Tarif Impor Amerika: Hegemoni atau Kolaborasi

Tarif Impor Amerika: Hegemoni atau Kolaborasi
Dr. Kemal H. Simanjuntak, MBA, GRC.(Foto:SP)

“Indonesia harus mencari keseimbangan antara dua kekuatan besar ini, hegemoni AS dan kolaborasi China dan memanfaatkan keuntungan dari kedua belah pihak, tanpa mengorbankan kedaulatan dan kepentingan nasional.”

Oleh Kemal H Simanjuntak

Di tengah gelombang perubahan besar dalam perekonomian global, kebijakan perdagangan Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Donald Trump telah menjadi salah satu topik yang paling banyak diperbincangkan. Salah satu langkah kontroversial yang diambil Trump adalah kebijakan kenaikan tarif impor untuk berbagai produk dari negara-negara mitra dagang utama, termasuk China, yang menjadi sasaran utama dari kebijakan ini. Dengan menggunakan tarif sebagai senjata utama, Trump ingin mengurangi defisit perdagangan AS dan melindungi industri dalam negeri.

Namun, kebijakan tarif yang diluncurkan oleh Trump ini bukan hanya soal ekonomi semata. Lebih dari itu, ini adalah bagian dari strategi besar untuk mempertahankan posisi hegemonik AS di kancah global. Dalam hal ini, Amerika, dengan semua kekuatan ekonomi dan militernya, berusaha untuk mempertahankan dominasi dalam hubungan internasional. Sementara itu, China telah mengembangkan kebijakan yang lebih kolaboratif, berfokus pada kerja sama yang saling menguntungkan dengan negara-negara berkembang melalui berbagai inisiatif seperti Belt and Road Initiative (BRI). Dalam konteks ini, ada dua kutub yang saling tarik menarik: hegemoni AS dan kolaborasi China.

Hegemoni Amerika dan Pengaruh Tarif Impor

Sebagai negara yang memegang peran dominan dalam politik global dan sistem moneter internasional, AS selama ini memanfaatkan kebijakan perdagangan untuk mengatur jalannya ekonomi dunia. Dolar AS menjadi mata uang cadangan utama dunia, sementara negara-negara lain banyak bergantung pada pasar AS untuk ekspor dan investasi. Kekuatan ini memberi Amerika kewenangan untuk menentukan aturan perdagangan internasional, sekaligus memberi peluang untuk melindungi industri domestiknya melalui tarif impor.

BACA JUGA  Gaikindo: Penjualan Mobil di November Meningkat Menjadi 84.390 Unit

Kebijakan Trump yang menaikkan tarif impor pada produk dari China, khususnya produk-produk elektronik, baja, dan aluminium, merupakan bagian dari upaya untuk mengurangi ketergantungan AS pada impor dan mengembalikan pekerjaan manufaktur ke dalam negeri. Namun, strategi ini tidak hanya berdampak pada hubungan dagang antara AS dan China, tetapi juga berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia secara keseluruhan. Perang tarif antara dua negara besar ini menciptakan ketidakpastian di pasar global, memengaruhi investasi internasional, dan menyebabkan penurunan permintaan di beberapa sektor, seperti otomotif dan peralatan elektronik.

Dalam praktiknya, kebijakan tarif ini memberikan tekanan pada perekonomian global dengan menaikkan biaya barang dan mengganggu rantai pasok internasional. Meskipun Trump mengklaim bahwa kebijakan ini bertujuan untuk melindungi industri AS, negara-negara mitra dagang lainnya termasuk negara-negara Eropa, Kanada, dan Meksiko merasa dirugikan oleh kebijakan ini. Tarif yang diberlakukan oleh Amerika memicu balasan tarif dari negara-negara lain, yang pada gilirannya memperburuk ketegangan perdagangan global.

China dan Pendekatan Kolaboratif

Berbeda dengan Amerika yang lebih mengedepankan kebijakan hegemoni, China mengadopsi pendekatan yang lebih berbasis pada kolaborasi. Melalui Belt and Road Initiative (BRI), China menawarkan kepada negara-negara berkembang peluang untuk membangun infrastruktur dengan pendanaan murah dan kerja sama teknologi. Ini adalah langkah untuk memperkuat hubungan ekonomi dengan negara-negara di Asia, Afrika, dan Eropa Timur, sebuah pendekatan yang bertujuan untuk menciptakan keuntungan bersama tanpa dominasi satu pihak.

Kolaborasi China juga tercermin dalam upayanya untuk mengurangi ketergantungan pada AS dalam sektor perdagangan. Dalam beberapa tahun terakhir, China telah membangun kemitraan dagang yang lebih diversifikasi, baik dengan negara-negara di Asia Tenggara, Afrika, maupun Eropa. Salah satu contoh penting adalah kerja sama China dengan Indonesia, yang semakin meningkat terutama dalam bidang infrastruktur dan energi terbarukan. Di sisi lain, kebijakan proteksionis yang diambil oleh Trump semakin memperburuk hubungan antara AS dan China, tetapi juga menciptakan peluang baru bagi negara-negara yang lebih memilih untuk berfokus pada kerja sama yang saling menguntungkan.

BACA JUGA  Pertumbuhan Kripto di Indonesia Semakin Positif

Namun, kebijakan China ini juga tidak tanpa tantangan. Dalam banyak hal, proyek-proyek yang dibiayai oleh China melalui BRI dikritik karena berpotensi menjerat negara-negara penerima dalam utang yang tidak terkendali, yang dapat memberi China pengaruh politik yang lebih besar. Oleh karena itu, meskipun China lebih mengedepankan kerjasama, negara-negara penerima bantuan ini harus tetap berhati-hati agar tidak terjebak dalam jebakan utang.

Indonesia di Tengah Perubahan Dinamika Global

Sebagai negara berkembang yang terletak di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada di persimpangan antara dua kekuatan besar tersebut: AS dan China. Indonesia, yang memiliki pasar domestik besar dan potensi sumber daya alam yang melimpah, harus cermat dalam menentukan arah kebijakan luar negerinya agar tidak terjebak dalam ketegangan yang muncul dari persaingan hegemoni antara AS dan China.

Di satu sisi, Indonesia memiliki hubungan yang kuat dengan AS, baik dalam hal perdagangan maupun investasi teknologi. AS juga menjadi salah satu pasar utama bagi produk-produk Indonesia, terutama dalam sektor minyak kelapa sawit, tekstil, dan komoditas lainnya. Namun, di sisi lain, Indonesia juga semakin mempererat hubungan dengan China, terutama melalui kerja sama Belt and Road Initiative (BRI) yang memberikan peluang besar dalam pembangunan infrastruktur.

BACA JUGA  Dua Penghargaan Disabet IPC TPK Atas Layanan Optimal Pada Pelanggan

Indonesia harus cerdas dalam memilih dan mengelola kemitraan ekonomi ini agar dapat memaksimalkan keuntungan tanpa kehilangan kedaulatan. Misalnya, proyek-proyek infrastruktur besar seperti kereta cepat Jakarta-Bandung yang melibatkan China bisa memberikan manfaat besar, tetapi harus diimbangi dengan pengawasan ketat agar tidak terjebak dalam ketergantungan utang. Di sisi lain, kerja sama ekonomi dengan AS juga perlu diperkuat, terutama dalam sektor-sektor seperti teknologi informasi, energi terbarukan, dan industri manufaktur.

Kesimpulan: Menjaga Keseimbangan dalam Dunia yang Berubah

Menghadapi ketegangan perdagangan global yang dipicu oleh kebijakan tarif impor dari Amerika, Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk memperkuat ekonomi domestik dan memperluas diversifikasi pasar. Tidak ada pilihan mudah bagi negara-negara berkembang dalam situasi ini. Indonesia harus mencari keseimbangan antara dua kekuatan besar ini, hegemoni AS dan kolaborasi China dan memanfaatkan keuntungan dari kedua belah pihak, tanpa mengorbankan kedaulatan dan kepentingan nasional.

Dengan tetap menjaga prinsip politik luar negeri bebas-aktif, Indonesia dapat memperkuat posisinya di dunia yang semakin multipolar ini. Melalui kebijakan yang bijaksana dalam berkolaborasi dengan negara-negara besar, Indonesia dapat menciptakan kesempatan ekonomi yang saling menguntungkan, sambil memperkokoh independensi dan kemandirian ekonominya.!

*Penulis adalah Senior Consultant, Asesor LSP Tata Kelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)