Sukamiskin, Kamis, 7 Oktober 2021
Hal : Contempt of Court. Merongrong Kewibaan, Martabat dan Kehormatan Pengadilan.
Kepada yang terhormat Bapak Ketua Mahkamah Agung RI Bapak Prof.DR. Syarifuddin, S.H, M.H
Dengan hormat.
Perkenankanlah saya Prof.Otto Cornelis Kaligis, warga binaan Sukamiskin, baik sebagai praktisi maupun Akademisi, turut serta memberikan masukan kepada Bapak untuk judul surat saya tersebut di atas.
- Sejak tahun 70 puluhan saya malang melintang membela perkara bersama para pengacara setempat di Pangadilan-pengadilan luar negeri.
- Ketika saya membela klien saya PT AMCO Indonesia yang mendirikan Hotel Kartika Plaza di Jakarta,, sengketa investor asing PT.AMCO melawan Pemerintah Republik Indonesia dan menggugat di ICSID (International Centre. For settlement of investment disputes) di Washington, tak satu berita pun yang keluar ke media.
- Apalagi di waktu itu, Pemerintah RI kalah dan harus membayar ganti rugi kepada Investor asing PT. AMCO Indonesia, akibat perjanjian PT AMCO Indonesia dengan pihak Indonesia, diakhiri secara sepihak oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal Asing.
- Setelah itu selama bertahun-tahun saya malang melintang membela perkara di Supreme Court Melbourne dalam perkara PT. Kebon Bunga melawan Australian Diary Corporation di Sydney Australia, dalam perkara Hendra Rahardja di Supreme Court Sydney, di Guernesy, Channel Island dan Lichtenstein mewakili Tommy Soeharto menggungat Bank Baribas, di Pengadilan Belanda dalam perkara pilot Said, lalu mewakili Djayanti Group dalam masalah perbankan di Washington, dan banyak kasus-kasus lain di kawasan Asia selama kurang lebih 20 tahun perjalanan saya ke luar negeri, ke Pengadilan-pengadilan, habis dimakan waktu oleh kesibukan mempersiapkan berkas perkara yang dibutuhkan saat itu.
- Ketika saya membela perkara di Channel Island, Duta Besar Indonesia untuk Britania Raya yang berkedudukan di London, Duta Besar Marty Natalegawa hadir, karena waktu itu turut tergugat adalah Pemerintah RI yang diwakili Kejasaan. Dari Kejaksaan hadir saudara Joseph Sabda, SH, LLM.
- Dalam membela perkara-perkara di luar negeri, baik di negara-negara penganut sistim Civil Law, maupun penganut sistim Common Law, para penasehat hukum yang berperkara dilarang memberi komentar-komentar di luar persidangan. Bila itu dilakukan yang bersangkutan dikenakan Contempt of Court dengan akibat yang bersangkutan dilarang bersidang.
- Di satu saat, saya pernah mengikuti sidang HAM. Terdakwa penjahat perang Milosevic di Den Haag. Sidang dipimpin oleh Hakim Tunggal asal Taiwan. Oleh Hakim, Milosevic diberi izin menggunakan telepon untuk menghubungi keluarga. Ketika Hakim menemui bahwa telepon itu digunakan untuk maksud lain, Milosevic dan Pengacaranya mendapat teguran akan dikenakan Contempt of Court, dan tentu fasilitas telepon tersebut ditarik sehingga komunikasi Milosevic dengan keluarganya terputus.
- Sebagai praktisi, saya cukup banyak punya pengalaman membela perkara di luar negeri, termasuk melakukan pengaduan ke HAM Eropa di Strasbourg di Perancis Timur untuk perkara Pilot Said yang ditahan di penjara Amsterdam, ditemani oleh TVRI Indonesia untuk dokumentasi, termasuk pengaduan ke HAM Geneve di Swiss untuk perkara HAM sakitnya Bapak Presiden Soeharto. Kehadiran saya di HAM Geneve bersama Prof. Indrianto Senoadji dan Juan Felix juga ditemani oleh kru TVRI juga untuk dokumentasi.
- Mengapa saya membagi dalam bentuk buku, setelah proses perkara selesai dan setelah perkara diputus. Saya menulis buku pengalaman saya itu bagi rekan-rekan pengacara di tanah air yang mungkin satu ketika membela perkara di luar negeri. Perkara di luar negeri pasti sepi berita media, karena argumentasi hukum semuanya berlangsung di persidangan
- Buku pengalaman saya di atas, dapat menerangkan jalannya proses perkara, dimana saya hadir sebagai ahli, atau sebagai pengacara Indonesia, bekerja sama dengan Barrister dan Legal Adviser setempat. Dalam proses tersebut, saya harus memberikan affidavit, semacam keterangan dibawah sumpah yang berhubungan dengan perkara yang sedabf berjalan.
- Dalam berproses tak satu media pun baik di luar negeri maupun di Indonesia yang berhasil meliput perkara, karena ulasan media dapat mempengaruhi proses persidangan. Intinya: Pengadilan-pengadilan di luar negeri dimana saya pernah membela perkara, sama sekali tidak mengenal peradilan jalanan atau peradilan media.
- Saya tertarik membagi pengalaman praktisi saya, tergelitik oleh ramainya perang pendapat untuk perkara Prof. Yusril yang membela Jenderal, perang pendapat di luar persidangan itu justru datangnya dari mereka yang berperan sebagai Professor Hukum.
- Dari pendapat-pendapat mereka yang dirilis media, amat jelas mereka ada di pihak mana.
- Padahal mereka bukan pihak. .
- Keterbukaan dan transparansi di era reformasi ini, memberi justifikasi penggiringan pendapat oleh media, LSM, ICW untuk turut terlibat dalam perkara yang bukan urusan mereka.
- Bahkan putusan pengadilan yang tidak berkenan bagi kelompok tertentu, menjadi berita bila perlu, hakim yang memutus, dikorek-korek riwayat hidupnya, seperti misalnya mengapa dengan gaji hakim yang sedemikian, hakim yang bersangkutan dapat mendiami rumah mewah. Atau putusan-putusan hakim sebelumnya dibahas secara luas dengan menggiring opini publik agar turut menghakimi putusan hakim bersangkutan.
- Sekalipun ‘katanya’ Indonesia negara hukum yang seyogianya semua permasalahan hukum seharusnya diselesaikan dan menjadi kompentensi satu-satunya pengadilan, untuk memutus, saya melihat di era reformasi ini, timbul pengadilan baru yang saya namakan Peradilan Jalanan atau peradilan Media.
- Untuk perkara Novel Baswedan, sekalipun perkara-perkara yang dimajukannya ke Ombudsman, Komnas HAM, ke Komisi Konfirmasi Pusat tanpa dasar hukum, menimbang untuk kasus TWK telah diputus baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Mahkamah Konstitusi, tetap saja proses perkara itu disebar luaskan emdia. Seruan Mahfud MD di harian Merdeka: Stop Polemik TWK, terus saja diabaikan Novel Baswedan
- Bahkan berita Novel Baswedan disantap oleh CNN dan semua media pendukung, seperti misalnya harian Kompas, Tempo, Detik.com. yang setia meladeni berita-berita Novel Baswedan sepanjang masa.
- Sebaliknya perjuangan saya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar Jaksa Agung melimpahkan perkara pembunuhan yang diduga dilakukan Novel Baswedan, sekalipun didalam acara pembuktian, saya secara visual menyampaikan bukti kekejaman Novel Baswedan ketika memeriksa terangka burung walet, tak seorangpun wartawan pun yang hadir dalam acara pembuktian tersebut, tidak berani meliput, karena katanya redaksi menolak.
- Dalam acara pembuktian kekejaman Novel Baswedan, terbukti bagaimana Novel Baswedan menggilas dengan motor trail para tersangka, menembaki kaki mereka, sehingga seorang bernama Aan meninggal dunia karena kehabisan darah, dan seorang lagi dibebaskan karena ternyata yang bersangkutan bukan tersangka alias salah tangkap.
- Menjadi pertanyaan pada diri saya, mengapa seorang tersangka dugaan pembunuhan bernama Novel Baswedan, masih saja dibela oleh Menkopolhukam Prof. Mahfud MD, baik dalam kasus TWK dimana untuk kasus-kasus tersebut, dari pernyataan Bapak Menteri Mahfud MD, Pak Menteri bila jadi Presiden, Bapak siap mengangkat Novel Baswedan sebagai “Jaksa Agung” . Novel Baswedan Jaksa Agung yang bengis, kejam dan otoriter.
- Seandainya Novel Baswedan kembali diterima sebagai ASN di Bareskrim, apa Bareskrim lupa, akan gelar perkara dugaan pembunuhan Novel Baswedan yang digelar oleh pihak penyidik dari kepolisian????.
- Yang pasti kalau seandainya Novel Baswedan di Bareskrim, mungkin target pertama yang dibully setiap harinya adalah Bapak Kapolri sendiri, sebagaimana yang terjadi sekarang terhadap Ketua KPK Bapak Firli Bahuri. Tiada waktu bagi Novel Baswedan untuk tidak menuntut agar Firli Bahuri turun tahta sebagai Ketua Komisioner KPK.
- Mudah-mudahan Pak Kapolri masih ingat, bagaimana dalam kasus penyiraman air keras terhadap mata Novel Baswedan, dengan beraninya melalui media melemparkan tuduhan dugaan keterlibatan pentinggi polisi, dalam kasus penyiraman air keras tersebut, sehingga penanganan penyidikan berjalan di tempat.
- Kembali ke judul di atas. Saya sebagai praktisi yang banyak terlibat dalam memberikan legal opinion untuk investor asing yang akan berinventasi di Indonesia, kebanyakan mereka tidak akan memilih penyelesaian sengketa di Pengadilan Indonesia atau di BANI (Badan Arbitrase Indonesia). Mereka khawatir, setiap sengketa menjadi santapan media, sehingga tentu merugikan mereka. Rata-rata penyelesaian sengketa di kuasai oleh Arbitrase di Singapura, atau di negara-negara aman hukum lainnya.
- Bahkan untuk jasa bank, mereka tidak akan memakai jasa Bank-bank di Indonesia, khawatir bahwa KPK setiap waktu memeriksa rekening bank mereka, karena azas Confidentiality (Kerahasiaan) tidak berlaku di Indonesia.
- Di Indonesia perjanjian dagang pun yang masuk ruang lingkup perdata, dapat dijadikan pidana oleh KPK zamannya Novel Baswedan, si tersangka kasus dugaan pembunuhan.
- Menjadi pertanyaan, kapan perkara-perkara pengadilan tidak menjadi santapan para professor atau LSM, ICW, termasuk Mata Najwa, semua mereka yang bukan pihak dalam perkara?. Apa untuk peristiwa semacam itu Hakim yang memeriksa perkara tersebut tidak berani mengeluarkan pernyataan adanya Contempt of Court.?.
- Bukti rapuhnya Peradilan Indonesia, salah satunya karena Jaksa Agung tidak berani mengadili Novel Baswedan dalam perkara dugaan pembunuhan, sekalipun Pengadilan Negeri Bengukulu memerintahkan Kejaksaan untuk melimpahkan segera perkara Novel Baswedan.
- Bukankah Jaksa juga yang pernah melimpahkan kasus dugaan pembunuhan Novel Baswedan ke Pengadilan, setelah jaksa menetapkan bahwa perkara Novel Baswedan dinyatakan P-21 oleh Jaksa untuk siap segera diperiksa di Pengadilan?.
- Daripada Novel Baswedan melemparkan tuduhan kepada Bapak Presiden, dengan tuduhan Bapak Presiden turut melakukan pelemahan pemberantasan korupsi, gara-gara ”kata Novel Baswedan”, Presiden tidak menopang perjuangannya untuk kembali ke KPK, sekalipun gagal test? . Maka, solusi paling tepat agar tidak terjadi huru hara hukum, saya usulkan: Tangkap dan adili Novel Baswedan.
- Agar Prof. Mahfud MD dapat melihat kenyataan mengenai KPK nya Novel Baswedan saya kirimkan dua buku saya berjudul: “Mereka Yang Kebal Hukum” dan “Sejarah Hitam KPK”, Novel Baswedan Pembunuh Bengis.” Semua buku saya berlabel ISBN. Buku-buku itu berisi fakta hukum, bukan “HOAX” dan ada di perpustakaan Kedutaan Amerika Serikat dan Inggris
- Perjuangan hukum saya hanya saya lakukan. melalui buku, karena saya tidak menguasai peradilan jalanan, sebagaimana yang dimiliki Novel Baswedan.
- Semoga dengan tulisan ini tidak lagi terjadi polemik perkara Yusril di Pengadilan. Hal yang sama juga berlaku untuk perkara-perkara lainnya. Biarkan para pihak mengikuti hukum acara secara professional, tanpa gangguan peradilan jalanan melalui perang pendapat oleh bukan mereka yang terlibat perkara.
Hormat saya. Suara dari Sukamiskin.
Prof. Otto Cornelis Kaligis.
Cc.Yang terhormat Bapak Presiden RI Bapak Jokowidodo dan Bapak Wakil Presiden Ma’ruf Amin sebagai laporan
Cc. Yang terhormat Bapak Menkopolhukam Bapak Prof. Mahfud MD..
Cc.Yth.Rekan Prof. Yusril Mahendra
Cc.Yth Bapak DR . Ngabalin yang sanggup membuat surat saya dibaca oleh Bapak Presiden..
Lampiran: a. Buku Mereka yang Kebal Hukum, b. Sejarah hitam KPK, Novel Baswedan Pembunuh Bengis.
Cc.Pertinggal.(*)