudah lama KPK yang korup, seharusnya dibubarkan.

45. Presiden SBY dengan semboyan “Katakan Tidak Terhadap Korupsi”, bahkan pada deklarasi Cikeas: Mendeklarasikan Partai Demokrat, sebagai partai yang sama sekali tidak akan berkonspirasi dengan tersangka koruptor. Ternyata SBY meloloskan dan mendukung tersangka dugaan korupsi Prof. Denny Indrayana sebagai calon Gubernur Kalimantan Selatan.

46. Terbongkar di media bahwa SBY lah yang diduga menggiring Anas Urbaningrum yang mengalahkan calon SBY saudara Andi Mallarangeng, agar KPK memenjarakan saudara Anas Urbaningrum.

47. Bukan saja dalam penetapan deponeering kasus korupsi Bibit-Chandra SBY menggunakan kekuasaan politiknya, tetapi dalam kasus dugaan rekayasa pembunuhan Antasari Azhar, SBY pun mengirim Hari Tanoe dengan pesan agar Antasari Azhar tidak menjaring saudara Pohan, besan SBY sebagai tersangka korupsi.

48. Semenjak adanya gerakan Deponeering yang dikomandoi oleh SBY, kekuasaan KPK semakin menjadi.

49. Apalagi saat Novel Baswedan beraksi melakukan perlawanan hukum atas ke tidak lulusnnya sebagai penyidik KPK. Akhirnya Novel Baswedan berhasil kembali menjadi ASN, berkat bantuan LSM-LSM, ICW, Kompas. Mingguan Tempo, Detik.com dan media-media besar lainnya.

50. Inilah saat dimana Novel Baswedan berhasil menunjukkan kekuasaannya melebihi kekuasaan Jaksa Agung yang menetapkan bahwa kasus dugaan pembunuhan Novel Baswedan P-21, berkasnya lengkap untuk dibawa ke pengadilan.

51. Tak satu media pun yang berani mengungkit kasus dugaan pembunuhan yang dilakukan oleh Novel Baswedan terhadap korban AAN, yang perkaranya lagi saya gelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

52. Bahkan Novel Baswedan melalui peradilan jalanan dan peradilan media, Novel Baswedan berhasil membuat Presiden Jokowi, melalui Kapolri, mengangkat kembali diri Novel dan kawan kawan kembali menempati posisi ASN Mabes Polri.

53. Bukankah syarat minimum usia untuk diangkat jadi ASN, harus maksimal berusia 35 tahun. Padahal Novel Baswedan saat ini telah berusia 44 tahun. Novel yang pernah menyatakan dirinya keluar sebagai polisi, kini kembali bertugas di Kepolisian.

54. Pemerhati hukum dapat bayangkan. Polisi yang membuat gelar perkara tentang peristiwa pembunuhan yang dilakukan Novel Baswedan di Bengkulu, kini dipaksa duduk bersama dengan Novel Baswedan di Bareskrim. Apa polisi sudah tidak mempunyai nurani keadilan? Duduk bersama dengan seorang tersangka Pembunuh, Kebal Hukum, bernama Novel, Baswedan?.

55. Sebagai praktisi yang sudah berkecimpung didunia hukum selama lebih dari 50 tahun, saya harus dengan jujur menyatakan pendirian saya, bahwa cita cita era reformasi dalam penegakkan hukum, jauh dari harapan.

56. Saya mengamati dan punya pengalaman untuk kasus kasus illegal fishing, illegal loging, reboisasi, kasus kasus kebun Kelapa sawit dan banyak kasus kasus dimana saya melihat bahwa bumi Indonesia tidak lagi dimiliki oleh rakyat kita sendiri.

57. Dalam membuat perjanjian perjanjian business dengan pengusaha asing dalam rangka penanaman Modal asing, kita lemah. Perjanjian perjanjian Pertahanan yang bersifat rahasia, berkasnya diminta oleh KPK. Padahal berkas rahasia tersebut sama sekali bukan milik KPK.

58. Sebagai praktisi dan akedemisi, semua kekacauan hukum di Indonesia , hanya dapat saya bukukan, untuk menjadi bahan kajian pemerhati hukum.

59. Saya menulis buku antara lain kasus korupsi “Bibit-Chandra”, “Nazaruddin Jangan Saya Direkayasa Politik“, “Peradilan Tebang Pilih“, “Peradilan sesat “, “KPK Bukan Malaikat“, “ Mereka yang Kebal Hukum” ,  Sejarah Hitam KPK, Novel Pembunuh Bengis.”

60. Di Lapas Sukamiskin saya berhasil menulis 14 buku hukum dari sejumlah 128 buku hukum, atas dasar pengalaman saya menangani kasus-kasus hukum baik di Pengadilan Indonesia maupun di Pengadilan luar negeri. Semua buku saya yang berlabel ISBN, dapat dibaca di Perpustakaan Sukamiskin.

61. Saya tidak pernah merasa terpuruk sebagai warga binaan. Saya sadar, saya dikirim ke sini karena dendam KPK teradap diri saya.

62. Banyak oknum KPK yang seharusnya dipenjarakan. Mereka bebas oleh adanya campur tangan penguasa penguasa politik, yang mencampuri tegaknya hukum.

63. Buku-buku hukum yang saya terbitkan sekedar sebagai bahan telaah, khususnya bagi para rekan Pengacara muda, agar mengetahui bagaimana kita sama-sama punya kewajiban moral memperbaiki penegakkan hukum di Indonesia.

64. Kesimpulan saya sebagai praktisi dan akademisi: Rusaknya penegakkan hukum di Indonesia, akibat merasuknya unsur politik ke dunia hukum.

65. Indonesia bukan lagi negara hukum. Alasannya: Hilangnya kepastian dan perlindungan hukum, berdampak bagi merosotnya perkembangan penanaman modal di Indonesia, yang secara langsung berakibat juga pada lambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Semoga masukan saya ini punya manfaat bagi perkembangan hukum selanjutnya.

Hormat saya

Prof. Otto Cornelis Kaligis.

Cc. Yth. Bapak Menteri Hukum dan Ham, Bapak Yasonna Laoly Ph.D
Cc. Yth. Kapolri Bapak Jenderal Polisi Lystio Sigit Prabowo.
Cc. Yth. Bapak Jaksa Agung RI, Bapak DR. H. Sanitiar Burhanuddin.
Cc. Yth semua teman senasib, korban penyalahgunaan keadilan KPK, seperti rekan Bimanesh Sutarjo, Miranda Goeltom, Advokat Lucas, Barnabas Suebu, Jero Wacik, Surya Dharma Ali, Ridwan Mukti, Nur Alam, Hotasi Nababan, dan semua rekan-rekan yang pernah mengalami nasib yang sama, baik di tahanan Guntur di Sukamiskin atau di Lapas manapun mereka berada. Semoga berdasarkan putusan MK Nomor 41/PUU-XIX/2021 jo Putusan MA Nomor 28/HUM/2021 kita semua dapat memperoleh remisi tanpa campur tangan KPK.
Cc. Yth, Semua teman media, yang peduli hukum dan keadilan.
Cc. Pertinggal.(*)

Tinggalkan Balasan