“Penting untuk dicatat, pasal yang dianggap multitafsir justru jangan dibenturkan dengan tafsir hukum lain yang dapat mempengaruhi keyakinan dan cara pandang aparat penegak hukum.”
Oleh Eko Wahyuanto
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dinilai beberapa kalangan memiliki pasal yang multitafsir, sehingga dalam penerapannya dikhawatirkan dapat menciderai konstruksi penegakan hukum yang pada ujungnya bisa meruntuhkan indeks demokrasi Indonesia secara masif.
Dalam kaitan ini, Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Kapolri, dan Jaksa Agung telah resmi menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Kriteria Implementasi UU ITE pada 23 Juni 2021.
Dengan adanya SKB itu diharapkan penegakan hukum terkait UU ITE tidak menimbulkan multitafsir dan dapat menjamin terwujudnya rasa keadilan masyarakat. Tapi lahirnya SKB tersebut tentu tidak serta merta mampu mengurai benang kusut yang terlanjur melilit persepsi sebagian besar masyarakat terkait undang-undang itu.
Munculnya sejumlah masalah dalam penafsiran UU ITE itu sendiri diduga akibat kurangnya literasi dan sosialisasi pasal-pasal esensial, sehingga membelit anatomi hukum di Indonesia. Maka, di sinilah arti pentingnya dibuat pedoman yang kuat sebagai terjemahan pasal-pasal krusial tersebut, sehingga paradox dan kerumitan hukum dapat diatasi.
Melalui SKB tersebut diharapkan implementasi UU ITE dapat steril dari tafsir ilegal dan argumentasi yang dikutip dari konten-konten berbau hoaks, baik pada tingkat penyidikan maupun penuntutan.
Sementara itu kondisi sosial politik saat ini diibaratkan seperti api dalam sekam, ditandai terjadinya polarisasi masyarakat ke dalam kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Di sisi lain sensitifitas publik dalam menanggapi kesemrawutan konten media, terutama media sosial ditengarai sebagai biang keladi kegaduhan yang terjadi selama ini.
Perhatikan saja, siapa mereka yang berperkara dan menggunakan senjata pasal-pasal UU ITE. Belum lagi ditambah arus deras perkembangan teknologi yang berlangsung sangat cepat dengan segala konsekuensinya, sehingga harus direspons secara cepat pula oleh dunia hukum dan peradilan.
Salah satu solusinya adalah dengan merespons dan mengadaptasi setiap perubahan teknologi dalam aspek penyelenggaraan hukum, sebab tidak mungkin hukum tidak bersinggungan dengan aspek teknologi.
Tentu saja beban berat itu bukan semata tanggungjawab Kementerian Kominfo atau lembaga penegak hukum, tetapi juga menjadi tugas kita semua, termasuk kalangan akademisi untuk membuat terobosan guna memecahkan kagaduhan penegakan hukum dalam kasus-kasus ITE melalui argumentasi ilmiah tentang implementasi pasal-pasal undang-undang itu.
Seperti diketahui ada sejumlah pasal dalam UU ITE yang memiliki celah multitafsir dan berpotensi memunculkan kegaduhan hukum. Selain itu pasal-pasal tersebut dinilai dapat menciptakan ketakutan dan menghambat kebebasan orang untuk berekspresi dan menyampaikan pikiran.
Paling tidak, ada dua pasal yang selama ini menjadi perdebatan. Pertama, pasal 27 ayat 3 yang menyebutkan, melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, membuat diaksesnya dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Kemudian dalam pasal 28 ayat 2 disebutkan, setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu/kelompok berdasarkan SARA.
Kalimat terakhir tersebut dianggap sebagai pasal plastik yang lentur dan multitafsir. Oleh karena itu, wajar jika ada desakan agar revisi UU ITE segera diapresiasi pemerintah.
Revisi UU ITE itu sangat penting, tidak hanya untuk mengubah pasal plastik yang sering menimbulkan multitafsir, tetapi juga akan membangun konstruk baru aturan yang lebih tangguh untuk mengawal ruang digital Indonesia agar selalu bersih, sehat, beretika, dan produktif.
Kegaduhan yang terjadi selama ini juga dikarenakan semakin banyaknya masyarakat yang terlalu sensitif dan begitu gampang saling melapor karena melihat peluang hukum yang longgar dan terbuka.
Lalu imbasnya proses hukum dianggap satu-satunya sandaran untuk mencari keadilan. Meski demikian, sebenarnya pada tahap awal bisa saja para pihak menempuh jalan mediasi untuk saling memahami, mencari titik temu, dan saling memaafkan.
Dalam catatan Amnesty International Indonesia (AII), sepanjang tahun 2021 lalu terdapat 84 kasus pelanggaran berekspresi yang dijerat pasal-pasal UU ITE, dengan total 98 korban dipidanakan.
Dari banyaknya jerat hukum yang berhubungan dengan UU ITE itu muncul kritik pedas bahwa aturan ini tidak boleh menjadi pisau bermata dua dan diskriminatif, tajam kepada pengkritik atau lawan politik, tetapi tumpul kepada para pendukung pemerintah.
Dalam ruang demokrasi kritik justru menjadi check and balance yang amat diperlukan, sehingga keberadaan kelompok yang berseberangan diperlukan sebagai alat kontrol bagi tumbuh-kembangnya demokrasi.
Masyarakat juga diharapkan tidak menggunakan UU ITE sebagai pisau tajam dalam mencari keadilan yang ujungnya justru menimbulkan rentetan panjang rasa ketidakadilan.
Oleh karena itu perlu diambil langkah-langkah agar ketentuan hukum itu dapat diterjemahkan dan diinterpretasikan dalam pasal-pasal yang kuat, terutama pada pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2 yang juga sudah berkali-kali diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Saat ini yang diperlukan adalah pedoman interpretasi baku agar pelaksanaan UU ITE oleh aparat penegak hukum, baik aparat penegak hukum di ruang fisik dalam hal ini Kepolisian RI dan Kejaksaan maupun di ruang digital oleh Kominfo dapat dilakukan dengan baik.
Permasalahan lain yang harus mendapat perhatian serius adalah penerapan UU ITE dari sisi penegakan hukumnya, baik pada tataran penyelidikan, penyidikan, maupun pada tahap penetapan putusan pengadilan.
Aparat penegak hukum harus memiliki kebijaksanaan dalam menghadapi problematika hukum di lapangan, khususnya peran hakim sebagai ujung tombak perwujudan keadilan melalui putusannya.
Dalam kaitan ini pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan: “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Hakim itu sendiri bukanlah corong undang-undang. Hakim adalah corong kepatutan, keadilan, kepentingan umum, dan ketertiban umum. Dalam konteks inilah perlu adanya rumusan soal keharusan hakim memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Penjelasan Pasal 5 ayat (1) itu menyebutkan bahwa adanya ketentuan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Dalam hubungan ini mantan Hakim Agung Bismar Siregar pernah mengemukakan bahwa “Bila si hakim bersifat kaku dan mengutamakan penerapan kepastian hukum dari keadilan, langsung atau bukan, ia termasuk pemerkosa hukum yang berkeadilan”.
Dalam konteks ini pula para ahli hukum mengetahui bahwa undang-undang tidak akan pernah lengkap. Disitulah letak peran hakim untuk menyesuaikan peraturan undang-undang dengan kenyataan yang berlaku dalam masyarakat agar dapat diambil keputusan yang sungguh-sungguh adil sesuai tujuan hukum itu sendiri.
Bagaimanapun, khusus dalam kasus UU ITE, jalan revisi harus ditempuh, terutama terhadap dua pasal yang terus mengundang pro kontra itu agar problem terkait masalah hukum yang membentang di depan dapat diantisipasi dengan mengedepankan aspek perlindungan dan keadilan.
Dengan demikian materi revisi harus dipersiapkan dengan matang agar jangan sampai setelah melangkah maju pemerintah justru tidak memiliki bahan yang komphrehensif.
Kementerian Kominfo sendiri menilai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sangat konstruktif dan strategis mengingat Indonesia saat ini sedang melakukan akselerasi transformasi digital.
Pemanfaatan ruang digital akan semakin massif di semua lini, sehingga dibutuhkan payung hukum yang betul-betul kuat dan legitimet. Maka, semakin disadari perlunya upaya untuk memperkuat posisi hukum dalam pemanfaatan ruang digital untuk kemaslahatan masyarakat.
Di sisi lain, dalam rangka mendukung upaya lembaga yudikatif serta kementerian/lembaga dalam membuat pedoman intepretasi resmi terhadap UU ITE, maka penting dilakukan upaya selektif dan verifikatif dalam implementasi penegakan hukum terkait undang-undang itu.
Dalam kaitan ini, ke depan harus dipikirkan adanya tafsir baru tentang upaya-upaya mediasi dalam jalur damai, sehingga energi bangsa tidak terkuras untuk hal-hal yang kurang produktif.
Dalam hubungan ini pula kiranya perlu dilakukan program kegiatan literasi hukum dan sosialisasi secara menyeluruh agar jangan sampai semua persoalan dimasukkan ke keranjang hukum.
Sebab, ada adagium hukum yang menyebutkan, begitu sebuah aturan diundangkan menjadi satu undang-undang, maka seluruh rakyat dianggap sudah mengerti dan memahami undang-undang tersebut.
Kuncinya adalah pada bagaimana membuat masyarakat “melek hukum”, dan ini menjadi penting untuk dilakukan dengan melibatkan seluruh komponen bangsa, termasuk aparat penegak hukum itu sendiri.
Poin pentingnya ialah adanya upaya mengedukasi publik agar mereka memahami konten-konten dalam menginterpretasikan pasal-pasal yang dianggap kontroversial, sambil menunggu diakukannya revisi undang-undang tersebut.
Penting untuk dicatat, pasal yang dianggap multitafsir justru jangan dibenturkan dengan tafsir hukum lain yang dapat mempengaruhi keyakinan dan cara pandang aparat penegak hukum.
Maka, perlu pula kiranya dilakukan benchmarking terhadap negara-negara lain, terutama menyangkut ketentuan-ketentuan yang terkait dengan hukuman badan dan kepidanaan, sehingga UU ITE hidup dalam tatanan hukum di Indonesia secara berkuailtas dan bermartabat.
*Penulis, Eko Wahyuanto adalah Analis Kebijakan Ahli Madya Kominfo