Pemimpin Bukan Doraemon: Bangun Delegasi Kolaboratif KDM

KDM
Kemal H Simanjuntak adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK).

“Pendekatan delegatif dan sistematis harus menjadi prioritas. Bukan hanya untuk menjaga energi KDM agar tetap utuh, tetapi juga sebagai langkah politik cerdas dalam membangun keberlanjutan. Beberapa langkah berikut layak dipertimbangkan”

Oleh: Dr. Kemal H. Simanjuntak, MBA

Di era media sosial, kita menciptakan tokoh publik bukan hanya sebagai pemimpin, tetapi sebagai simbol, penafsir harapan, sekaligus tumpuan emosi kolektif. Dalam lanskap yang makin banal oleh pencitraan kosong, kehadiran sosok seperti Kang Dedi Mulyadi (KDM) terasa segar membumi, responsif, filosofis, dan dekat dengan rakyat kecil.

Namun, dalam euforia publik yang mengidolakan kedekatan ini, kita kerap jatuh ke dalam perangkap ekspektasi yang tidak realistis: berharap KDM menjadi penyelamat tunggal dari segala kekacauan sosial.

Mari bersikap adil. Dalam kasus insiden tragis di Cidahu, KDM tidak sekadar “Muncul untuk konten.” Ia hadir langsung di lokasi, bertemu warga, memberikan solusi konkret berupa ganti rugi, dan menjamin pengawalan hukum bagi para korban. Ini laku nyata yang, sayangnya, di era banyak pejabat lebih fasih bermain algoritma ketimbang menyentuh luka sosial, malah dianggap “Hal biasa.”

Padahal, hadirnya seorang tokoh di lapangan saat masyarakat berduka dengan empati dan tindakan adalah barang langka. Namun tak sedikit pula yang bertanya, “Kenapa KDM tidak turun tangan di tempat lain?” “Kenapa belum menanggapi isu yang ini?” Seolah-olah publik mengharapkan satu sosok menjadi semacam Doraemon yang bisa mengeluarkan solusi dari kantong ajaib untuk tiap masalah, setiap hari, di semua tempat.

BACA JUGA  Sidang Itsbat, Masihkah Relevan?

Pertanyaannya, adilkah itu?

KDM adalah manusia. Ia punya keterbatasan fisik, emosional, dan politis. Ia bisa lelah, ragu, bahkan takut. Tidak semua hal bisa ditanganinya sendiri. Karena itu, yang perlu dibangun sekarang bukan hanya narasi kepemimpinan personal, tapi struktur pendukung kolektif yang memungkinkan nilai-nilai yang diperjuangkan KDM terus hidup dan bekerja meskipun ia tidak hadir secara fisik.

Dari Kultus Individu ke Gerakan Delegatif

Pendekatan delegatif dan sistematis harus menjadi prioritas. Bukan hanya untuk menjaga energi KDM agar tetap utuh, tetapi juga sebagai langkah politik cerdas dalam membangun keberlanjutan. Beberapa langkah berikut layak dipertimbangkan:

  1. Pembentukan task force atau tim bayangan. Tim ini harus terdiri dari berbagai elemen masyarakat: relawan digital, jurnalis warga, guru desa, pegiat lingkungan, hingga pemuda karang taruna. Mereka bukan tim hore, melainkan pelaksana nilai-nilai sosial yang diusung KDM. Jika KDM adalah matahari, mereka adalah cahayanya yang menyinari banyak sudut dengan arahan, bukan instruksi.
  2. Strategi “desentralisasi viralitas.” Solusi dan inspirasi sosial tak harus selalu dari mulut KDM. Harus ada pelibatan konten kreator, tokoh lokal, dan publik figur mikro di berbagai wilayah. Narasi-narasi inspiratif bisa disebarkan lewat podcast, meme, video pendek, atau diskusi komunitas. KDM cukup menjadi kurator dan inspirator, bukan tukang solutif tunggal.
  3. Pembangunan sistem pelaporan masyarakat berbasis teknologi sederhana. Tidak harus aplikasi canggih. Bisa berupa kanal WhatsApp terintegrasi, dashboard aduan di media sosial, atau “posko digital” yang dikelola oleh tim. Dari sini, masalah bisa dipetakan dan didelegasikan sesuai wilayah dan isu. KDM tidak perlu menjemput semua keluhan, cukup menjadi penyambung nalar publik.
  4. Pelibatan kritikus. Kita sering salah mengelola kritik. Padahal, kritik yang terlibat bisa menjadi alat perbaikan paling jitu. Mengundang para pengkritik keras untuk berdialog, bahkan dilibatkan dalam pengambilan keputusan sosial, akan menciptakan loyalitas baru yang lebih sehat dan rasional. Kritik yang diikutsertakan menjadi pengawas internal yang tak tergantikan.
  5. Membangun kampanye naratif berbasis gotong royong. Misalnya dengan tajuk #BukanGueDoang, ajakan bahwa perubahan sosial bukan tanggung jawab satu tokoh, tapi gerakan berjamaah. Bahwa publik harus berhenti menjadi penonton cerewet yang berharap “KDM bisa menyelesaikan semuanya,” dan mulai bertanya, “apa yang bisa saya bantu untuk membuat gerakan ini berhasil?”
BACA JUGA  Mencari Pemimpin di Tengah Rivalitas Super Power

Pemimpin Adalah Navigator, Bukan Robot

KDM harus diposisikan bukan sebagai tukang tambal ban sosial, tapi sebagai navigator moral dan budaya. Ia adalah simbol penting, tapi bukan satu-satunya tenaga. Ini bukan berarti melepas tanggung jawab, tapi justru memperluas tanggung jawab ke lingkaran partisipatif yang lebih besar.

Kita tidak butuh pemimpin yang bisa segalanya. Kita butuh pemimpin yang tahu kapan harus mengandalkan orang lain, kapan harus mendengar, dan kapan harus mundur selangkah agar yang lain maju bersama.

KDM dan Masa Depan Politik Emosional

Jika ada yang khas dari gaya KDM, itu adalah kemampuannya meresap ke dalam emosi publik menghadirkan harapan melalui tindakan kecil yang menyentuh. Tapi justru karena kekuatan itu berbasis emosi, maka risikonya juga tinggi: ketika satu ekspektasi tak terpenuhi, kekecewaan bisa berubah menjadi cemoohan.

BACA JUGA  Mengoreksi Gengsi: Membangun Masa depan dengan Prioritas Rasional

Di sinilah pentingnya transformasi dari figur karismatik ke sistem yang bisa berdiri tanpa terus-menerus bergantung pada kehadiran personal. KDM, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, telah memberi teladan. Sekarang saatnya kita berhenti hanya menonton, dan mulai bekerja bersama.

Karena kalau kita terus memaksanya menjadi Doraemon sosial, satu saat kantongnya bisa jebol dan publik akan kehilangan satu dari sedikit pemimpin yang benar-benar hadir dengan hati.

*Penulis Kemal H Simanjuntak adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK).