Perbedaan Hukum Perdata dan Hukum Pidana Dalam Jual Beli Barang

Kurnianto Purnama
Kurnianto Purnama, SH, MH/foto:dok.SP

“Sanksi hukum pidana berupa penjara, sedangkan sanksi hukum perdata berupa ganti rugi. Maka di sini, diperlukan penyidikan hukum oleh penegak hukum, yakni kepolisian sebagai penyidik. Setelah dilakukan penyidikan, baru bisa diketahui.”

DALAM dunia hukum dikenal hukum pidana dan hukum perdata. Pembagian kedua jenis hukum ini berasal dari hukum Romawi dari Eropa Kontinental sejak beberapa ratus tahun silam.

Kemenkumham Bali

Sebelum ada hukum tertulis di Eropa Kontinental, yang berlaku adalah hukum kebiasaan. Dalam hukum kebiasaan saat itu, tidak mengenal pembagian hukum pidana dan hukum perdata. Sama seperti hukum di tanah air, sebelum penjajah Belanda memberlakukan hukum dari Belanda, hukum di Tanah Air tidak mengenal pemisahan hukum pidana dan hukum perdata.

Di sini, saya hanya hendak menulis mengenai perbedaan hukum pidana dan hukum perdata dalam perdagangan yakni jual beli barang.

Dalam transaksi perdagangan masyarakat kita sehari-hari, sering terjadi jual beli barang dengan hutang.

Setelah barang diterima, dibuat tanda terima atau dibayar dengan cek atau bilyet giro. Ketika jatuh tempo, pembeli hanya membayar ke penjual sebagian saja, ada juga yang tidak membayar. Cek dan giro yang dibuka pun tak ada saldonya.

Nah, kini timbul pertanyaan, peristiwa hukum ini termasuk hukum pidana atau hukum perdata?. Sanksi hukum pidana berupa penjara, sedangkan sanksi hukum perdata berupa ganti rugi.

Maka di sini, diperlukan penyidikan hukum oleh penegak hukum, yakni kepolisian sebagai penyidik. Setelah dilakukan penyidikan, baru bisa diketahui. Apakah dalam peristiwa jual beli ini, ada unsur niat jahat atau tidak dari pembeli, yang dalam istilah hukum disebut mens rea.

Jika terbukti ada mens rea, maka peristiwa hukum ini bisa masuk ranah hukum pidana.

Untuk itu, polisi seharusnya tidak dengan sederhana mengatakan bahwa peristiwa hukum ini termasuk perdata, lalu menolak laporan korban.

Contoh niat jahatnya, misalnya, seorang pembeli barang berkali-kali tidak membayar uang pembelian kepada penjual, punya niat uang hasil penjualannya bukan untuk membayar ke pembeli, tapi dipakai untuk judi bola, beli rumah mewah atau beli mobil mewah dan sebagainya. Sementara penjual menjadi babak belur.

Demikian sedikit tulisan dari saya, semoga bermanfaat.

Jakarta, 23 November 2022
Kurnianto Purnama, S.H.,M.H.

Tinggalkan Balasan