Opini  

Soeharto: Pahlawan dan Bapak Pembangunan Indonesia

Soal TAP MPR, OC Kaligis Ungkap Fakta Saat Bela Presiden Soeharto.
OC Kaligis dan Presiden Soeharto di Cendana, Jakarta, pada tahun 1998/ (Foto:Dok.Pribadi)

“Tulisan ini ditujukan bagi mereka yang terus-menerus memfitnah Pak Soeharto, dengan harapan agar yang kurang memahami kiprah beliau dapat lebih bijak dan berhenti menistakan sosok yang telah berjasa besar bagi bangsa ini.”

Oleh: Prof. Otto Cornelis Kaligis

Sudah sejak Orde Reformasi, pemberian gelar pahlawan bagi Presiden Soeharto memicu perdebatan yang tak kunjung usai, namun sebagai saksi sejarah dan pengamat hukum, saya meyakini bahwa jasa beliau dalam membangun fondasi Indonesia modern tidak dapat disangkal.

Di bawah kepemimpinannya, bangsa ini keluar dari keterpurukan ekonomi, mencapai swasembada pangan, membangun infrastruktur nasional secara masif, serta menciptakan stabilitas politik yang memungkinkan kemajuan di berbagai sektor.

Meskipun tak luput dari kekurangan, sejarah yang adil harus mampu menilai secara utuh, dan dalam konteks tersebut, layak kiranya Pak Harto dihargai sebagai Pahlawan dan Bapak Pembangunan Indonesia.

Bagi yang kontra mengajukan alasan bahwa Pemerintahan Pak Harto, korup tanpa adanya bukti mengenai tuduhan tersebut.

Di era Orde Reformasi ini, korupsi bukannya padam, malah makin galak?  .

Bahkan, harian Kompas menjadikan kasus korupsi sebagai berita utama yang terjadi mulai dari pengadilan, oknum polisi dan kalangan pemerintahan.

Berita penangkapan koruptor oleh Kejaksaan, makin marak, dan hampir setiap saat kejaksaan berhasil menjaring para koruptor.

Bahkan dalam operasi tersebut, tertangkap seorang pejabat Mahkamah Agung yang kedapatan menyimpan uang hasil korupsi sebesar Rp920 miliar serta emas seberat 51 kilogram.

Sejujurnya, jika menelusuri korupsi di era Reformasi serta gejolak-gejolak sosial seperti maraknya premanisme dan hujatan-hujatan terhadap Presiden Jokowi dan Gibran yang dibungkus atas nama kebebasan berpendapat, namun sering kali sudah menjelma menjadi makian yang tidak beradab dan penghinaan terhadap pemimpin negara. Tidak heran jika banyak yang mengatakan bahwa pemerintahan Soeharto terasa lebih baik, lebih tertib, dan lebih beradab.

Barisan-barisan peradilan jalanan, seperti dalam kasus “ijazah palsu” yang terus-menerus dikumandangkan oleh media, seolah mengalahkan kewenangan dan integritas dunia peradilan yang seharusnya menjadi tempat penyelesaian hukum yang sah.

Mereka hanya pandai melontarkan kritik, tanpa disertai konsep pembangunan yang jelas untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik.

Semua kekacauan politik di era Reformasi menyebabkan tidak heran jika ada yang berpendapat bahwa era Soeharto, dengan konsep pembangunan melalui tujuh Pelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang dirancang matang setelah berdiskusi dengan para menteri terkait, merupakan masa yang jauh lebih baik, lebih aman, dan bebas dari premanisme.

Di era Pak Harto, premanisme ditindak tegas, dan LSM-LSM yang hanya bertujuan mengadu domba serta menimbulkan kekacauan tidak diberi ruang untuk bergerak.

Itu sebabnya, dalam setiap pidato pertanggungjawaban Presiden Soeharto pada tanggal 16 Agustus, laporan tersebut selalu diterima secara bulat oleh DPR maupun MPR

Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa pada tahun 1998, dengan penuh kesadaran, Pak Harto bersedia mengundurkan diri demi menjaga keutuhan bangsa dan mencegah terjadinya pertumpahan darah di tengah situasi politik yang memanas.

Saya, sebagai salah seorang yang dekat dengan Pak Harto dan sejak ditunjuk menjadi salah satu pengacaranya, secara langsung mengetahui alasan pengunduran dirinya. Beliau memilih mundur untuk menghindari pertumpahan darah mahasiswa pendemo yang menuntut agar beliau turun, meskipun secara konstitusional beliau telah kembali ditunjuk oleh rakyat melalui DPR/MPR.

Pak Harto dikriminalisasi melalui kasus-kasus terkait Mobil Nasional dan yayasan-yayasan yang didirikannya demi kepentingan rakyat.

Yayasan-yayasan tersebut antara lain berhasil menyumbangkan sekitar 900 masjid di seluruh Indonesia, belum lagi pembangunan rumah sakit, pemberian beasiswa, serta berbagai usaha sosial lainnya, termasuk karya nyata Pak Harto di bidang pertanian.

Bahkan di era pemerintahan Pak Harto, kebutuhan sandang dan pangan terpenuhi dengan baik, inflasi berhasil ditekan, dan Pak Harto diakui sebagai pemimpin negara berkembang atau negara dunia ketiga. Indonesia pun sangat dihargai di mata dunia.

BACA JUGA  Kenapa "Publisher Right" Platform Digital Sepatutnya Ditolak Masyarakat Pers?

Pada masa itu, tidak terjadi impor beras, dan kurs dolar Amerika Serikat pada tahun 1971 adalah Rp 420 per 1 USD.

Saya ke USA tanpa visa, juga berlaku untuk Eropa dan Australia.

Selanjutnya, Yayasan Supersemar bergerak di bidang pendidikan dan berhasil memberikan beasiswa kepada banyak rakyat, sehingga sejumlah penerimanya berhasil meraih gelar mulai dari sarjana hingga profesor.

Presiden Soeharto juga menggalakkan program transmigrasi serta membangun berbagai fasilitas kesehatan, seperti Rumah Sakit Harapan Kita dan Rumah Sakit Kanker.

Yayasan Dana Abadi Karya Bakti (DAKAB) fokus pada bidang social, khususnya pendidikan dan Kemanusiaan.

Kriminalisasi terhadap Pak Harto bermula dari berita utama Majalah Time yang menuduh beliau melakukan korupsi, meskipun tanpa disertai bukti.

Berikut adalah hasil pemeriksaan Pak Harto oleh pihak Kejaksaan saat beliau diperiksa di Kejaksaan Tinggi DKI pada tahun 1998:

1. Pendahuluan. Pemeriksaan Wawancara oleh Jaksa Agung Muda.

2. Panggilan kepada Pak Harto dibuat dalam rangka penyelidikan.

3. Pemeriksaan terkait dugaan tindak pidana korupsi mencakup antara lain penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang dalam pemberian fasilitas kredit, bea masuk, dan PPn BM kepada PT Timor Putra Nasional, serta penyimpangan dana negara yang dialokasikan untuk yayasan-yayasan tertentu.

 

4. Terbukti bahwa Pak Harto diperiksa bukan berdasarkan dasar Pro Justitia, melainkan hanya melalui wawancara sebagaimana tercantum dalam Berita Acara Wawancara tanggal 9 Desember 1998 yang berlangsung di Kantor Kejaksaan Tinggi Kuningan, Jakarta

5. Berita Acara Wawancara terhadap Pak Harto dibuat pada tanggal 9 Desember 1998 oleh tiga Jaksa Agung Muda, yaitu Saudara Antonius Sujata, SH (Jampidsus), Ramelan, SH (Jampidum), dan Syamsu Djalaludin, SH (Jam Intel).

6. Pertanyaan yang harus dijawab oleh Pak Harto terdiri dari 35 Pertanyaan wawancara.

7. Dimulai dengan pertanyaan apakah Pak Harto pernah mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1996 dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1996?

8. Pak Harto menjawab secara panjang lebar dengan menjelaskan latar belakang lahirnya Keppres dan Inpres tersebut: “Ini merupakan perjuangan bangsa kita untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada bangsa lain dan mampu bersaing dengan negara-negara lain. Semakin besar industri kita, semakin banyak lapangan kerja yang terserap, dan sangat penting bahan mentah hingga bahan baku yang kita miliki dapat digunakan sendiri.”

9. Baik Keppres maupun Inpres, proses penerbitannya melalui pengecekan terlebih dahulu di Sekretariat Negara, dan setelah dipastikan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, barulah dokumen tersebut dikeluarkan dan ditandatangani oleh Presiden; dengan demikian, proses ini tidak dilakukan secara langsung oleh Presiden sendiri

10. Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1996 dikeluarkan berdasarkan koordinasi dengan Menteri Perindustrian dan Perdagangan serta Menteri Penanaman Modal, dengan tujuan segera mewujudkan pembangunan Industri Mobil Nasional yang memenuhi unsur-unsur berikut:
a. Menggunakan merek yang diciptakan sendiri,
b. Diproduksi di dalam negeri,
c. Menggunakan komponen buatan dalam negeri.

11. Ada 18 pertanyaan mengenai Mobil Nasional, yang dijawab secara rinci oleh Pak Harto.

12. Pada pertanyaan nomor 19 hingga nomor 35, fokus utama adalah mengenai berbagai yayasan, yaitu Yayasan Super Semar Dharmais, Dakab, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Sejahtera Mandiri, Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Trikora.

13. Semua pertanyaan mengenai yayasan dijawab dengan rinci oleh Pak Harto, dan jawaban tersebut telah disampaikan dalam berbagai kesempatan sebelumnya. Bahkan, dalam pidato pertanggungjawaban beliau setiap tanggal 16 Agustus menjelang Hari Proklamasi Kemerdekaan RI, Pak Harto secara terbuka menyampaikan hal tersebut di hadapan DPR/MPR.

14. Surat Perintah Penghentian Perkara Pidana Pak Harto.

15. Kurang lebih setahun setelah Berita Acara Wawancara, tepatnya pada tanggal 11 Oktober 1999, Jaksa Agung Republik Indonesia mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Nomor PRIN-081/JA/10/1999 yang berjudul “Untuk Keadilan.” (Sebagai catatan, salah satu yayasan yang menjadi bendahara adalah Yayasan yang dipimpin oleh Bapak Laksamana Muda TNI Sukarton Marmosujono, yang juga menjabat sebagai Jaksa Agung pada Kabinet Pembangunan V RI).

BACA JUGA  OC Kaligis Buka Suara Soal Pemberitaan Kasus Garuda

16. Pertimbangan SP 3 tersebut adalah berdasarkan prinsip praduga tak bersalah dan penghormatan hak azasi manusia, Bapak H.M. Soeharto belum terbukti melakukan perbuatan pidana.

17. Memang tidak terdapat cukup bukti untuk memenuhi unsur “melawan hukum” dan “merugikan keuangan negara serta perekonomian negara” sebagaimana dipersangkakan dalam Pasal 1 ayat (1) sub a, maupun unsur “penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” serta unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, sehingga semua unsur tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum.

18. Perkara Pak Harto dibuka kembali, sekalipun kondisinya sakit, tidak lagi dapat berkomunikasi.

19. Meski Pak Harto telah mengalami kerusakan otak permanen akibat stroke, desakan dari berbagai LSM memaksa agar Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) tersebut dibatalkan dan proses hukum kembali dilanjutkan.

20. Pemeriksaan sebagai tersangka pada tanggal 3 April 2000, yang berlangsung di Jalan Cendana, Jakarta Pusat, oleh tim Jaksa Penyidik yang dipimpin Saudara Patuan Siahaan, SH, dan rekan-rekannya, dihentikan oleh tim dokter Pak Harto, yaitu Dr. Teguh A.S. Ranakusuma beserta tim dokter RSCM yang dipimpin Dr. Supardi Sudibyo, saat Pak Harto berusia 79 tahun.

21. Jawaban Pak Harto pada nomor 8:
“Pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh tersangka saat dilakukan pemeriksaan oleh Tim Dokter RSCM atas permintaan penyidik. Hasil pemeriksaan menunjukkan:

a. Tekanan darah tersangka meningkat melewati batas toleransi yang ditentukan oleh Tim Dokter RSCM,

b. Pemeriksaan jasmani dan rekaman jantung (EKG) melebihi batas toleransi yang ditetapkan oleh Tim Dokter RSCM.

Berdasarkan kondisi tersebut, Tim Dokter RSCM menyimpulkan bahwa pemeriksaan terhadap tersangka H.M. Soeharto pada hari ini tidak dapat dilanjutkan.”

22. Pada pemeriksaan terhadap Pak Harto tanggal 3 April 2000, ketika beliau telah menderita kerusakan otak permanen (Permanent Brain Damage), dibuat catatan sebagai berikut: “Jika memperhatikan berkas perkara yang akan diuji kebenarannya, pemeriksaan yang dimaksud adalah saat Pak Harto sakit, di mana semua jawaban beliau berupa ‘tidak ingat’ atau ‘tidak tahu’, berbeda dengan saat pemeriksaan dalam Berita Acara Wawancara sebelumnya.”

23. Banyak orang tidak memahami mengapa jawaban Pak Harto seperti itu, pada saat itu, pemeriksaan oleh penyidik tampak terburu-buru, seolah dikejar target agar Jaksa Agung Marzuki Darusman, yang diangkat oleh Presiden Gus Dur, dapat segera mengajukan Pak Harto ke pengadilan.

24. Kami, para pengacara, telah memprotes bahwa dalam kondisi Permantent brain damage (kerusakan otak permanen), Pak Harto tidak mungkin mampu berkomunikasi; namun, protes kami itu dijawab oleh pemeriksa atau penyidik dengan pernyataan, “Ini hanyalah sekadar proforma.”

25. Dalam seluruh Berita Acara Pemeriksaan (BAP) setelah Pak Harto jatuh sakit, dengan jelas tercatat bahwa beliau sama sekali tidak mampu berkomunikasi.

26. Akhirnya, kami memperoleh Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang secara jelas menggambarkan ketidakmampuan Pak Harto dalam berkomunikasi.

27. Kriminalisasi. Pelanggaran Hak Azasi.

28. Berangkat ke Geneve Swiss menemui Komisi Hak Asasi Manusia

29. Kriminalisasi dan pelanggaran HAM dimana Pak Harto, sekalipun sakit dan tidak mampu berkomunikasi dengan baik, menyebabkan keluarga memerintahkan saya untuk berangkat ke Jenewa Swiss ke Komisi Hak Asasi Manusia.

30. Sebelum berangkat ke Jenewa, Swiss, pada tanggal 26 Mei 2000, saya terlebih dahulu mengirim surat kepada High Commissioner for Human Rights/Center for Human Rights

BACA JUGA  Surati Puan Maharani, OC Kaligis Beberkan Bukti Ombudsman dan Jaksa Agung Lindungi Novel Baswedan

31. Inti surat : “It is commonly agreed that everyone charged with a criminal offence shall be presumed innocence until proved guilty according to law.”

32. Although Mr. Soeharto is not in healthy condition and really sick because of suffering from Aphasia, absence or impairment of the ability to communicate through speech, writing or sign due to dysfunction of brain centers. It is considered to be complete or total when both sensory and motor areas are involved. As evidenced from medical record, he was forced to be examined based on political reasons.”

33. Pada tanggal 12 Juni 2000, Pak Harto memberikan kuasa kepada saya, Prof. Indriyanto Seno Adji, dan Juan Felix Tampubolon untuk berangkat ke Jenewa guna menemui pejabat tinggi Hak Asasi Manusia serta menyampaikan laporan pelanggaran Hak Asasi yang diduga dilakukan oleh Jaksa Agung terhadap Pak Harto.

34. Di Komisi Hak Asasi Manusia di Jenewa, kami kembali menjelaskan bahwa meskipun Pak Harto sedang sakit dan tidak mampu berkomunikasi dengan baik, beliau tetap dipaksa untuk menjalani pemeriksaan; akhirnya, para dokter pendamping menyatakan bahwa karena kondisi kesehatannya tersebut, Pak Harto pada saat itu tidak layak untuk diperiksa.

35. Pada tanggal 15 Juni 2000, kami tiba di kantor Human Rights Officer (HRO) di Jenewa dan diterima secara resmi oleh Mrs. Eleanor Solo.

36. Pada kesempatan tersebut, selama kurang lebih satu jam, saya kembali memberikan keterangan mengenai kondisi kesehatan Pak Harto, disertai dengan seluruh bukti yang relevan, khususnya berupa pernyataan dan laporan dari para dokter ahli yang secara langsung menangani dan merawat beliau.

37. Hasil dari pertemuan tersebut, mereka berjanji akan mengirimkan wakilnya ke Indonesia untuk melihat langsung kondisi Pak Soeharto, dan janji itu pun benar-benar mereka penuhi.

38. Setelah bertemu dengan Mrs. Eleanor Solo, kami segera menyampaikan laporan mengenai kunjungan tersebut kepada Duta Besar Republik Indonesia di Jenewa, Swiss

39. Kesimpulan.

40. Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, seluruh hasil perjuangan hukum yang telah kami tempuh pada akhirnya membuahkan keluarnya fatwa dari Mahkamah Hukum, yang pada intinya menyatakan bahwa Pak Soeharto tidak layak untuk diperiksa.

41. Mengapa kami juga berkesimpulan bahwa Pak Harto dikriminalisasi?

42. Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) wawancara yang kemudian diikuti dengan penghentian perkara terhadap Pak Harto, serta ditinjau dari analisa hukum Kejaksaan Agung pada saat menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), tampak jelas bahwa perkara yang menjerat Pak Harto lebih merupakan bentuk kriminalisasi bernuansa politik daripada murni proses penegakan hukum.

43. Sudah sepantasnya, Pak Harto yang dikenal sebagai Bapak Pembangunan, untuk tidak terus menerus dikriminalisasi. Melihat banyaknya bintang jasa Pak Harto, baik nasional maupun Internasional, sudah sepantasnya beliau dinobatkan sebagai Pahlawan.

44. Kami yakin, sebagian besar rakyat yang pernah hidup di era Pak Harto akan sepakat bahwa masa itu ditandai dengan rasa aman, perhatian terhadap kesejahteraan rakyat, minimnya demonstrasi serta makian terhadap para pemimpin, dan yang tak kalah penting, absennya premanisme yang marak seperti sekarang.

45. Tulisan ini ditujukan bagi mereka yang terus-menerus memfitnah Pak Soeharto, dengan harapan agar yang kurang memahami kiprah beliau dapat lebih bijak dan berhenti menistakan sosok yang telah berjasa besar bagi bangsa ini.

*Penulis adalah praktisi hukum senior, pengacara Presiden Soeharto