“Pasal 282 dan Pasal 281 RUU KUHP haruslah didrop/dikeluarkan dari RUU KUHP. Lagi pula Advokat yang merupakan garda terdepan dalam menegakkan hukum dan keadilan serta penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak diberikan wewenang seperti penegak hukum lainnya, misalnya hak menahan, mensita dan lainnya. Sehingga Advokat dalam RUU-KUHP justru seyogianya mendapat perlindungan dalam menjalankan tugasnya, bukan membuat ruang untuk dikriminalisasi.”
Oleh: Jhon S.E Panggabean, S.H.,M.H.
Gagasan yang melahirkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) sudah dimulai sejak tahun 1963 saat Seminar Hukum Nasional I di Semarang. Gagasan lahir, antara lain karena selain KUHP yang dipakai produk pemerintahan kolonial, sejumlah pasal-pasalnya sudah perlu aturan dan rumusan baru termasuk sejumlah delik yang baru. Adapun sumber KUHP adalah hukum Belanda, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 Nomor 732 dan mulai berlaku di Hindia Belanda sejak 1 Januari 1918. Setelah Kemerdekaan RI, KUHP berlaku di Jawa dan Bali sejak Februari tahun 1946 berdasarkan UU No.1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana.
Kemudian KUHP diberlakukan di seluruh wilayah di Indonesia mulai 20 September 1958 berdasarkan UU No.73 Tahun 1958. Oleh karenanya RUU KUHP ini sudah sejak lama dibahas, bahkan September tahun 2019 RUU KUHP nyaris disahkan. Namun karena banyaknya dorongan atau protes masyarakat terutama dari mahasiswa untuk membatalkan pengesahan beberapa undang-undang termasuk RUU KUHP dengan alasan masih ada beberapa pasal-pasal yang kontroversial, maka saat itu Presiden RI meminta kepada DPR untuk menunda pengesahan RUU KUHP. DPR akhirnya pada tanggal 24 September 2019 menunda pengesahan RUU KUHP. Apabila dikaji menyangkut profesi Advokat, sedikitnya ada 2 Pasal yang sangat krusial bagi Advokat karena sangat berpotensi mengkriminalisasi profesi Advokat.
Adapun pasal 282 RUU KUHP selengkapnya berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V Advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara curang:
- mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan klien, padahal mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan pihak kliennya, atau
- mempengaruhi panitera, panitera pengganti, jurusita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara dengan/atau tanpa imbalan.”
Dalam penjelasan Pasal 282 ini disebutkan bahwa ketentuan ini ditujukan kepada Advokat yang secara curang merugikan kliennya atau meminta kliennya menyuap pihak-pihak yang terkait dengan proses peradilan.
Pasal 282 tersebut adalah tentang perbuatan curang oleh Advokat, namun penjabarannya tidak jelas, multi tafsir, padahal suatu pasal tindak pidana perumusannya harus jelas (Lex Certa) dan rumusan pidana harus dimaknai tegas tanpa adanya analogi (Lex stricta), serta pasal tersebut menjerat Advokat karena kalimat perbuatan dapat merugikan klien jelas sangat sumir. Jadi pasal ini dapat digunakan untuk mengkriminalisasi Advokat. Apalagi dalam perkara perdata, Hakim selalu meminta agar Kuasa Hukum (Advokat) mengupayakan perdamaian diantara para pihak baik sejak acara mediasi maupun dalam proses perkara berjalan sehingga Advokat bisa saling berhubungan bahkan membuat kesepakatan. Sehingga jika dikemudian hari ada masalah, maka pasal ini rentan digunakan untuk mengkriminalisasi Advokat.
Bahwa rumusan Pasal 282 RUU KUHP tersebut juga jelas sangat merugikan pihak Advokat, karena memberikan stigma “Advokat Curang”. Pasal ini juga sangat tendensius terhadap Advokat dan pasal ini sangat dipertanyakan, mengapa hanya mengatur perbuatan curang yang ditujukan kepada Advokat selaku penegak hukum tanpa menyebut atau membahas perbuatan penegak hukum lainnya?. Bagaimana misalnya apabila yang melakukan perbuatan curang tersebut antara lain Hakim, Jaksa dan Panitera, polisi?. Sehingga pasal ini juga merupakan bentuk diskriminalisasi dan bertentangan dengan asas persamaan di muka hukum (equality before the law) terutama di antara penegak hukum. Pasal 282 ini bertentangan dengan UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang dalam penjelasan Pasal 5 Ayat (1) menyatakan “Yang dimaksud Advokat sebagai penegak hukum adalah Advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakan hukum dan keadilan”. Lagi pula UU Advokat sudah mengatur bagaimana landasan atau aturan tentang seseorang Advokat dalam membela kliennya, dimana Advokat yang menjadi kuasa hukum melakukan kewajibannya harus berlandasan serta tunduk kepada UU Advokat dan kode etik. Karena itu, Pasal 282 point a tersebut juga tidak bisa dikatakan masuk kepada perilaku yang dapat dipidana, tetapi masuk di dalam kode etik Advokat, karena secara kode etik Advokat memang harus membela kliennya dan tak dibenarkan Advokat kerjasama dengan pihak lawan yang merugikan klien. Sedangkan Pasal 282 point b juga tidak tepat karena penjabaran rumusan tindak pidana yang dimaksud juga tidak jelas. Padahal dalam suatu pasal tindak pidana perumusannya haruslah jelas sebagaimana uraian di atas, apalagi pasal tersebut hanya menjerat salah satu unsur penegak hukum yakni Advokat sendiri.
Demikian juga pasal 282 RUU bagian b ini sama sekali tidak dijelaskan tentang dipengaruhi perihal apa, tidak jelas. Kalau seandainya pun dipengaruhi untuk membelokkan kebenaran dan keadilan dengan memberikan uang (suap) terhadap hal ini sudah ada Pasal tersendiri yang mengatur tentang suap atau korupsi yang pengaturannya sudah jelas diatur di dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku terhadap baik penyuap maupun yang menerima suap yang selama ini telah diterapkan kepada siapapun termasuk kepada Advokat, Hakim, termasuk Hakim konstitusi, Jaksa, Polisi, Panitera dan Pejabat-pejabat Pemerintahan dan ancaman hukumannya juga lebih berat. Pasal 282 ini tidak tepat lagi dimasukan dalam RUU KUHP, bahkan berkelebihan, sehingga haruslah di drop/dikeluarkan dari RUU KUHP.
Demikian juga pasal 281 RUU KUHP berbunyi : “bahwa setiap orang akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, jika:
- Tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
- Bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau
- Secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
Pasal 281 ini juga rentan untuk mengkriminalisasi Advokat yang sehari-harinya melakukan persidangan dan kontradiktif dengan Pasal 14 dan Pasal 15 UU Advokat.
Pasal 14 menyatakan: ”Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.”
Sedangkan Pasal 15 menyatakan: ”Advokat bebas dalam menjalankan tugas dan profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang teguh pada kode etik profesi dan peraturan perudang-undangan”.
Demikian juga dalam menjalankan tugas profesinya, Advokat tidak dapat dituntut secara pidana dan digugat secara perdata dalam menjalankan tugas profesinya ini merupakan hak imunitas Advokat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU Advokat, jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No.26/PUU-XI/2013 yang bunyinya: “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun diluar sidang pengadilan”.
Pasal 281 ini juga sangat tidak relevan terutama point b yang menyatakan: ”Bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan”. Kalau dibaca secara gramatikal, kata sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan tentu ini ditujukan kepada pelaku atau pelaksana persidangan. Kalau dalam sidang perdata ada Advokat Penggugat dan Tergugat, Hakim, serta Panitera, sedangkan jika sidang Pidana ada Advokat dan Jaksa serta Panitera. Jadi, kenapa harus disebutkan sifat tidak memihak hakim?. Pasal ini sangat tidak jelas rumusannya dan tidak relevan sehingga harus dikeluarkan.
Bahkan butir C Pasal 281 RUU KUHP jelas bertentangan dengan sistem peradilan kita yaitu yang terbuka untuk umum (open baarheid). Sehingga tentang publikasi yang selama ini telah berlangsung adalah sangat tepat dan diperlukan, karena itu merupakan hak orang untuk mendapatkan informasi, kecuali dalam perkara antara lain perkara kesusilaan, perceraian, peradilan anak dan pemeriksaan saksi (live) dilarang. Lagipula jika tujuan pembatasan publikasi untuk mencegah mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam persidangan, ini juga tidak tepat, karena hakim itu bersifat independen (bebas dari pengaruh dari manapun dalam memutuskan suatu perkara), berdasarkan bukti dan keyakinannya. Jadi keyakinan hakim itu tidaklah dipengaruhi oleh pemberitaan yang ada di media. Justru adanya pemberitaan dapat mempertajam hakim untuk membuat suatu putusan berdasarkan keadilan di dalam masyarakat. Pasal ini juga jelas menapikan atau bertentangan dengan UU Pers, karena wartawan berhak mendapatkan berita dari Advokat, dan Advokat berhak membuat berita atau memberitakan sesuatu proses baik itu di pengadilan maupun di luar pengadilan.
Berdasarkan hal tersebut, kedua pasal tersebut yakni pasal 282 dan pasal 281 RUU KUHP haruslah didrop/dikeluarkan dari RUU KUHP. Lagi pula Advokat yang merupakan garda terdepan dalam menegakkan hukum dan keadilan serta penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak diberikan wewenang seperti penegak hukum lainnya, misalnya hak menahan, mensita dan lainnya. Sehingga Advokat dalam RUU-KUHP justru seyogianya mendapat perlindungan dalam menjalankan tugasnya, bukan membuat ruang untuk dikriminalisasi. Namun sebaliknya memberikan penguatan atas peranan dan fungsinya dalam memperjuangkan hukum dan keadilan serta menegakkan HAM. Menyangkut RUU KUHP ini, para Petinggi Organisasi Advokat sudah protes termasuk Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Suara Advokat Indonesia (SAI) Dr. Juniver Girsang, S.H., M.H., secara tegas dan jelas menyatakan agar Pasal 282 RUU KUHP yang sangat berpotensi mengkriminalisasi Advokat, supaya didrop/dikeluarkan dalam arti tidak perlu dibahas lagi.
Menurut penulis, apabila DPR tetap mempertahankan pasal-pasal tersebut dari RUU, tentu tidak produktif karena mayoritas Advokat di seluruh Indonesia baik secara pribadi maupun secara organisasi akan terus memperjuangkan atau melakukan perlawanan secara hukum agar pasal yang merugikan atau mengkriminalisasi Advokat dihilangkan. Oleh karenanya, dalam hal ini seyogianya DPR dan Pemerintah lebih peka serta menyikapi dengan bijak untuk mengeluarkan pasal-pasal tersebut. Tidak perlulah sampai Advokat lintas organisasi memprotes atau menolak Pasal 282 dan Pasal 281 RUU KUHP seperti yang pernah terjadi pada tahun 2013 para Advokat bersatu, bahkan demo menentang RUU Advokat yang merugikan keberadaan organisasi Advokat, apalagi pasal ini mengancam dan menafikan keberadaan Advokat serta berpotensi mengkriminalisasi Advokat. Pada prinsipnya hukum harus kita tegakkan dan suap menyuap serta korupsi harus kita berantas secara bersama-sama, namun pembuat Undang-undang, DPR dan Pemerintah juga harus adil dalam pembuatan Undang-undang. Kedepan seyogianya DPR dan Pemerintah harus lebih memahami peranan dan kedudukan Advokat sebagai penegak hukum. Sudah saatnya DPR dan Pemerintah mendengarkan Suara Advokat Indonesia agar pasal 282 dan 281 didrop/dikeluarkan dari RUU-KUHP. Semoga.
*Penulis adalah Advokat Senior/Wakil Ketua Umum DPN Peradi SAI.