Purbaya: Harapan di Tengah Keretakan Anggaran 

Purbaya: Harapan di Tengah Keretakan Anggaran 
Kolase Ketua Umum AMKI Pusat Tundra Meliala dan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.(Foto: Sudut pandang.id

“Purbaya bukan pahlawan. Ia bukan antihero. Ia hanya teknokrat yang sedang ditempatkan di persimpangan sejarah.”

Oleh: Tundra Meliala

Pagi, akhir Agustus 2025, Jakarta yang lembap seperti ikut menahan napas ketika kabar mundurnya Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan mengalir deras di linimasa. Rumah dinasnya yang porak-poranda akibat amarah demonstran menjadi simbol dari ketegangan sosial yang lama disimpan rakyat, ketidakadilan gaji pejabat, ketimpangan, dan ruang fiskal yang semakin sesak.

Di tengah kekisruhan itu, satu nama muncul menggantikan Sri Mulyani, yakni Purbaya Yudhi Sadewa. Ketika mobil dinasnya berhenti di halaman Kementerian Keuangan, seorang staf muda berbisik lirih, “Pak Purbaya itu gayanya santai, tapi pikirannya rapi.”

Ucapan itu mungkin tepat, atau setidaknya menggambarkan harapan banyak orang. Purbaya datang bukan sebagai teknokrat yang didandani politisasi, melainkan sebagai ekonom yang telah melintasi industri, ruang riset, dan meja kekuasaan selama hampir tiga dekade.

Jika DNA teknokrasi bisa diwariskan, Purbaya membawa setumpuk predikat yang jarang dimiliki satu orang. Ia Field Engineer Schlumberger (1989-1994), ekonom senior Danareksa (2000-2005), Chief Economist Danareksa (2005-2013), Direktur Utama Danareksa Securities (2006-2008).

Ia juga Deputi III KSP (2015), staf khusus di Kemenko Perekonomian dan Marves, serta Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) periode 2020-2025.

Di LPS, ia menjadi salah satu figur yang membangun ulang kepercayaan publik terhadap industri perbankan pascapandemi. Di Danareksa, ia dikenal sebagai ekonom yang tidak alergi pada angka yang getir. Dan di KSP, ia belajar bahwa data sering kali kalah oleh dinamika politik kecuali bila diucapkan dengan ketenangan yang meyakinkan.

Pendidikan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) dan gelar Doktor di bidang Ilmu Ekonomi dari Purdue University, Indiana, Amerika Serikat memberinya dua hal, struktur berpikir insinyur dan sensitivitas makroekonomi seorang akademisi. Kombinasi semacam itu jarang, dan justru itu yang membuatnya dipanggil ke ruang krisis hari ini.

BACA JUGA  Bahas Ekonomi Indonesia, Capres Anies Baswedan Hadiri Dialog Apindo

“Tiga Ribu Triliun Saja Bisa Diselewengkan…”

Kalimat itu meledak di ruang publik seperti gebrakan meja rapat yang lama ditunggu-tunggu orang banyak. Di balik gaya bicara koboinya, yang dia akui sendiri “harus diperhalus” ketika duduk sebagai Menkeu, ada fakta pahit yang selama ini hanya dibicarakan di ruang-ruang teknis bahwa kebocoran anggaran tidak lagi ukuran liter, tetapi kubik.

Dalam rapat dengan DPR, ketika Rocky Gerung Gerung menyebutnya “kasir”, Purbaya menjawab dengan senyum datar. Ia tidak defensif. Tidak juga membalas. “Saya memang blak-blakan,” katanya, “tapi angka tidak pernah bohong.”

Kalimat yang sederhana, tetapi dalam dunia fiskal itu bisa seperti pengakuan iman.

Kebijakan Awal: Menggoyang Pohon-Pohon Besar

Tidak perlu menunggu lama untuk melihat arah sorongannya. Ia menempatkan dana Rp200 triliun di bank BUMN. Tujuannya untuk membuka keran kredit, mendorong sektor riil, menyulut mesin pertumbuhan.

Namun langkah ini juga menimbulkan pertanyaan, apakah uang itu akan bergerak, atau sekadar menjadi angka tidur dalam neraca perbankan?.

Ia kemudian memotong transfer daerah 2026. Alasannya, salah kelola dan dugaan penyelewengan.

Langkah ini berani, bahkan berisiko. Transfer daerah adalah “urat nadi politik lokal”. Tetapi ketegasan juga kadang menjadi obat pahit yang dibutuhkan arsitektur fiskal.

Berikutnya, ia menolak APBN menanggung utang Kereta Cepat Whoosh. “Utang itu BUMN yang tanggung,” ujarnya.

BACA JUGA  Soeharto: Pahlawan dan Bapak Pembangunan Indonesia

Proyek senilai sekitar Rp120 triliun Whoosh adalah gajah putih yang kerap dicicil dengan narasi nasionalisme. Purbaya memotongnya dengan satu kalimat teknis, APBN bukan penyapu jejak kesalahan korporasi.

Langkah ini tidak populer, tetapi membangun sinyal kedisiplinan fiskal yang lama menghilang.

Belum berhenti, Purbaya pun lantas mempertimbangkan menurunkan PPN. Sekilas terdengar populis. Namun jika daya beli melemah, pemulihan bisa tersendat. Masalahnya, ruang fiskal Indonesia tidak lagi seluas era sebelum pandemi.

Tiga Luka Lama yang Harus Ia Jahit

Di banyak kesempatan, Presiden Prabowo Subianto menuntut pertumbuhan 6 persen. Namun Purbaya sedang berjalan di antara tiga kawah finansial.

Pertama, ketidakpuasan rakyat soal keadilan anggaran. Kemarahan soal gaji pejabat bukan sekadar nominal. Itu adalah simbol ketidaksetaraan kesempatan.

Kedua, utang negara yang mendekati Rp8.000 triliun. Retorika “utang bisa dibayar” harus dibuktikan dengan strategi penerimaan, bukan hanya optimisme.

Ketiga, belanja negara yang semakin tidak efisien dari bansos, belanja barang, hingga infrastruktur yang tumpang tindih. Ini medan tempur utama seorang Menkeu.

Lalu, Mengapa Kita Masih Bisa Menaruh Harapan?

Harapan bukan soal sentimentil. Bukan soal menyukai gaya humornya. Dan bukan karena survei menempatkannya sebagai menteri favorit.

Harapan ada karena poin-poin ini. Ia teknokrat yang pernah memegang risiko sistemik. Tidak semua ekonom pernah memegang LPS, lembaga yang harus bertindak cepat ketika bank jatuh.

Ia punya keberanian politik yang tidak lazim: menolak beban APBN untuk proyek besar adalah preseden penting.

Ia juga paham bahwa pertumbuhan tanpa keadilan adalah bom waktu. Pemotongan transfer daerah, bila dikawal benar, adalah sinyal bahwa efisiensi tidak boleh menjadi wacana kosong.

BACA JUGA  Tembok 80 Tahun: Menua Tanpa Merana, Bijak Tanpa Menggurui

Ia tidak mudah terpesona narasi “lembaga internasional”. Sikap skeptis pada IMF atau investor asing menunjukkan kepercayaan diri sekaligus kehati-hatian.

Purbaya sadar beban historis yang sedang ia pikul. Seorang Menkeu tidak hanya mengurus angka, tetapi juga rasa keadilan rakyat yang terkoyak.

Ruang Anggaran yang Retak, dan Kesempatan yang Tipis

Indonesia sedang berjalan di atas batu pijakan fiskal yang retak-retak. Setiap langkah salah bisa mengirim negara ini ke arah spiral yang lebih dalam. Namun setiap langkah berani yang tepat bisa membangun fondasi baru.

Purbaya bukan pahlawan. Ia bukan antihero. Ia hanya teknokrat yang sedang ditempatkan di persimpangan sejarah.

Apakah ia akan sukses?. Masih terlalu dini. Namun dalam ruang gelap fiskal saat ini, ia membawa seberkas lampu kecil, keberanian untuk menyentuh area yang selama ini terlalu nyaman.

Dan mungkin, dari sanalah perjalanan panjang pembenahan anggaran bisa dimulai. Semoga.

*Tundra Meliala adalah Ketua Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat. Ia aktif menulis opini mengenai media, kebijakan publik, dan dinamika ekonomi-politik nasional, serta merupakan alumnus Lemhannas PPRA 51.


Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis. Seluruh pandangan, analisis, dan interpretasi dalam artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis