JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Beragam pandangan terus mengemuka menjelang pengumuman hasil sidang pemeriksaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terhadap sembilan majelis Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dugaan pelanggaran etik usai putusan gugatan syarat usia capres-cawapres.
Seperti pandangan yang disampaikan oleh praktisi hukum Stefanus Gunawan. Menurutnya, hasil sidang MKMK akan menentukan nasib Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres) pendamping capres Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
“Putusan MK bersifat final and binding atau final dan mengikat, sehingga tak ada upaya hukum lain yang bisa mengubah atau membatalkan, baik upaya ke pengadilan negeri maupun tata usaha negara. Kendati demikian, bila hasil putusan sidang dugaan pelanggaran etik maka akan berdampak merubah putusan MK melalui mekanisme uji materiil kembali dengan pemohon yang berbeda,” kata Stefanus Gunawan, dalam keterangannya, Senin (6/11/2023).
Stefanus Gunawan mengapresiasi pihak yang telah melaporkan dugaan pelanggaran etik sembilan Hakim MK yang menangani perkara No. 90/PUU-XXI/2023. Masyarakat harus mendukung upaya hukum kelompok pemohon yang melapor adanya dugaan pelanggaran etik Hakim MK.
:Jika hasilnya majelis etik mendapat bukti adanya pelanggaran etik profesi hakim, maka MK akan melakukan persidangan kembali dengan pemohon lain, dan akan memperbaiki putusan sebelumnya,” ujar Stefanus yang juga Ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Suara Advokat Indonesia (SAI) Jakarta Barat.
Stefanus mengatakan, pengujian pasal atau materi yang sudah diputus sebenarnya tidak dapat diuji kembali. Asas hukum nebis in idem pada dasarnya melarang mengadili suatu perkara kedua kalinya, termasuk putusan MK.
“Kendati demikian, ada pengecualian pengujian materiil yang telah diuji apabila dalam prosesnya ada pelanggaran etik. Dalam perkara uji batas usia capres-cawapres, putusannya bisa diuji untuk kedua kalinya apabila Majelis Kehormatan menemukan adanya pelanggaran. Asal saja ada pemohon lain yang ingin menguji kembali perkara yang sama. Perkara Pasal 169 huruf q UU Pemilu terkait batasan usia capres-cawapres yang sudah diputus dapat diadili kembali oleh MK, sepanjang ada pelanggaran etik yang ditemukan MKMK,” terang alumni Magister Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
“Sidang kembali dengan adanya pengecualian, dapat dibenarkan secara hukum, yakni Pasal 78 Peraturan MK No. 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-undang,” sambungnya.
Kejanggalan
Ia mengungkapkan, sejak awal banyak pihak yang menduga adanya kejanggalan dalam putusan MK terkait batas usia capres-cawapres. Khususnya pada amar yang menyatakan berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
“Kalau boleh disimpulkan, amar putusan MK itu secara jelas ada pihak yang diuntungkan. Siapa?. Menurut berbagai pendapat yang berkembang di tengah masyarakat, tak lain adalah Gibran yang saat ini menjadi cawapres Prabowo dalam Pilpres 2024, Wali Kota Solo yang baru berusia 36 tahun, belum genap 40 tahun,” ungkap Stefanus.
Ia menyebutkan, meski belum di batas minimal usia capres-cawapres sesuai ketentuan UU Pemilu, namun dipaksakan dengan alasan yang bersangkutan sedang menjabat wali kota.
“Pencalonan itu sebagaimana amar putusan MK, seolah-olah tak jadi masalah mendampingi Pak Prabowo sebagai cawapres pada Pilpres 2024. Inilah yang patut diduga melanggar UU Pemilu,” katanya.
Selain itu, lanjutnya, posisi Ketua MK Anwar Usman yang merupakan paman dari Gibran juga patut diduga melanggar ketentuan etika profesi hakim. Anwar Usman tak mau mundur meski diketahui ada ikatan keluarga dengan pihak yang diuntungkan (Gibran).
“Hanya saja putusannya dapat dikategorikan cacat hukum. Sudah sepantasnya MKMK membatalkannya,” ujar Ketua LBH Serikat Seniman Indonesia.
“Dampak dari kejanggalan putusan MK membuat negeri ini jadi riuh menjelang Pemilu 2024, berbagai pendapat atau opini dari kalangan masyarakat banyak menilai keliru atas putusan MK terkait syarat batas usia capres-cawapres,” katanya.
Putusan MK itu juga patut diduga melanggar UU No: 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 17 ayat (4), (5) dan (6).
“Pasal itu sendiri terdiri dari tujuh ayat, yang pada dasarnya cukup jelas dipaparkan kewajiban bagi seorang hakim untuk tidak boleh semena-mena dalam memutus suatu perkara, dan tidak boleh melanggar ketentuan tersebut,” jelasnya.
Mengutip Pasal 17 ayat (6) UU Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Dalam upaya penegakan hukum, seyogianya tidak boleh ada kepentingan politik, bahkan harus dipisahkan dengan kepentingan politik,” pungkas Ketua LBH Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) Jabodetabek itu.(PR/01)