JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan semua terpidana, termasuk tindak pidana korupsi (Tipikor), yang sedang menjalani masa pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) berhak mendapatkan remisi sebagaimana dijamin UU Pemasyarakatan. Namun, karena MK tidak berwenang mengadili peraturan pemerintah (PP), MK tidak mencabut PP 99 Tahun 2012 yang melarang remisi ke warga binaan perkara Tipikor.
“Adanya syarat-syarat tambahan di luar syarat pokok untuk diberikan remisi kepada narapidana, seharusnya lebih tepat dikonstruksikan sebagai bentuk penghargaan (reward) berupa pemberian hak remisi (tambahan) di luar hak hukum yang telah diberikan berdasarkan UU 12/2015,” kata hakim konstitusi Suhartoyo membacakan pertimbangan MK dalam sidang yang disiarkan channel YouTube MK, Kamis (30/9/2021).
“Berkaitan dengan hal tersebut, sejatinya hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa kecuali. Artinya, berlaku sama bagi semua warga binaan, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan,” ujar Suhartoyo.
Judicial review itu diajukan OC Kaligis, yang sampai saat ini masih menjadi Warga Binaan Lapas Sukamiskin, Bandung. OC Kaligis yang sampai saat ini tidak mendapatkan remisi karena terganjal PP 99 Tahun 2021. Ia pun melayangkan judicial review ke MK.
OC Kaligis pun menggapi putusan MK melalui surat terbuka yang ditulisnya dari Lapas Sukamiskin, Bandung.
Berikut isi surat terbuka yang ditulis OC Kaligis, Selasa (5/10/2021):
Sukamiskin, Selasa, 5 Oktober 2021.
Hal: Remisi untuk semua.
Putusan Mahkamah Konstitusi Erga Omnes. “Kewenangan untuk memberikan remisi adalah menjadi otoritas penuh Lembaga Pemasyarakatan yang dalam tugas pembinaan terhadap warga binaannya tidak bisa diinvervensi oleh lembaga lain, apalagi campur tangan yang justru akan bertolak belakang dengan semangat pembinaan warga binaan.”
Kepada yang sangat saya hormati keluarga media yang menghormati berita cover both side.
Dengan hormat,
Saya Prof. Otto Cornelis Kaligis, sekarang berdomicili hukum sementara di Lapas Kelas Satu Sukamiskin, Bandung, bersama ini hendak memberi beberapa catatan saya, menanggapi polemik putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XIX/2021.
1.Pertama-tama mengapa saya memberi penjelasan mengenai perkara a quo? Karena saya yang mengajukan permohonan tersebut ke Mahkamah Konstitusi, dalam rangka penjuangan saya untuk kepentingan semua para warga binaan, korban tebang pilih.
2. Dalam catatan hukum saya, bila hukum ini dilaksanakan secara tidak tebang pilih, dengan memakai standard penyidikan yang dilakukan oleh KPK, maka Bibit, Chandra Hamzah, Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Novel Baswedan yang semua perkaranya telah dinyatakan lengkap alias P-21 oleh Kejaksaan dan tersangka dugaan korupsi Prof. Denny Indrayana, semua mereka pasti juga telah menikmati hidupnya di penjara.
3. Apalagi untuk masa depan Novel Baswedan, si tersangka kasus dugaan pembunuhan. Mungkin saja kalau Prof. Mahfud MD jadi Presiden, pasti Novel Baswedan diangkat jadi Jaksa Agung. Demikianlah informasi yang tersebar di media.
4. Di saat itu, semua oknum KPK yang perkaranya telah P-21 termasuk tersangka dugaan korupsi Prof. Denny Indrayana, di saat mereka diadili dan divonis bersalah, di saat itu baru mereka sadar apa artinya perlakuan persamaan didepan hukum.
5. Karenanya mereka tidak sepantasnya membuat pernyataan sinis, bahwa kami para warga binaan, tidak sepantasnya untuk mendapatkan remisi dan hak-hak lainnya, sebagaimana diatur dalam pasal 14 Undang undang Nomor 12/1995.
6. Arti Putusan Mahkamah Agung Erga Omnes. Bahwa putusan tersebut berlaku bukan saja bagi para pihak (inter partes), tetapi juga harus ditaati oleh siapapun juga. Putusan tersebut final and binding, putusan final dan mengikat. Artinya bebas dari polemik, apalagi dengan lemparan fitnah, bahwa putusan tersebut melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Asal media tahu, saya tidak pernah merampok uang negara, atau menyuap hakim, untuk putusan saya yang dikalahkan.
7. Selain pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi sebagaimana saya catat di judul surat ini, ada beberapa putusan yang pertimbangannya sejalan dengan putusan MK tersebut di atas.
8. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33 tahun 2016. Intinya wewenang KPK berakhir setelah putusan Inkracht, putusan final dan punya kekuatan hukum mengikat.
9. Putusan Mahkamah Agung Nomor 2368 K/Pid.Sus/2015 dalam perkara terdakwa Muhtar Ependi di halaman 149. Yudex yuris menolak permohonan Jaksa KPK untuk tidak memberi remisi kepada terdakwa Muhtar Ependi. Alasan penolakan Yudex Yuris adalah: Remisi bersifat universal, berlaku bagi semua orang.
10. Beberapa konvensi konvensi PBB yang diakui Indonesia sebagai negara anggota.
11. Kutipan dari The Mandela Rules.Rules 1. Rules of General application. Rules 2: The Present Rules shall be applied .” In order for the principle of non discrimination….the right of Prisioners are required and shall not be regarded as discriminatory.”
12. ICCPR yang Indonesia ratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 tahun 2005. Kutipan dari pasal 26: “Guaranty all persons are equal before the Law. “In respect the Law shall prohibit any discrimination and quarantee to all persons equal and effective against .” Indonesia sebagai Negara Hukum dan sebagai bangsa yang beradat seyogianya harus dan patut menghormati hak hak warga binaan, tanpa diskriminasi.
13. Dari pertimbangan halaman 48 putusan Mahkamah Konstitusi. Persyaratan pemberian remisi dan semua hak warga binaan sebagaimana diatur dalam pasal 14 Undang-undang Pemasyarakatan, tidak boleh dibeda-bedakan, karena hal tersebut merupakan legal right, hak hukum para warga binaan.
14. Pada dasarnya hal yang memberatkan atau meringankan adalah wewenang hakim untuk memutus.
15. Setelah putusan in kracht, wewenang KPK selesai. Selanjutnya pembinaan menjadi ruang lingkup sistim pemasyarakatan yang pelaksanaannya diterapkan berdasarkan azas Pengayoman. Sehingga bila dicampuri oleh lembaga lain termasuk KPK yang dalam prakteknya untuk pemberian remisi harus menunggu rekomendasi KPK, maka pemberian remisi menjadi hilang relevansinya..
16. Kewenangan untuk memberi remisi adalah menjadi otoritas penuh lembaga pemasyarakatan yang dalam tugas pembinaan terhadap warga binaannya tidak bisa diinvervensi oleh lembaga lain, apalagi bentuk campur tangan yang justru akan bertolak belakang dengan semangat pembinaan warga binaan.
17. Sedikit catatan mengenai Kabid Pembinaan di Lapas. Dalam rangka pemberian remisi, Kabid Pembinaan mempunyai otoritas membina. Personalia di Kabid Pembinaan, terdiri dari personalia Lembaga Pemasyarakatan, tanpa personalia dari KPK.
18. Pembinaan didasarkan pada hubungan vertikal, hubungan Pembina dan warga binaan. Lalu bagaimana mungkin KPK memberi rekomendasi, layak tidaknya seorang warga binaan mendapatkan “Reward”, imbalan remisi dan hak hak lainnya dalam rangka pemibinaan, bila personalia KPK tidak duduk sebagai Pembina?
19. Joko Chandra yang baru diputus in kracht, dapat remisi. Lalu apa kriteria berkelakuan baik atau berperilaku buruk sehingga harus mendapatkan “punishment” atau istilah yang lahir di Lapas, yang bersangkutan harus di “Keong”?. Apa mungkin KPK yang menilai kelakuan baik para warga binaan, sedang keseharian hidup para warga binaan, tidak pernah berada dibawah pengawasan KPK?.
20. Banyak warga binaan lainnya yang mendapatkan remisi, serupa dengan remisi yang diperoleh Joko Chandra, tanpa kriteria rekomendasi KPK yang jelas. Warga binaan Nazaruddin, bahkan mendapatkan remisi selama kurang lebih 50 bulan, tanpa komentar KPK.
21. Mengenai otoritas KPK berakhir setelah putusan in kracht, sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 33 tahun 2016 yang dicantumkan dihalaman 37 mengenai berakhirnya otoritas KPK setelah putusan in kracht, putusan akhir yang berkekuatan hukum tetap.. Identik dengan pertimbangan hukum MK Nomor 41 , di halaman 48.
22. Hasil investigasi DPRRI sebagaimana dimuat dalam buku laporan DPR-RI ditahun 2018, dengan tegas menjelaskan di halaman 42,43 bahwa PP 99 tahun 2012 bertentangan dengan sistim peradilan pidana terpadu (The integrated criminal justice system, vide halaman 42 dan 43). Bahkan menurut DPRRI Justice collabolator tidak mempunyai dasar hukum.
23. PP 99/2012 nya Prof. Denny Indrayana lahir secara otoriter, tanpa melalui Dirjen Perundang-undangan untuk pembahasan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi. PP 99/2012 bertentangan dengan undang-undang di atasnya. Dirjen Pemasyarakatan pun yang menguasai masalah-masalah teknis warga binaan, dikesampingkan, tidak dilibatkan untuk memberi masukan mengenai kendala kendala apa yang dihadapai di Lapas.
24. Baik yurisprudensi Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya membenarkan bahwa remisi bersifat universal yang harus dibaerikan tanpa tebang pilih kepada warga binaan. (Vide Putusan Mahkamah Agung tersebut diatas dalam kasus Muhtar Ependi).
25. Konvensi konvensi universal/PBB pun menentang diskrimnasi perlakuan dalam bidang hukum terhadap terpidana/warga binaan, karena diskriminasi perlakuan, bertentangan dengan hak azasi manusia. Hal yang sama sejalan dengan Undang undang dasal 1945, sebagaiman diatur didalam pasal 27 ayat (1) dan 28D ayat (1) UUD 1945.
26. Yang menjadi pertanyaan saya, mengapa rekomendasinya Ombudsman dan Komnas HAM hasil Pengaduan Novel Baswedan didukung Media secara meluas, sedang berita putusan Mahkamah Konstitusi yang memberi remisi secara tanpa tebang pilih, diberitakan secara sinis oleh sebagian media?.
27. Demikianlah sedikit catatan hukum dari saya: Prof. Otto Cornelis Kaligis dari Sukamiskin.
Hormat saya.
Prof. Otto Cornelis Kaligis.
Cc. Yth. Dewan Pers Indonesia.
Cc. Yth. Bapak Menteri Koordinator Politik dan Hukum (MenkoPolhukam) Bapat Prof. Mahfud MD..
Tersangka Kasus Pembunuhan Novel Baswedan Calon “Jaksa Agung”
Cc. Yth Bapak Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly Phd.
Cc. Yth. Bapak KapolRI Jendral Polisi Lystio Sigit Prabowa.
Cc. Yth. Bapak Jaksa Agung RI Bapak SH. DR. H. ST. Burhanuddin SH.MM
Cc. Yth. Semua Para Professor yang paham hukum dan semua pemerhati hukum.
Cc. Pertinggal.(*)