Oleh Dr Ir Ifan Haryanto, M.Sc*.
JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID –
Beberapa hari di awal Maret 2025 ini, banjir besar kembali melanda Megapolitan Jakarta, istilah yang rasanya lebih tepat menggambarkan keterkaitan antara Jakarta dan wilayah sekitarnya yaitu Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, serta Cianjur (Bodetabekjur).
Wilayah ini telah menjadi satu ekosistem yang saling terhubung dan saling memengaruhi. Banjir kali ini berpusat di wilayah Bekasi. Namun dampaknya meluas hingga ke wilayah lain dan tidak saja berpengaruh pada terganggunya jaringan transportasi lokal, namun juga mengganggu sistem pergerakan transportasi yang lebih luas serta mempengaruhi sistem kegiatan dan kehidupan sosial ekonomi di wilayah lain. Menyadari Megapolitan Jakarta merupakan ekosistem yang kompleks dan menyatu, maka memahami persoalan dan memecahkan permasalahan banjir ini juga harus dilakukan dengan pendekatan yang komprehensif, sistemik dan terintegrasi dengan melibatkan koordinasi dan kolaborasi antar pemerintah daerah pemegang otoritas, dan semua pihak yang berkepentingan.
Seiring berkembangnya Megapolitan Jakarta, solusi penanganan banjir menjadi semakin kompleks. Upaya sporadik, parsial dan insidental yang sudah dilakukan selama ini ternyata tidak cukup untuk mengatasi masalah. Harapan menyelesaikan masalah dapat menyala terang jika upaya mengatasinya dilakukan secara komprehensif, sistemik dan integratif dengan melibatkan semua stakeholders yang memiliki wewenang dan kepentingan. Berdasarkan sejarah dan penelitian berbagai pihak, dapat diidentifikasi faktor utama penyebab banjir Jakarta, yakni faktor alam dan faktor non alam.
Penyebab banjir dikarenakan faktor alam misalkan curah hujan tinggi di musim hujan yang menyebabkan sungai meluap, minimnya daerah tangkapan air, kondisi topografi Megapolitan Jakarta yang umumnya datar, sehingga berpotensi menimbulkan genangan serta kondisi faktual bahwa Jakarta dilewati dan sekaligus merupakan titik muara (hilir) beberapa sungai yang kerap meluap di puncak musim hujan, yakni misalkan Kali Mookervart, Angke, Pesanggrahan, Grogol, Krukut, Baru Barat, Ciliwung, Baru Timur, Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat, Cakung, Cileungsi, Cikeas dan Bekasi (Cikarang Bekasi Laut). Letak geografi Megapolitan Jakarta di hilir secara geologis meningkatkan potensi air bah dari hulu. Adanya laju sedimentasi sungai dan fenomena penurunan permukaan tanah di hilir serta pasang air laut juga merupakan faktor alam yang menyebabkan banjir.
Sementara itu penyebab banjir dikarenakan faktor non alam misalkan akibat sumbatan kanal/sungai karena sampah dan Tata Ruang yang kurang terkendali, baik di hulu (Puncak/Bogor/Cianjur) maupun hilir. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pembangunan fisik Megapolitan Jakarta banyak yang melanggar kaidah tata ruang. Sesuai Permen PU Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan & Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kawasan perkotaan adalah 30%. Kondisi faktualnya RTH Jakarta saja pada tahun 2023 hanya 5.2%.
Di sisi lain, pembiaran pembangunan fisik di bantaran sungai serta laju pembangunan fisik kota yang kurang terkendali menyebabkan topografi tanah di area hilir berubah drastis menjadi lautan beton dan secara hidrologis menghambat pergerakan alami air. Kondisi ini diperparah dengan adanya malpraktek tata ruang di Kawasan Hulu yang menyebabkan daerah resapan air terganggu dan air bah langsung mengalir ke wilayah hilir.
Untuk mengurangi potensi banjir karena faktor alam akibat curah hujan tinggi dapat dilakukan rekayasa cuaca. Sejalan dengan hal tersebut diperlukan perawatan berkelanjutan wilayah konservasi air eksisting seperti halnya rawa, waduk, situ, danau, bendungan di Wilayah Hilir dan Kawasan Hulu, serta pengembangan area tangkapan air pada jalur sungai yang melewati Megapolitan Jakarta. Rencana KemenPU membangunan 8 kolam retensi di 3 sungai, yakni Cikeas, Cileungsi dan Bekasi perlu direalisasikan segera. Bendungan Ciawi dan Bendungan Sukamahi, yang berfungsi mengurangi banjir saat hujan ternyata belum mampu mencegah banjir kiriman. Untuk mengatasinya, perlu percepatan pembangunan Bendungan Cibeet dan Cijurey di Jonggol guna mengurangi banjir di hilir sungai Citarum, terutama di wilayah Karawang dan Bekasi. Sejalan dengan ini, normalisasi sungai yang melewati wilayah Megapolitan Jakarta juga dilakukan.
Konsep Kanal Banjir secara sistematis didesain Hendrik Van Breen pada 1913 untuk pengendalian air dari hulu ke Hilir dan sekaligus menjadi sistem makro drainase kota untuk mengurangi genangan dalam kota dengan mengalirkannya ke laut. Konsep ini diteruskan implementasinya dalam pengembangan Saluran Kanal Banjir Barat (KBB) dan Kanal Banjir Timur (KBT).
KBB bertujuan melindungi area Batavia, Menteng, Gambir, Senen, Harmoni, Kota Pasar Ikan dan Priok. Sementara itu, KBT yang dibangun sejak tahun 2003 disiapkan dengan tujuan untuk melindungi wilayah Jakarta Timur & Jakarta Utara. Selain mengurangi potensi banjir di 13 kawasan, melindungi permukiman, kawasan industri dan pergudangan di Jakarta bagian timur, KBT juga ditujukan sebagai prasarana konservasi air. Termasuk didalamnya, dibangun sodetan yang menyambungkan Sungai Ciliwung dan KBT. Untuk mengoptimalkan fungsi KBB dan KBT sebagai penampung aliran sungai diperlukan langkah berkelanjutan pemeliharaan infrastuktur dan pembersihan sumbatatan sedimentasi/sampah.
Untuk menyelaraskan langkah di atas, diperlukan langkah sistemik dan terintegrasi mengurangi potensi banjir yang disebabkan oleh faktor non alam. Penguatan Tata Ruang di Kawasan Hulu dan Hilir menjadi agenda utama. Tata Ruang Kawasan Hulu ditertibkan agar laju kerusakan area konservasi air dapat dikurangi dan sejalan dengan hal tersebut dilakukan upaya reboisasi di area resapan air.
Sementara itu, Tataguna Lahan di Area Hilir diupayakan agar 30%-nya dimanfaatkan untuk RTH. Perijinan pembangunan fisik dikendalikan dan Rencana Induk Sistem Drainase Kota terutama di wilayah hilir wajib diterapkan. Hal penting lain menertibkan bangunan illegal di bantaran sungai dan daerah rawan banjir serta mengedukasi masyarakat agar serta turut melestarikan sungai/kanal dengan tidak membuang sampah sembarangan. Paralel dengan langkah diatas, percepatan pembangunan & pemanfaatan Tanggul Laut Raksasa Jakarta (Giant Sea Wall) di Wilayah pesisir Jakarta juga dibutuhkan segera.
Jika langkah penanganan banjir yang disebabkan faktor alam dan non alam diatas dilakukan secara simultan dan berkelanjutan, niscaya Bencana Banjir Megapolitan Jakarta dapat tertangani dengan baik.
Referensi:
- Adhi Ksp, Robert. Banjir Kanal Timur: Karya Anak Bangsa, Grasindo, Jakarta 2010.
- Gunawan, Restu. Gagalnya Sistem Kanal:Pengendalian Banjir Jakarta dari masa ke masa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.
- Environmental Brief, Publication: Mengatasi Penurunan Tanah dan Krisis Air di Jakarta – Environmental Policy Update Volume 1 No 3, Jakarta, LPEM FEB UI, 2024.
*Pengamat Tata Kota & Wilayah
Direktur Indonesian Center for Urban and Regional Studies (ICURS) Alumni School of Planning, The University of Birmingham, Inggris dan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) Institut Teknologi Bandung (ITB)