Oleh Jaushieh Joseph Wu
Invasi Rusia ke Ukraina merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan prinsip penyelesaian sengketa internasional secara damai sebagaimana dicantumkan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Piagam PBB ini telah membantu menjaga tatanan internasional berdasarkan aturan dan menjaga dunia yang relatif damai sejak akhir Perang Dingin (1991).
Dampak perang terhadap kemanusiaan dan ekonomi juga menunjukkan bahwa di dunia yang terglobalisasi, krisis tidak dapat diatasi dalam batasan satu negara. Oleh karena itu, mencegah ancaman serupa terhadap keamanan global yang bisa terjadi di tempat lain menjadi hal yang sangat penting.
Taiwan, negara demokrasi yang berpenduduk lebih dari 23 juta orang, dan saya bangga mewakilinya, terus menghadapi tantangan besar yang ditimbulkan oleh Tiongkok.
Sejak pertengahan abad ke-20, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) telah berjanji untuk mengambil alih Taiwan dan menolak untuk tidak menggunakan kekerasan, meskipun belum pernah memerintah Taiwan.
Selama beberapa dekade, masyarakat Taiwan tetap tenang dalam menjaga status quo perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan. Namun, seiring dengan semakin kuatnya kekuatan ekonomi dan militer Tiongkok, negara ini menjadi semakin agresif dalam mengerahkan kekuatan militernya untuk mengintimidasi Taiwan, sehingga mengancam cara hidup berdemokrasi.
Tindakan ini termasuk mengirimkan pesawat tempur dan kapal melintasi garis tengah Selat Taiwan dan melanggar zona identifikasi pertahanan udara kami. Tiongkok juga telah mengintensifkan taktik zona abu-abu, seperti disinformasi dan pemaksaan ekonomi, dalam upaya melemahkan semangat Taiwan
untuk melawan.
Ekspansionisme RRT tidak berhenti hanya di Taiwan. Penggunaan aktivitas zona abu-abu oleh Tiongkok di Laut Cina Timur dan Laut China Selatan dirancang untuk memperluas kekuasaannya dan memperkuat klaim teritorialnya yang bersifat agresif.
Selain menandatangani perjanjian keamanan dengan Kepulauan Solomon di Pasifik Selatan, RRT telah mengamankan pelabuhan untuk penggunaan militer masa depan di Samudra Hindia. Semua manuver ini menimbulkan kekhawatiran besar bahwa perdamaian akan semakin sulit dipertahankan.
Memastikan perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan adalah kepentingan terbaik bagi semua orang. Separuh dari lalu lintas peti kemas komersial dunia melewati Selat Taiwan setiap hari. Sementara itu, Taiwan memproduksi sebagian besar semikonduktor dunia dan memainkan peran penting dalam rantai pasokan global.
Konflik apa pun di kawasan ini akan menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian global.
Dalam beberapa tahun terakhir, forum bilateral dan multilateral telah berulang kali menekankan bahwa perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan sangat diperlukan untuk keamanan global.
Meskipun kita semua sepakat bahwa perang harus dihindari, cara terbaik untuk melakukan hal tersebut memerlukan toleransi, dialog, dan yang paling penting adalah persatuan.
PBB tetap menjadi platform terbaik untuk wacana global. Para pejabat PBB sering kali berbicara tentang solusi bersama, solidaritas, dan toleransi dalam mengatasi masalah-masalah mendesak di zaman sekarang ini. Taiwan sangat bersedia dan mampu mengambil bagian dalam upaya ini.
Namun, Taiwan terus dikeluarkan dari PBB karena distorsi yang dilakukan oleh Tiongkok terhadap Resolusi Majelis Umum PBB 2758. Resolusi ini tidak menyatakan bahwa Taiwan adalah bagian dari RRT dan juga tidak memberikan hak kepada RRT untuk mewakili rakyat Taiwan di PBB dan lembaga khusus lainnya dari PBB.
Faktanya, resolusi tersebut hanya menentukan siapa yang mewakili negara Tiongkok, dan hal ini diakui oleh komunitas internasional serta Tiongkok sendiri setelah pemungutan suara pada tahun 1971.
Representasi yang keliru terhadap Resolusi 2758 bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang dijunjung oleh Piagam PBB, sehingga hal ini harus diperbaiki.
Sidang Majelis Umum PBB ke-78 yang akan mengangkat tema “Membangun Kembali Kepercayaan Dan Menyalakan Kembali Solidaritas Global,” merupakan pertemuan yang tepat mengingat sejumlah tantangan global yang semakin luas. Misalnya, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) PBB dirancang sebagai cetak biru bersama untuk perdamaian dan kemakmuran. Namun, laporan kemajuan SDGs terbaru menunjukkan bahwa hanya 12 persen dari target tujuan pembangunan tersebut yang berjalan sesuai rencana.
Meskipun tidak ada jawaban yang mudah, langkah pertama adalah dialog. Sebagai institusi yang benar-benar global, PBB dapat berperan sebagai pendukung kemajuan. Kami menyerukan kepada PBB untuk menjunjung tinggi prinsipnya agar tidak meninggalkan siapa pun dengan mengizinkan Taiwan berpartisipasi dalam organisasi global ini, dan tidak mengecualikan Taiwan dari diskusi mengenai isu-isu yang memerlukan kerja sama global.
Langkah awal yang baik adalah mengizinkan individu dan jurnalis Taiwan untuk menghadiri atau meliput pertemuan terkait, serta memastikan partisipasi Taiwan dalam pertemuan dan mekanisme terkait SDGs.
Keberanian dan ketangguhan Ukraina yang luar biasa telah menginspirasi negara-negara di seluruh dunia. Perang di sana telah membentuk rasa kebersamaan baru di dunia. Persatuan sangat penting untuk melawan agresi Rusia dan untuk melestarikan nilai-nilai universal, seperti hak asasi manusia dan perdamaian global secara lebih luas.
Sangat penting untuk menyadarkan Tiongkok dan negara otoriter lainnya bahwa mereka harus bertanggung jawab, dan mendesak mereka untuk menyelesaikan perbedaan melalui cara damai.
Mengizinkan Taiwan untuk berpartisipasi secara berarti dalam sistem PBB akan bermanfaat bagi upaya dunia dalam mengatasi masalah-masalah global yang mendesak. Hal ini juga menunjukkan tekad PBB untuk bersatu demi perdamaian global pada saat kritis ketika masa depan dunia dipertaruhkan.
Kita akan lebih kuat bila berjalan dan bekerja bersama-sama. Sekaranglah waktunya untuk bertindak berdasarkan prinsip dasar ini, tentu dengan melibatkan Taiwan.
*Penulis Jaushieh Joseph Wu, Menteri Luar Negeri Republic of China (Taiwan)