Merdeka Belajar, Akankah Membawa Kemajuan?

M. Aminudin
M. Aminudin

“Implementasi Merdeka Belajar tetap harus dievaluasi setelah tiga tahun berjalan, terutama bagi para siswa yang menempuh pendidikan SMA ke bawah, karena bagaimanapun anak didik usia di bawah 16 tahun kemampuan nalar analisis dan emosinya belum berkembang matang seperti orang dewasa.”

Oleh M. Aminudin

Kemenkumham Bali

“Merdeka Belajar” mungkin bisa dikatakan sebagai istilah baru di bidang pendidikan yang sering terdengar saat ini. Konsep ini dicetuskan oleh Mendikbudristek Nadiem Makarim dengan tujuan agar peserta didik memiliki kemampuan kritis dan analisis yang mumpuni.

Berdasar definisi Badan Standar Nasional Pendidikan, Merdeka Belajar adalah suatu pendekatan yang dilakukan supaya siswa dan mahasiswa bisa memilih pelajaran yang diminati agar mereka bisa mengoptimalkan bakatnya serta bisa memberikan sumbangan yang paling baik dalam berkarya bagi bangsa dan negara.

Mendikbudristek menyebutkan, salah satu hal yang harus diperhatikan dalam Merdeka Belajar adalah kemerdekaan berpikir. Kemerdekaan berpikir menjadi salah satu fondasi dari program Merdeka Belajar, dan kemerdekaan berpikir harus dipraktikkan para guru sebagai contoh sebelum diajarkan kepada para siswa.

Konsep dasar pendekatan atau metode Merdeka Belajar di dalam ilmu pendidikan sebenarnya memiliki kesamaan dengan beberapa teori, di antaranya aliran progresivisme.

Perspektif aliran progresivisme yang pernah dikemukakan John Dewey memandang ide-ide, teori-teori, dan cita-cita tidak cukup hanya diakui sebagai hal yang ada (being), tetapi yang ada ini harus dicari maknanya untuk mencapai sebuah kemajuan.

Sesuai namanya, progresivisme berasal dari kata progresif yang artinya bergerak maju. Progresivisme juga dapat dimaknai sebagai suatu gerakan perubahan menuju ke arah perbaikan.

Progresivisme sering dikaitkan dengan kata progres, yaitu kemajuan. Artinya, progresivisme merupakan suatu aliran filsafat yang menghendaki suatu kemajuan yang akan membawa pada sebuah perubahan.

Pendapat lain menyebutkan bahwa progresivisme adalah sebuah aliran yang menginginkan perubahan-perubahan secara cepat (Muhmidayeli, 2011).

Sebenarnya para pakar pendidikan penganut mazhab progesif bukan hanya John Dewey, tapi masih ada beberapa pakar lagi. Tapi kalangan progresif memiliki pandangan homogen tentang pendidikan progresif, dan mereka kompak menentang otoritarianisme dan konservatisme dunia pendidikan.

Sementara itu Allan Ornstein menuliskan kritik terkait praktik pendidikan, yakni guru yang otoriter, terlalu bertumpu pada text books atau metode pengajaran yang berorientasi buku, dan belajar pasif dengan penghafalan informasi dan data faktual.

Kritik lainnya yaitu pendekatan empat dinding bagi pendidikan yang berusaha mengisolasikan pendidikan dari realitas sosial, dan penggunaan hukuman menakutkan atau fisik sebagai suatu bentuk pendisiplinan (Redja Mudihardjo, 2006).

Mazhab progresivis menekankan pada konsep “progress” yang menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan dan menyempurnakan lingkungannya dengan menerapkan kecerdasan yang dimilikinya dengan metode ilmiah untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul, baik dalam kehidupan personal manusia maupun dalam kehidupan sosial (Gutek, 1974).

Dalam konteks ini, pendidikan akan dapat berhasil manakala mampu melibatkan secara aktif peserta didik dalam pembelajaran, sehingga mereka mendapatkan banyak pengalaman untuk bekal kehidupannya.

Progresivisme juga menekankan bahwa pendidikan bukan hanya sekedar upaya pemberian sekumpulan pengetahuan kepada subjek didik, tetapi berisi beragam aktivitas yang mengarah pada pelatihan kemampuan berpikir mereka secara menyeluruh.

Dampak positifnya, mereka dapat berpikir secara sistematis melalui cara-cara ilmiah, seperti penyediaan ragam data empiris dan informasi teoritis, memberikan analisis, pertimbangan, dan pembuatan kesimpulan menuju pemilihan alternatif yang paling memungkinkan untuk pemecahan masalah yang tengah dihadapi (Muhmidayeli, 2011).

Konsep “Merdeka Belajar” perspektif aliran progresivisme John Dewey bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang diperkenalkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952) yang menekankan pada segi manfaat praktis.

Artinya, kedua aliran ini sama-sama menekankan pada pemaksimalan potensi manusia dalam upaya menghadapi berbagai persoalan kehidupan sehari-hari.

Di samping itu, kesamaan ini didasarkan pada keyakinan pragmatisme bahwa akal manusia sangat aktif dan ingin selalu meneliti, tidak pasif, dan tidak begitu saja menerima pandangan tertentu sebelum dibuktikan kebenarannya secara empiris.

Berkaitan dengan pengertian tersebut, progresivisme selalu dihubungkan dengan kelenturan, toleran, dan bersikap terbuka serta sering ingin mengetahui dan menyelidiki demi pengembangan pengalaman.

Artinya, aliran progresivisme sangat menghargai kemampuan seseorang dalam pemecahan masalah melalui pengalaman yang dimiliki oleh masing-masing individu.

Progresivisme adalah suatu aliran dalam filsafat pendidikan yang mengehendaki adanya perubahan pada diri peserta didik untuk mejadi pribadi yang tangguh dan mampu menghadapi persoalan serta dapat menyesuaikan dengan kehidupan sosial di tengah masyarakat.

Oleh karena itu, progresivisme sangat menghendaki adanya pemecahan masalah dalam proses pendidikan. Bagi progresivisme, segala sesuatu itu dipandang jauh ke depan.

Semua yang ada di belakang hanya merupakan catatan-catatan yang berguna untuk dipelajari dan saat dibutuhkan dapat ditampilkan kembali pada zaman sekarang.

Dengan demikian manusia dipandang sebagai makhluk yang dinamis dan kreatif. Manusia juga dipandang sebagai makhluk yang memiliki kebebasan, dan semua itu penting demi kemajuan yang diperlukan oleh manusia itu sendiri.

Progresivisme melihat bahwa berpikir dengan kecerdasan adalah pegangan utama dalam pendidikan. Hal ini akan memiliki makna lebih apabila kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan dalam konteks multiple intellegences.

Dengan kata lain, kecerdasan yang dikembangkan bukan hanya kecerdasan yang bersifat linear matematis, tetapi kecerdasan multidisiplin yang memiliki cakupan lebih luas (Barnadib, 1997).

Progresivisme juga melihat bahwa lingkungan yang ada, baik mengenai manusia maupun yang lainnya tidak bersifat sama dan statis, tetapi selalu mengalami perubahan.

Perubahan tersebut disebabkan oleh kemampuan manusia yang mempelajari banyak hal dengan mengantisipasi hal-hal yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.

Perspektif aliran progresivisme John Dewey tentang kebebasan dan kemerdekaan di atas, entah sengaja atau tidak memiliki banyak kesamaan dengan Konsep “Merdeka Belajar”.

Dengan bekal kemampuan dan keterampilan yang telah dipelajari dan dimiliki, peserta didik diharapkan dapat mencari dan menemukan sendiri solusi alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi setiap permasalahan yang akan dihadapinya di masa yang akan datang.

Tetapi implementasi Merdeka Belajar tetap harus dievaluasi setelah tiga tahun berjalan, terutama bagi para siswa yang menempuh pendidikan SMA ke bawah, karena bagaimanapun anak didik usia di bawah 16 tahun kemampuan nalar analisis dan emosinya belum berkembang matang seperti orang dewasa.

Jika metode belajarnya diserahkan kepada mereka sendiri untuk menggali dan memaknai pengetahuan dan kurang adanya bimbingan guru, bisa jadi nantinya akan lebih banyak muncul generasi anomie yang tak memiliki norma sosial dan norma pengetahuan yang baku.

Maka, lagi-lagi Kemendikbudristek harus serius setelah tiga tahun pelaksanaan metode Merdeka Belajar untuk mengevaluasi perbedaan kemampuan anak didik sebelum dan setelah perberlakuan metode tersebut.

Sebagai contoh, anak lulusan STM jurusan elektro sebelum adanya metode Merdeka Belajar sudah bisa memperbaiki TV Digital. Apakah setelah pemberlakuan metode tersebut dia masih memilki kemampuan itu?. Jika tidak, maka tak perlu gengsi bagi Kemendikbud untuk merevitalisasi kurikulum lama pada tingkat sekolah menengah.

Tetapi jika ternyata masih memiliki skill memperbaiki TV digital, bahkan meningkat bisa memperbaiki perangkat elektronik lain yang lebih rumit, maka sudah seharusnya metode Merdeka Belajar yang sudah ada diteruskan.

*M. Aminudin adalah mantan Staf Ahli Pusat Pengkajian MPR-RI Tahun 2005/Staf Ahli DPR-RI 2008/Tim Ahli DPD-RI 2013/Pengurus Pusat Alumni UNAIR Dept. Organisasi/Direktur Institute for Strategic and Development Studies (ISDS).

Tinggalkan Balasan