Mitigasi Korupsi Dana Desa Melalui Program Desa Digital

Eko Wahyuanto (Dok.Pribadi)
Eko Wahyuanto (Dok.Pribadi)

“Sangat penting adanya penerapan model “mitigasi korupsi” (upaya untuk mengurangi resiko terjadinya korupsi), terutama untuk memonitor penggunaan Dana Desa dalam konstruksi “desa digital”.

Oleh Eko Wahyuanto

Kemenkumham Bali

Parah! Itulah barangkali ungkapan yang tepat untuk menggambarkan betapa buruknya posisi indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia saat ini. Transparency International Indonesia menyebutkan, IPK Indonesia sangat buruk, bertengger di peringkat 96 dunia di antara negara-negara kategori bersih dari kasus korupsi.

Eko Wahyuanto (Dok.Pribadi)
Eko Wahyuanto (Dok.Pribadi)

Posisi Indonesia ini setara dengan beberapa negara lain, yakni Argentina, Brazil, Turki, Serbia dan Lesotho. Ironisnya, empat dari enam negara tersebut, termasuk Indonesia merupakan negara anggota G20.

Dalam pertemuan G20 Anti-Corruption Ministers Meeting yang digelar secara virtual, Ketua KPK Firli Bahuri menegaskan komitmen Indonesia dalam pemberantasan korupsi di tengah masa pandemi COVID-19 yang masih berlangsung saat ini.

Masalah korupsi menjadi salah satu isu sentral dalam pertemuan G20 yang puncaknya akan diselenggarakan November 2022 di Bali. Indonesia berkomitmen untuk memastikan bahwa semua lembaga penegak hukum menggiatkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan kasus tindak pidana korupsi sebagai peran memitigasi dampak kondisi pandemi COVID-19.

Seluruh negara yang hadir sepakat dan menekankan pentingnya merumuskan kesepakatan multilateral melalui penerapan dan pemantauan komitmen dan norma internasional, khususnya dalam pertukaran informasi soal upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Faktanya, korupsi terus merajalela, terjadi secara massif di hampir semua lini penyelenggaraan pemerintahan. Pelakunya, selain politisi, birokrat, dan kalangan pengusaha, juga para perangkat desa ikut mendominasi catatan buram tindak pidana korupsi di Indonesia.

Dana Desa rawan penyimpangan

Dana Desa didefinisikan sebagai dana yang bersumber dari APBN, diperuntukkan bagi desa, dan ditransfer melalui APBD kabupaten/kota. Dana Desa digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan, dan pemberdayaan masyarakat.

Dana dimaksud harus dialokasikan secara berkeadilan dan dihitung dari parameter jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis desa di setiap kabupaten/kota.

Posisi Dana Desa amat strategis, sehingga diperlukan adanya upaya pencegahan dini terhadap kemungkinan terjadinya penyelewengan penggunaannya. Upaya itu dapat dilakukan secara kolektif kolegial antara masyarakat, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan pemerintahan di atasnya, yaitu pemerintahan kabupaten/kota.

BPD mempunyai posisi strategis dalam mengawal sekaligus memonitoring pengelolaan Dana Desa agar tidak disalahgunakan sehingga dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Dalam kaitan ini, data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak diberlakukannya UU Desa, atau setidaknya dalam waktu lima tahun terakhir terdapat 676 kasus korupsi, melibatkan sejumlah perangkat desa dengan total kerugian uang negara ratusan miliar rupiah.

Modus operandinya bermacam-macam, mulai dari proyek fiktif, “double budget” untuk satu proyek, dan atau peminjaman uang Dana Desa oleh oknum di pemerintahan desa, lalu tidak dikembalikan.

Dari praktik kotor itu sedikitnya sudah ada sekitar 500 aparat desa harus meringkuk di sel penjara. Ini mengerikan mengingat Dana Desa yang dikucurkan oleh pemerintah pusat nilainya sangat fantastis, yakni mencapai nominal Rp72 triliun.

Apalagi pagu Dana Desa tahun 2022 telah ditetapkan sebesar Rp 68 triliun dan dialokasikan kepada 74.961 desa di 434 kabupaten/kota se-Indonesia. Jumlah ini menurun sebesar Rp 4 triliun dibandingkan tahun lalu. Keseluruhan Dana Desa yang telah disalurkan sejak tahun 2015 telah mencapai Rp 400,1 triliun.

Berbagai kalangan menyebut kondisi demikian sebagai “darurat korupsi”, ditandai maraknya praktik korupsi, runtuhnya moral dan peradaban, matinya rasa kemanusiaan sesama, dan rusaknya tatanan demokrasi yang pada gilirannya memengaruhi pertumbuhan kualitas hidup berbangsa dan bernegara.

Kemudian, hari-hari ini, perang melawan korupsi memasuki tahap paling kritis. Jaring perangkap Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK pun tak membuat efek jera, bahkan korupsi makin merajalela, menjarah semua sendi kehidupan, merambah ke institusi-institusi terkecil sekalipun seperti desa.

Keterbukaan informasi publik, ruang kontrol Dana Desa

Kunci lain dalam upaya pemberantasan korupsi adalah kesadaran memanfaatkan ruang keterbukaan informasi publik. Konstitusi Indonesia menjamin terpenuhinya layanan publik di bidang informasi di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), baik di kota maupun di desa.

Prinsip dasar ini dituangkan dalam UUD 1945 Pasal 28 F, yakni “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak mencari,memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Ketentuan fundamental itu dijabarkan melalui Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) Nomor 14 Tahun 2008 sebagai landasan hukum yang mengatur hak setiap orang untuk memperoleh Informasi dan kewajiban badan publik untuk menyediakan dan melayani permintaan informasi secara cepat, tepat, proporsional, dan sederhana.

Dengan demikian semua badan publik, termasuk dalam hal ini desa, harus membenahi sistem dokumentasi dan sistem layanan informasinya, sehingga melonggarkan akses publik dan sistem pengawasan terhadap jalannya roda pemerintahan desa.

Melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ditekankan perlunya upaya memperkuat posisi desa sebagai lembaga penyelenggara pemerintahan paling ujung dan menjamin hak-hak masyarakatnya.

Di sisi lain desa berhak mendapatkan akses informasi melalui Sistem Informasi Desa yang dikembangkan pemerintah daerah kabupaten/kota, sejalan dengan semangat “transparansi pemerintahan desa”.

Informasi dimaksud diatur dalam Permendesa Nomor 13 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa (pasal 6 ayat (2) huruf a) dan Permendesa Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan dan Pemberdayaan Desa (Pasal 11).

Sementara itu korupsi Dana Desa itu sendiri terjadi, salah satunya karena belum adanya pemahaman tentang “regulasi” yang mengatur secara jelas partisipasi publik dalam mengawasi pembangunan di desa, khususnya terhadap Kepala Desa.

Oleh sebab itu literasi tentang keterbukaan informasi publik harus terus didengungkan sampai ke pelosok desa agar rakyat mendapatkan pencerahan tentang bagaimana cara mengakses informasi dan melakukan kontrol, serta berpartisipasi aktif mengawal penggunaan dana desanya.

Desa digital, jaring pengaman Dana Desa

Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), mendorong lahirnya layanan pemerintahan desa berbasis digital, melalui program Layanan Aplikasi Informatika Pemerintahan (LAIP). Program ini ditujukan untuk mendorong tingkat kesejahteraan masyarakat di desa, sebagai sebuah unit terkecil dalam sistem pemerintahan.

Desa menjadi ujung tombak terciptanya kota pintar atau Smart City. Oleh karena itu transformasi digital di desa harus didorong lebih kuat untuk terwujudnya pemerintahan desa pintar yang pada ujungnya menciptakan “negara pintar” pula.

Desa pintar mendukung kota dan kabupaten pintar, sementara kota dan kabupaten pintar akan mendukung provinsi pintar, dan provinsi pintar menciptakan negara pintar.

Demikian halnya dengan terminologi bahwa desa bebas korupsi menciptakan kota/kabupaten bebas dari korupsi, dan kota/kabupaten bebas dari korupsi menciptakan provinsi bebas korupsi, lalu provinsi-provinsi bebas dari korupsi akan menciptakan negara bebas dari korupsi.

Untuk mewujudkan kondisi tersebut, Kementerian Kominfo membuat strategi komunikasi baru dengan memformulasikan semua ide tentang desa digital dalam Penyusunan Masterplan Smart City Kemkominfo.

Melalui program ini dapat dilakukan layanan bimbingan teknis (bimtek) kepada para operator dan aparat pemerintahan desa agar mereka mulai memberikan informasi dan layanan-layanan secara online.

Tata kelola pemerintahan dan sistem informasi sudah harus berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK), sehingga terjadi ekosistem penyelenggaraan pemerintahan desa yang mudah diakses dan dimonitor secara online oleh publik, sekaligus berfungsi sebagai “jaring pengaman” penggunaan Dana Desa.

Aplikasi yang dibangun adalah Sistem Informasi Desa (SID) dan Kawasan New-Generation (Sideka-NG), sebuah aplikasi berbasis komputasi cloud (awan) di mana publik terutama para operator desa dapat mengikuti pergerakan data tentang kebijakan, penggunaan, dan sistem pelaporan Dana Desa secara cepat atau real time.

SID itu sendiri merupakan kanal media untuk kepentingan akses informasi masyarakat, pemerintah desa, kementerian, lembaga, satuan kerja perangkat daerah, dan institusi lainnya.

SID memuat informasi tentang kondisi desa, perencanaan pembangunan dan pemberdayaan serta pencapaian pembangunan desa. Informasi dalam kanal ini diperoleh berdasarkan data SDGs Desa, Indeks Desa Membangun (IDM), Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan implementasi Dana Desa.

Sayangnya keberadaanya belum dapat dioptimalkan menjadi peranti kontrol yang efektif bagi masyarakat, akibat kurangnya literasi tentang TIK. Padahal dengan SID itu “mitigasi” Dana Desa dapat dimulai, melalui sistem kontrol terbuka, melekat dan berantai.

Tidak mudah, sebab berdasar data pada Direktorat Jenderal Aptika Kemkominfo, di Indonesia saat ini terdapat sekitar 75 ribu desa kategori mendesak untuk dilakukan transfer knowledge bidang TIK, dengan diawali dukungan pembuatan website desa.

Keberadaan website desa didesain untuk membangun jaringan dan optimalisasi sumber daya yang ada di desa, sehingga bukan hanya camat, bupati atau wali kota, dan gubernur, tetapi bahkan presiden pun dapat memantau langsung kondisi faktual di pedesaan, termasuk jalannya program pembangunan dan penggunaan Dana Desa yang bersumber dari APBN.

Penyediaan website desa juga dapat digunakan sebagai instrumen diseminasi informasi secara interaktif dan dinamis, terkait progres kegiatan dan laporan pertanggungjawaban Dana Desa.

Tentu saja disamping dapat digunakan sebagai sarana promosi wisata (desa wisata), memperkenalkan potensi hasil bumi serta edukasi tentang pertanian dan perkebunan, juga dapat digunakan untuk membangun jaringan penjualan produk unggulan desa, baik ke pasar nasional maupun internasional.

Dari sisi pengawasan, dengan hanya mengandalkan masyarakat secara parsial belumlah cukup. Keberadaan website desa sebagai backbone desa digital harus diaplikasikan secara sinergis, sebagai bagian unit kerja yang melibatkan masyarakat, BPD dan aparat desa, sehingga terjadi check and balance penyelenggaraan pemerintahan desa.

Hal terpenting adalah, jangan sampai terjadi perselingkuhan kepentingan antar organ tersebut yang justru bisa memunculkan adanya permufakatan jahat, yakni “bancakan” Dana Desa.

Ibarat tubuh, Dana Desa adalah jantung yang memompa darah ke seluruh bagian tubuh, sedangkan para perangkat desa merupakan urat nadi yang menjamin tubuh mendapat asupan secara sehat.

Oleh sebab itu sangat penting adanya penerapan model “mitigasi korupsi” (upaya untuk mengurangi resiko terjadinya korupsi), terutama untuk memonitor penggunaan Dana Desa dalam konstruksi “desa digital”.

Bagaimanapun, tindakan “corrupt” dapat menimbulkan ancaman serius dan dampak berantai pada pertumbuhan ekonomi, pembangunan berkelanjutan, dan investasi serta inovasi karena rapuhnya kepercayaan publik terhadap pemerintahnya sendiri. Ini menjadi tanggung jawab kita bersama, seluruh stakeholder, baik di pusat maupun di daerah.

*Penulis, Eko Wahyuanto, adalah Analis Kebijakan Ahli Madya Kementerian Kominfo.

Tinggalkan Balasan