Berita  

Polemik Terapi ‘Cuci Otak’ Terawan, Diminta Setop Sejak 2018

Teks foto: Prof. Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad. (ist)

JAKARTA,SUDUTPANDANG.ID –  Terawan Agus Putranto sudah diminta disetop sejak 2018 terkait dengan alasan kesahihan metode ilmiah.

Nama Terawan diketahui kembali menjadi perbincangan publik usai Majelis Kehormatan Etik Kedokteran ( ) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merekomendasikan pemberhentian dirinya dari keanggotaan IDI melalui Muktamar ke-31 IDI di Banda Aceh pekan lalu.

Kemenkumham Bali

Setidaknya ada lima alasan yang mendasari pemecatan Terawan. Namun, isu pemecatan Terawan itu bukan pertama kali terjadi. Pada 2018 lalu juga beredar surat keputusan pemecatan sementara karena Terawan dinilai menyalahi kode etik kedokteran melalui metode ‘cuci otak’ yang dia lakukan.

Berdasarkan dokumen yang diterima wartawan dan merupakan arsip dokumen per Juli 2018, metode terapi cuci otak Terawan atau dikenal juga sebagai metode Intra-Arterial Heparin Flushing (IAHF) untuk tujuan terapi yang merupakan modifikasi Digital Subtraction Angiography (DSA) itu direkomendasikan untuk dihentikan.

Rekomendasi itu berasal dari Satuan Tugas (Satgas) Penyelesaian Pelayanan Kesehatan dengan Metode IAHF sebagai terapi yang resmi dibentuk oleh Menteri Kesehatan periode 2014-2019 Nila Farid Moeloek.

BACA JUGA  PMI Jakarta Utara Galang Bantuan Untuk Korban Gempa Cianjur

Adapun mama IAHF baru diperkenalkan Terawan melalui disertasi di Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2016.

“Pelayanan kedokteran dengan metode IAHF untuk tujuan terapi dihentikan di seluruh Indonesia karena belum ada bukti ilmiah yang sahih tentang keamanan dan manfaat IAHF,” kata Satgas IAHF.

Satgas menilai, terapi cuci otak Terawan yang telah dilakukan terhadap banyak pasien hingga sekitar 40 ribu orang, namun belum jelas apakah prosedur tersebut telah didukung oleh bukti ilmiah yang sahih sehingga memicu kontroversi baik di masyarakat maupun di kalangan kedokteran.

Penggunaan IAHF dalam pengobatan terawan yang berupa terapi stroke iskemik kronik masih dipertanyakan terkait keselarasannya dengan dengan etika, hukum, dan praktik profesi kedokteran.

“Diperlukan penelitian tentang IAHF untuk tujuan terapi dengan metodologi penelitian yang baik dan benar serta dengan dasar-dasar ilmiah untuk mendapatkan bukti efektivitas dan keamanan IAHF yang dapat diterima secara universal oleh dunia kedokteran,” lanjut mereka.

BACA JUGA  Mahasiswa Teriakkan "Bebaskan Palestina" Usai Universitas Harvard Tahan 13 Gelar Wisudawan

Satgas kemudian membeberkan metode penelitian mereka sehingga kemudian berujung untuk merekomendasikan penghentian praktik cuci otak Terawan. Pertama, seluruh jurnal ilmiah dan penelitian yang dilakukan Terawan tidak sesuai dengan format Evidence based medicine (EBM). Penelitian Terawan juga tidak memenuhi syarat untuk digunakan dasar pemberian terapi.

Kedua, terapi Terawan itu bertentangan dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) tahun 2012 yang merupakan rujukan etika profesi bagi seluruh dokter di Indonesia. Penelitian Terawan dianggap melanggar KODEKI Pasal 6 lantaran tidak memiliki bukti ilmiah sebagai dasar praktik IAHF untuk tujuan terapi.
Ketiga, terapi cuci otak Terawan dinilai melanggar Undang-undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Undang-undang No. 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit lantaran masih belum bisa menunjukkan bukti ilmiah.

BACA JUGA  Keisya Levronka Dapat Penghargaan di Malaysia

Keempat, di dalam standar kompetensi dokter spesialis radiologi yang telah disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) tidak memuat IAHF ataupun modifikasi DSA sebagai tindakan terapi.
Satgas melanjutkan, yang masuk dalam standar kompetensi adalah tindakan DSA sebagai metode diagnostik tanpa penambahan heparin dengan flushing. Hingga saat itu belum ada Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan (PNPK) dan Panduan Praktik Klinis (PPK) tentang tindakan IAHF untuk terapi tersebut.

 

Tinggalkan Balasan