OC Kaligis Surati Anies Minta Bubarkan TGUPP DKI

Advokat senior OC Kaligis kembali menulis surat terbuka dari Lapas Sukamiskin, Bandung. Surat terbuka kali ini, ia tujukan kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan soal keberadaan Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI.

Penulis buku “KPK Bukan Malaikat” itu meminta TGUPP DKI dibubarkan.

Berikut isi surat terbuka yang ditulis OC Kaligis kepada Anies Baswedan, tertanggal 18 Maret 2021:

Sukamiskin, Kamis, 18 Maret 2021
Hal: Bubarkan Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP)

Kepada yang saya hormati Gubernur DKI Jakarta Bapak Anies Baswedan.

Dengan hormat,

Perkenankanlah saya selaku Advokat bersama ini memberi masukan kepada Bapak Gubernur tentang pokok permasalahan yang menjadi pembahasan publik mengenai harus dibubarkannya TGUPP DKI. Masukan saya adalah sebagai berikut :

1. Kita pernah di Medsos membaca bahwa kurang lebih 40 orang anggota DPRD Malang dihukum antara 3- 4 tahun hanya karena menerima gratifikasi sebesar satu sampai dengan sepuluh juta rupiah.

2. Seandainya konstitusi dilaksanakan, berdasarkan azas equality before the law, persamaan perlakuan didepan Hukum diterapkan, pasti kasus pidana pengarahan kesaksian palsu ketika menjadi pengacara Bupati Kotawaringin Barat saudara Ujang Iskandar yang menimpa saudara Bambang Widjojanto, kasus mana telah dinyatakan P-21, bila ini disidangkan dengan memakai ukuran KPK, saudara Bambang telah ditahan. Ini dialami oleh semua tersangka KPK, tanpa kecuali.

3. Dengan dan melalui P-21 perkara pidana saudara Bambang Widjojanto, saya yakin melalui gelar perkara, dengan sejumlah saksi dan barang bukti, maka peradilan pidana terhadap saudara Bambang, dengan memakai standard acara yang berlaku di KPK, pasti Bambang Widjojanto perkaranya berujung dengan vonis pidana.

4. Melalui perkara pidana saudara Bambang Widjojanto, tidak mungkin lagi Bambang Widjojanto mendapat gaji dari negara selaku Ketua Komite Pencegahan Korupsi TGUPP yang jumlahnya lebih dari 50 juta rupiah. Belum lagi kenikmatan memperoleh klien seperti misalnya menjadi juru kampanye saudara Prof. Denny Indrayana di Kalimantan Selatan, dan sekarang membela Partai Demokrat SBY melawan Moeldoko dan kawan kawan, yang bukan termasuk pembelaan pro deo.

5. Dengan gaji dari negara di TGUPP, sambil berpraktek sebagai Pengacara, ketika bertugas diluar dengan kedudukan rangkap sebagai Ketua TGUPP, gaji Bambang tetap berjalan. Menjadi pertanyaan berdasarkan UU Advokat, apa bisa Bambang makan dari dua pintu? Satu dari negara yang lainnya dari klien dalam kedudukannya sebagai Advokat?.

6. Ketua TGUPP hanya melindungi dugaan korupsi Gubernur DKI. Mengapa saya katakan demikian? Pertama karena status Bambang sampai hari ini adalah tersangka. Deponeering tidak pernah mengrehabiliter status pidana saudara Bambang. Sebagai tersangka tidak layak dan tidak pantas Bambang menjadi Ketua Komite Pencegahan Korupsi TGUPP yang bermasalah. Apalagi Bambang selaku Ketua TGUPP yang katanya “anak pungut” Gubernur, sama sekali tidak punya pengalaman dalam percepatan pembangunan.

7. Lalu apa yang telah dilakukukan Bambang selaku Ketua Ketua Komite Pencegahan Korupsi TGUPP?. Paling-paling menutupi dugaan korupsi Eibon sebesar kurang lebih Rp82 M, atau menutup mulut KPK agar tidak menyelidiki uang muka rencana formula-E yang telah diberi sebesar kurang lebih 560 miliar rupiah, membungkus rapat dugaan kasus-kasus korupsi pembelian tanah di Jakarta Timur oleh DKI yang dikenal sebagai kasus lahan rumah DP 0 Rupiah, kasus mana telah ditingkatkan ke tingkat penyidikan.

Termasuk penunjukan langsung penebangan pohon di Monas yang merupakan paru-paru DKI. Penebangan pohon yang disinyalir merusak lingkungan. Dan menjadi pertanyaan apakah penebangan pohon di Monas melalui penunjukan langsung atau lelang?. Dan masih banyak dugaan kasus korupsi lainnya yang kandas di tangan Bambang, mungkin bekerja sama dengan saudara Pak Gubernur di KPK yaitu saudara Novel Baswedan.

8. Ketika saya masih aktif sebagai Advokat, saya mengetahui, banyak kasus-kasus tanah dan kasus kasus-kasus pengadilan lainnya di DKI, cukup ditangani oleh bahagian hukum DKI. Dengan masuknya saudara Bambang dalam kedudukannya sebagai Advokat, sekaligus Ketua TGUPP yang digaji negara, kasus kasus pengadilan tersebut, bukan tidak mungkin diselesaikan Bambang, melalui mediasi, berakhir ditingkat perdamaian.

9. Kemungkinan ini bisa terjadi, karena masyarakat tidak mengetahui transparansi kinerja Bambang. Ketika Gubernur dituding korupsi, Bambang diam seribu bahasa, tidak berani mengkritik Gubernur. Atau mungkin karena masih punya nett work di KPK, melalui Novel Baswedan, saudara Bambang berusaha membela kepentingan pak Gubernur, agar tidak terjaring selaku tersangka di KPK.Pasti Bambang memperhitungkan jasa Gubernur yang telah memberi makan kepada Bambang melalui ABPD.

10. Bahkan ketika meninggalkan pekerjaan sebagai Ketua TGUPP untuk menjadi tim sukses Pilgub Prof. Denny Indrayana di Kalimantan Selatan, saudara Gubernur membiarkan saudara Bambang rangkap jabatan. Di satu pihak sebagai Advokat mandiri, seperti sekarang ketika membela partai Demokrat nya AHY, di lain pihak menjadi tim sukses Prof Denny Indrayana. Dan masih banyak tugas advokasi lainnya di luar TGUPP, yang mungkin diselesaikan Bambang dengan honor yang cukup tinggi.

11. Kasus banjir DKI yang dijanjikan oleh Pak Gubernur di masa kampanye, tidak mengalami percepatan pembangunan penghapusan banjir DKI. Lalu apa yang bisa diharapkan dari saudara Bambang untuk mengatasi banjir?. Seperti apa yang pernah dilakukan oleh Pak Gubernur Ahok. Semua pekerjaan Ahok di video, lengkap administrasinya, sehingga demi transparansi, semua langkah Ahok dapat diketahui masyarakat.

12. Deponeering terhadap Bambang Widjojanto, tidak pernah mengrehabiliter status tersangkanya. Bayangkan seorang tersangka digaji negara, tetapi tetap bebas mengais rezeki sebagai Advokat?. Beda nasib dengan semua tersangka hasil penyidikan KPK. Yang walaupun mereka tidak merugikan negara, hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), mereka tetap divonis bersalah. Contoh nyata adalah kasus gratifikasi para anggota DPRD Malang yang jumlah di antara 1 sampai dengan 10 juta rupiah. Mungkin biaya perjalanan KPK untuk OTT mereka di Malang, jauh lebih besar dari hasil gratifikasi yang dijadikan barang bukti suap di Pengadilan.

Tinggalkan Balasan