Tanggung Jawab Hukum “Rumah Sakit” dalam Sengketa Layanan Medis

Dr. Najab Khan, SH., MH

Oleh: Dr. Najab Khan, SH.,MH

A. Pendahuluan

Kemenkumham Bali

Pertanggungjawaban Rumah Sakit terhadap pasien dalam hubungan hukum praktik kedokteran dan hukum kesehatan tidak hanya terbatas pada kelalaian/kesalahan tindakan medis dokter atau tenaga kesehatan tetapi pertanggungjawabannya sampai menyentuh “aspek kewajiban hukum Rumah Sakit dalam layanan kesehatan yang merugikan pasien”.

Hal demikian dipengaruhi oleh terbangunnya komitmen atau hubungan hukum pasien dan Rumah Sakit (sebagai subyek hukum) yang memerlukan jaminan kepastian hukum.

Munculnya hak dan kewajiban dalam setiap layanan kesehatan di Rumah Sakit ditandai sejak adanya hubungan hukum atau perbuatan hukum dari para pihak terkait. Hubungan hukum demikian dapat dilihat pada aspek hubungan hak maupun kewajiban antara pasien, dokter dan Rumah Sakit. Hukum kesehatan mengatur, setiap orang berhak atas kesehatan dirinya. Setiap orang punya hak mengakses sumber daya kesehatan yang tersedia, termasuk memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya sejak dilakukan tindakan medis atau tindakan pengobatan atau bahkan sebelum tindakan dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.

Hak-hak lain yang mendapat pengaturan dalam UU Kesehatan/UU Rumah Sakit, antara lain hak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau bagi dirinya. Secara mandiri, setiap orang bertanggungjawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan bagi dirinya. Sebagai kompensasi atas haknya, setiap orang juga berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan sehat baik fisik, biologi maupun sosial.

Dalam layanan kesehatan di Rumah Sakit, hubungan pasien dan Rumah Sakit tercipta sejak mulai terbentuknya ikatan “layanan upaya kesehatan bagi dirinya”. Seseorang atau pasien datang ke Rumah Sakit untuk tujuan mendapatkan upaya pengobatan penyakitnya (termasuk upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan dan pemulihan kesehatan dirinya ). Berangkat dari pengaturan hak kewajiban demikian, Rumah Sakit sebagai sarana layanan kesehatan juga memiliki tanggung jawab.

Memang tidak mudah memahami tanggung jawab Rumah Sakit terhadap pasien jika tidak dibarengi pengetahuan tentang doktrin-doktrin pertanggungjawaban maupun pengetahuan tentang hak dan kewajiban Rumah Sakit terhadap pasien menurut UU Rumah Sakit. Beberapa masalah mengenai tanggung jawab Rumah Sakit yang dapat diperdebatkan menurut UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit maupun UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan atau UU Nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran adalah menyangkut “masalah sejauh mana batas tanggung jawab Rumah Sakit sebagai subyek hukum dalam melaksanakan layanan kesehatan terhadap pasien atau sejauh mana tanggung jawab Rumah Sakit terhadap tindakan medis dokter pada pasien di Rumah Sakit”.

BACA JUGA  Orientasi RSUD Berubah Nama Menjadi Rumah Sehat

B. Masalah

Bagaimana tanggung jawab Rumah Sakit terhadap pasien/keluarga pasien sebagai pihak penerima jasa layanan kesehatan yang menderita kerugian akibat kelalaian/kesalahan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit ?.

C. Kewajiban Rumah Sakit dan hak pasien

Jika ditelisik lebih jauh mengenai hubungan hukum pasien dan Rumah Sakit, selain terikat dalam suatu perikatan upaya layanan kesehatan juga hubungan hukum tersebut mengandung dua aspek perbuatan hukum.

Pertama, mengandung aspek kewajiban dalam layanan kesehatan di Rumah Sakit yang oleh kebanyakan Sarjana Hukum Kesehatan disebut sebagai mengandung hubungan perikatan terapeutik (perjanjian terapeutik).

Kedua, mengandung aspek kewajiban layanan upaya tindakan kedokteran (tindakan medis) oleh dokter atau tenaga kesehatan di Rumah Sakit.

Oleh beberapa Sarjana Hukum Kesehatan, “hubungan upaya tindakan medis dokter terhadap pasien” dipandang sebagai hubungan upaya tindakan medis yang bukan masuk kategori perjanjian terapeutik karena dibuat dan disetujui sepihak oleh pasien, bersifat upaya medis (Inspanning Verbintenis bukan Resultaat Verbintenis) serta membawa kewajiban kepada dokter agar melakukan tindakan medis sesuai SP, SOP dan kebutuhan medis pasien. Hubungan hukum pasien, dokter dan Rumah Sakit selain diatur didalam UU Kesehatan juga diatur didalam UU Rumah Sakit dan UU Praktik Kedokteran. Pengaturan tersebut melahirkan kaidah hak dan kewajiban baik pada Rumah Sakit, dokter maupun pasien sendiri.

Pasal 29 UU Rumah Sakit jelas mengatur kewajiban Rumah Sakit terhadap pasien sehingga melahirkan jaminan perlindungan terhadap hak pasien selama pasien mendapat perawatan atau memperoleh tindakan medis di Rumah Sakit (Pasal 32 UU Rumah Sakit).

Sebaliknya Pasal 31 UU Rumah Sakit juga mengatur kewajiban pasien selama di Rumah Sakit. Kewajiban ini merupakan ketentuan yang berkaitan dengan hak-hak Rumah Sakit dalam menjaga, merawat dan mempertahankan peningkatan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit. Kedua sisi tersebut (sisi hubungan hak maupun kewajiban) membawa pengaruh atau konsekuensi terhadap timbulnya pertanggungjawaban Rumah Sakit terhadap pasien dibidang layanan kesehatan.

BACA JUGA  RSUD dr. Iskak Raih Juara III Tulungagung Bureaucracy Award 2022

Rumah Sakit sebagai sarana layanan kesehatan oleh masyarakat dipersepsikan sebagai tempat/sarana pelayanan bisnis jasa bidang kesehatan. Jika terdapat kelalaian/kesalahan tindakan medis dokter terhadap pasien di Rumah Sakit maka selain dokter/tenaga kesehatan yang dapat diminta pertanggungjawabannya juga Rumah Sakit dapat dituntut bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh kelalaian/kesalahan dokter/tenaga kesehatan. Doktrin pertanggungjawaban model demikian disebut doktrin vicarious liability artinya suatu doktrin yang memberlakukan tanggung jawab dari seseorang/recht person (Badan Rumah Sakit) terhadap perbuatan orang yang berada di bawah
tanggungannya (Pasal 1367 KUHPerdata).

Sebaliknya jika hanya terjadi kelalaian atau kesalahan kewajiban hukum dalam layanan kesehatan di Rumah Sakit, misalnya terdapat kelalaian atas layanan kewajiban menyelenggarakan rekam medis, atau lalai melaksanakan sistem rujukan atau lalai memenuhi syarat substantive/syarat formal “persetujuan tindakan kedokteran dari pasien kepada dokternya” atau lalai dalam penyediaan/pendistribusian/ transfusi darah (labu darah) kepada pasien atau termasuk sengketa tagihan biaya kebutuhan transfusi darah kepada pasien, maka beban tanggung jawabnya ada pada Rumah Sakit bukan ada pada tenaga kesehatan/dokter.

Doktrin pertanggungjawaban pada jenis ini dapat dikategorikan sebagai “doktrin pertanggung jawaban Rumah Sakit itu sendiri” terhadap pasien. Model pertanggungjawaban Rumah Sakit jenis ini masih memerlukan pembuktian, beda dengan “doktrin strick liability” pada kasus-kasus pelanggaran hukum lingkungan yang tidak memerlukan pembuktian.

D. Batas tanggung jawab layanan kesehatan di Rumah Sakit

Rumah Sakit dimaknai masyarakat sebagai central bisnis dibidang kesehatan dan Rumah Sakit juga dipandang sebagai tempat (sarana) layanan jasa kesehatan terhadap pasien. Kondisi demikian dipengaruhi oleh banyaknya unit pelayanan kesehatan yang di-manage/diurus, diadakan dan digerakan oleh Rumah Sakit. Karena Rumah Sakit dipandang sebagai tempat layanan bisnis dibidang kesehatan maka Rumah Sakit tidak lagi dipandang masyarakat (pasien) sebagai tempat layanan kesehatan murah atau gratis.

Dikatakan sebagai Rumah Sakit modern, bila Rumah Sakit menyediakan berbagai macam unit layanan jasa kesehatan atau menyediakan fasilitas kesehatan yang nyaman, aman, bermutu dan dibutuhkan pasien (masyarakat). Oleh sebab itu hubungan pasien, dokter dan Rumah Sakit dalam layanan kesehatan rentan konflik, rentan miskomunikasi, mis management sehingga berpotensi terjadi sengketa medik di Pengadilan. Dalam UU Rumah Sakit, disebutkan kewajiban pokok Rumah Sakit adalah memberi informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat, memberi pelayanan kesehatan yang aman (pasient safety), jujur, bermutu, anti diskriminatif dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai standar pelayanan Rumah Sakit, tetapi kenyataannya sering terjadi pemberian informasi yang mengecoh pasien/masyarakat dan merugikan pasien (misalnya Rumah Sakit mengiklankan dirinya sebagai Rumah Sakit tipe A, padahal Rumah Sakit tersebut masih tipe C).

BACA JUGA  FAI Apresiasi Rencana Pembangunan RS Ibu dan Anak Indonesia di Gaza

Kenyataan lain yang menimbulkan sengketa layanan kesehatan di Rumah Sakit adalah menyangkut penyediaan darah (labu darah) dan soal mekanisme transfusi darah kepada pasien oleh tenaga medis di Rumah Sakit serta tidak sesuai dengan kebutuhan medis rasional pasien. Timbulnya sengketa layanan kesehatan tersebut suka dipicu karena munculnya tagihan Rumah Sakit yang membengkak dan dibebankan kepada pasien/keluarga pasien serta dianggap oleh pasien sebagai penyalah gunaan tagihan karena tidak sesuai dengan kebutuhan medis rasional pasien.

Batas tanggung jawab layanan medis terhadap pasien dalam soal transfusi darah, seharusnya dipertanggungjawabkan sebatas jumlah transfusi darah yang diberikan oleh tenaga kesehatan (Rumah Sakit) kepada pasiennya sesuai kebutuhan medis rational pasien bukan sebesar jumlah tagihan order labu darah ke unit pelayanan darah (UTD) yang ada di Rumah Sakit atau yang ada di luar Rumah Sakit.

Hal ini dikarenakan, pertama, Rumah Sakit memiliki kewajiban menyediakan darah (labu darah) baik di Bank Darah Rumah Sakit (BDR Rumah Sakit) atau di unit-unit transfusi darah yang ada di Rumah Sakit/di luar Rumah Sakit yang bekerjasama dengan Rumah Sakit. Kedua, darah (labu darah) tidak diperkenankan diperjual belikan kepada pasien apalagi ditagihkan di luar jumlah kebutuhan medis rasional pasien (Pasal 90 ayat 3, Pasal 195 UU Kesehatan).

E. Sengketa layanan medis dan tanggung jawab hukum “Rumah Sakit

Tinggalkan Balasan