Hemmen
Hukum  

Jadi Kuasa Hukum Lukas Enembe, OC Kaligis Buka-bukaan Soal Perlakuan KPK

OC Kaligis bersama Yulce Wenda (ketiga kanan) istri Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe di kantornya Jl. Majapahit, Jakarta Pusat, Jumat (20/1/2023)/Foto: Istimewa

“Permohonan perlindungan hukum ini kami lakukan bukan semata-mata untuk mendeskreditkan KPK. Mama Yulce Wenda menjamin tidak akan ada halangan KPK melakukan tugas penyidikan, yang adil tanpa tebang pilih, dan sesuai peraturan yang berlaku, dengan mengindahkan hak-hak tersangka sesuai KUHAP.”

JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Pengacara senior OC Kaligis buka-bukaan soal perlakuan pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasca dirinya menjadi kuasa hukum keluarga Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe dalam suratnya yang ditujukan ke Firli Bahuri.

Idul Fitri Kanwil Kemenkumham Bali

Dalam suratnya, OC Kaligis juga “menyentil” pihak yang mengkait-kaitkan posisinya sebagai eks koruptor. Ia menegaskan bahwa dirinya bukan koruptor yang merampas uang negara.

Tak hanya itu, OC Kaligis juga mengungkap perjuangan dirinya sampai dapat mendapatkan perawatan medis dari dr. Terawan saat berada dalam jeruji besi.

“Karena gangguan sakit kepala saya makin menjadi-jadi, di satu kesempatan di persidangan, saya memberontak, memprotes hakim, dengan tuduhan bila saya mati yang bertanggung jawab KPK dan Majelis Hakim. Saya protes untuk tidak mau diperiksa. Beruntung saat itu juga Majelis Hakim Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan agar saya dapat diperiksa oleh dokter Terawan,” ungkap OC Kaligis dilansir dalam suratnya, Rabu (25/1/2023).

Pengalamannya itu, ia ungkapkan saat istri Lukas Enembe, Yulce Wenda tidak dapat membesuk suaminya di rumah sakit.

“Mama Wenda dan adik mama Wenda, hanya diperkenankan melihat melalui kaca, dan itu pun sangat dibatasi, tanpa mama sanggup berkomunikasi, karena dikerumuni oleh oknum-oknum polisi bersenjata. Para Pengacara pun dilarang oleh KPK untuk bertemu,” katanya.

OC Kaligis juga bercerita pengalamannya saat memperjuangkan seorang pasien untuk diperiksa penyidik.

“Saya pernah ke Komisi Hak Asasi Manusia di Geneva Swiss pada tahun 2000 memperjuangkan sakitnya Bapak Presiden Soeharto yang dipaksa diperiksa oleh penyidik kejaksaan,” ujarnya.

“Dari High Commisioner for Human Right saya memperoleh penjelasan bahwa tersangka sakit seperti yang dialami Pak Lukas Enembe, he is not fit to stand trial, beliau tidak layak untuk diperiksa. Selanjutnya azas HAM yang berlaku universal menurut komisi adalah no one shall subjected to inhuman or degrading treatment in whatever accusation he is facing” sambung OC Kaligis

Berikut isi surat permohonan perlindungan hukum OC Kaligis selaku kuasa hukum keluarga Lukas Enembe untuk Ketua KPK Firli Bahuri:

Jakarta, Senin 23 Januari 2023.
No. 62/OCK.I/2023
Hal: Mohon Perlindungan Hukum.

Kepada yang terhormat
Ketua KPK
Bapak Firli Bahuri
Di
Gedung Merah Putih
Jl. Persada Kuningan
JAKARTA SELATAN

Dengan hormat,
Saya, Prof. Otto Cornelis Kaligis, dalam hal ini bertindak selaku salah seorang kuasa keluarga Bapak Lukas Enembe, bersama surat ini memohon perlindungan hukum kepada bapak selaku pimpinan KPK dan segenap jajaran KPK termasuk Dewan Pengawas KPK untuk hal berikut ini :

Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih atas pernyataan KPK yang menerima baik kehadiran saya selaku kuasa hukum keluarga Lukas Enembe. Sampai detik ini memang izin advokat saya tidak pernah dicabut.

Sekalipun reaksi beberapa pers masih mengkait-kaitkan posisi saya sebagai eks koruptor yang telah selesai menjalani hukuman, bersama ini saya tegaskan bahwa saya bukan koruptor yang merampas uang negara.

Hak pengacara saya tidak pernah dicabut oleh yang berwewenang. Bahkan sejak Maret 2022 saya telah aktif membela perkara di pengadilan tanpa halangan apapun juga.

Sekilas untuk klarifikasi. Ketika saya ditangkap KPK tanggal 14 Juli 2015 tanpa surat panggilan, bukan OTT, status perkara yang saya tangani di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, adalah perkara saya dikalahkan dan saya telah banding.

Dalam dunia suap menyuap tidak seorang pengacara pun mau menyuap hakim untuk perkara yang dikalahkan. Ketua Majelis Hakim Tripeni pun dibawah sumpah menjelaskan bahwa tidak ada suap dalam putusannya yang mengalahkan saya.

Ketika tanggal 7 Juli 2015 pengacara saya , Gary dari Medan menelepon saya di Jakarta, memberitahukan bahwa perkara saya dikalahkan, di hari itu juga saya menyatakan banding, dan sama sekali tidak ada lagi rencana untuk ke Medan.

Tanggal 9 Juli 2015 Gary di OTT di Medan, karena memberi uang THR kepada panitera atas permintaan panitera. Bukan uang suap perkara, karena perkara dikalahkan.

Tanggal 9 Juli 2015 saat OTT advokat Gary di Medan, saya sedang membela perkara di Denpasar, dan saat Gary di OTT oleh KPK,  saya dan pengacara saya Indah langsung dicekal, padahal saya belum pernah diperiksa sebagai saksi apalagi tersangka.

OTT Gary diduga digunakan KPK sebagai balas dendam, karena saya sebelumnya giat membongkar dugaan korupsi oknum-oknum KPK pimpinan Bibit-Chandra sampai saya juga membongkar Novel Baswedan yang dilindungi negara sehingga perkara pembunuhan di Bengkulu dibekukan.

Selama di Sukamiskin saya selalu membela perkara dalam kedudukan saya sebagai advokat di Pengadilan Jakarta Pusat dan Selatan atas seizin Kalapas Sukamiskin.

Sekalipun saya divonis 10 tahun oleh hakim Agung Artidjo  (vonis saya dikurangi 3 tahun ditingkat Peninjauan Kembali), Hakim Agung Artidjo yang banyak menganiaya tersangka melalui putusannya, tanpa pertimbangan hukum, saya sampai hari ini diusia 81 tahun masih sehat, aktif beracara di pengadilan, sedang Hakim Agung Artidjo telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Saya diadili tanpa BAP tanpa barang bukti gratifikasi ataupun suap.

Saya telah mengampuni Artidjo dan semoga Tuhan Yang Maha Baik juga mengampuni dosa-dosa Hakim Agung Artidjo.

Kembali kepada pokok permohonan saya. Terdiri dari dua hal :

Pertama, pemohonan Lukas Enembe dan istri untuk memilih dokter yang akan merawat. Kedua, mengenai hak-hak penasihat hukum menurut undang-undang.

Ketika saya ditahan sejak 14 Juli 2015 penyidikan dihentikan karena tensi saya sampai di angka 200.

Memang sebelum masuk, saya sudah pernah berkonsultasi dengan Dr. Terawan. Beliau menganjurkan agar saya segera ditindak melalui DSA.

Karena kesibukan yang luar biasa saya menunda nunda anjuran Dr. Terawan.

Dua hari di Rutan Guntur, tanggal 16 Juli 2015 menjelang Lebaran, saya mengalami sakit kepala luar biasa sehingga KPK melalui ambulans mengantar saya ke Rumah Sakit Polri.

Setelah diberi obat, pada hari itu juga tensi saya agak turun, walaupun kepala saya kambuh berulang-ulang.

Karena seringnya sakit kepala, akhirnya KPK menunjuk tim dokter yang terdiri kurang lebih 8 dokter ahli dari  RSCM untuk memeriksa saya.

Sekalipun saya menolak, karena saya tetap menghendaki agar saya diperiksa Dr. Terawan, KPK tidak menghiraukan penolakan saya dan tetap memaksa saya untuk diperiksa oleh tim dokter IDI RSCM.

Kesimpulan tim dokter RSCM, tidak ada gangguan syaraf di kepala saya.

Karena gangguan sakit kepala saya makin menjadi-jadi, di satu kesempatan di persidangan, saya memberontak, memprotes hakim, dengan tuduhan: Bila saya mati yang bertanggung jawab KPK dan Majelis Hakim. Saya protes untuk tidak mau diperiksa.

Beruntung saat itu juga Majelis Hakim Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan agar saya dapat diperiksa oleh Dr.Terawan.

Segera sidang ditunda. Dengan dikawal KPK, keluarga dan para advokat kantor, saya dibawa ke RSPAD, dan saat itu juga saya ditindak oleh Dr. Terawan disaksikan oleh KPK.

Melalui monitoring ternyata penyumbatan syaraf ke otak saya sudah lebih 90 persen, dan di saat itu tensi saya 225-120. Biasanya dengan tensi demikian pasien meningkat ke status.

Terawan berhasil membongkar sumbatan itu, dan kurang lebih 8 jam kemudian tensi saya kembali normal 120-80. Padahal para dokter spesialis IDI RSCm mengdiagnosa, bahwa sakit kepala saya biasa-biasa saja.

Ini untuk membuktikan bahwa diagnosa oleh bukan dokter pilihan saya dapat berbeda dengan dokter yang saya tunjuk sendiri.

Beruntung sebagai pengacara saya sadar akan hak-hak saya untuk menentukan dokter yang akan merawat saya, karena itu merupakan hak asasi saya, bukan KPK yang harus menentukan dengan siapa saya harus dirawat.

Hidup mati si pasien ditentukan oleh pasien tersebut.

Barron Ichsan Perwakum

Tinggalkan Balasan