SUDUTPANDANG.ID – Panti Asuhan Putri Kerahiman Papua, hampir 30 tahun terakhir, sudah merawat dan mengantar lebih dari 700 anak ke jenjang pendidikan formal.
Panti asuhan yang dipimpin Suster Alexia didirikan tahun 1992. Penggagasnya adalah rohaniawan Katolik asal Belanda, Pastor Nico Diester OFM dan biarawati kelahiran Belgia, Suster Maricen DSY.
Keduanya mendedikasikan panti asuhan itu untuk menampung anak-anak yang kehilangan orang tua, anak terlantar, anak korban kekerasan dalam rumah tangga, dan anak-anak dari pedalaman Papua.
Suster Alexia, menerangkan setiap anak diajarkan untuk mandiri membersihkan kamar, mencuci piring dan gelas yang mereka gunakan. Selain bersekolah, mereka dilibatkan dalam merawat kebun dan lingkungan di sekitar panti.
Jam berdoa dan waktu belajar juga harus mereka jalani sebelum menutup hari.
Kedisiplinan, kata Suster Alexia, akan menjadi fondasi kemandirian anak-anak saat kelak mereka beranjak dewasa.
Namun anak-anak Papua dari pedalaman tidak terbiasa dengan pola hidup seperti itu. Alexia berkata, penyesuaian yang dihadapi seperti rombongan anak dari Intan Jaya bahkan lebih rumit karena mereka membawa trauma dari kampung halaman.
Awal Desember lalu mereka tiba di Jayapura untuk memulai babak baru kehidupan di Panti Asuhan Kerahiman Putri.
Di bawah bimbingan biarawati, anak-anak itu diharapkan dapat menjejaki pendidikan formal dan mempelajari nilai-nilai baik kehidupan, jauh dari konflik bersenjata yang terjadi di kampung mereka.
Keberangkatan 15 anak ini ke Panti Asuhan Putri Kerahiman diinisiasi pastor muda bernama Yeskiel Belau. Laki-laki asal Kampung Baitapa, Intan Jaya, ini baru saja ditahbiskan menjadi imam Katolik, September lalu.
Yeskiel berkata, tanggung jawab sebagai rohaniawan dan nilai-nilai agama yang dia yakini mendorongnya “menolong anak-anak itu”.
Menurutnya, kecemasan dan kedukaan umat semestinya perasaan yang juga dirasakan pimpinan gereja. Mencari jalan keluar atas persoalan umat, kata Yeskiel, merupakan tugas yang perlu diemban rohaniawan sepertinya.
Perselisihan bersenjata antara milisi pro-kemerdekaan dengan aparat kerap pecah di Intan Jaya. Bukan cuma memicu pengungsian, kematian anak akibat kontak tembak juga terjadi akibat konflik itu.
Anak-anak Intan Jaya disebut Yeskiel mustahil mendapatkan hak atas masa depan yang cerah dalam situasi yang serba tidak menentu seperti itu.
“Banyak orang tua di sana sangat ingin agar anak-anak mereka sekolah. Mereka sangat antusias, tetapi semuanya bekerja sebagai petani dan tidak mempunyai biaya,” ujar Yeskiel.
Namun pergulatan 15 anak Intan Jaya itu tidak berakhir setelah mereka menjalani hari baru di panti asuhan. Hanya sedikit dari mereka yang bisa berbahasa Indonesia.
Namun di Intan Jaya, banyak orang tua masih menanti kesempatan agar anak mereka bisa hijrah ke kota besar, meraih mimpi jauh dari konflik bersenjata.
Sumber: BBCnews