“Reward and punishment bukan sekadar alat manajemen birokrasi, melainkan strategi jangka panjang untuk membangun budaya hukum yang profesional, berintegritas, dan adil.”
Oleh Muhammad Yuntri, SH., MH|Praktisi Hukum sejak 1986, berdomisili di Jakarta
Penerapan sistem ‘reward and punishment’ dalam penegakan hukum merupakan strategi penting untuk membentuk profesionalisme Aparat Penegak Hukum (APH). Lebih dari sekadar memberikan penghargaan dan hukuman, pendekatan ini bertujuan membangun sistem hukum yang adil, akuntabel, dan bebas dari intervensi kekuasaan.
Dalam sebuah podcast bersama psikolog senior Dr. Reza Indragiri, pakar digital forensik Dr. Rismon Sianipar menyampaikan bahwa berbagai kasus besar seperti peristiwa KM 50, kasus Vina Cirebon, perkara Sambo, dan dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi dapat terungkap lebih jernih bila pendekatan penyelidikan dilakukan secara objektif dan transparan. Menurutnya, masih ada celah manipulasi dalam sistem hukum kita yang dapat membelokkan fakta, di mana yang salah bisa dianggap benar, dan sebaliknya.
Perbaikan Sistem Hukum adalah Keharusan
Selama sistem hukum kita belum mengalami pembaruan, khususnya melalui revisi UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, prinsip due process of law dan asas praduga tak bersalah belum dapat ditegakkan secara maksimal. Hal ini berpotensi menggeser sistem negara hukum (rechtsstaat) menjadi negara kekuasaan (machtsstaat), di mana aparat hukum bisa menjadi alat kekuasaan, bukan penegak keadilan.
Evaluasi Transparan atas Tahapan Penanganan Perkara
Seluruh proses penegakan hukum mulai dari pelaporan di kepolisian, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di pengadilan (termasuk banding dan kasasi) harus dapat dievaluasi secara transparan. Tujuannya adalah menghambat praktik mafia hukum dan menjamin integritas setiap tahapan proses.
Penahanan Harus Proporsional dan Sesuai Aturan
Perpanjangan penahanan harus sesuai ketentuan hukum. Penahanan seharusnya hanya diberlakukan untuk kepentingan pemeriksaan dan dibatasi waktunya. Dalam perkara yang tidak membahayakan masyarakat, tersangka dapat diberikan penangguhan penahanan dengan jaminan keluarga dan pengawasan elektronik, hingga putusan inkrah dijatuhkan.
Efektivitas Asas Praduga Tak Bersalah
Terduga pelaku wajib diperlakukan sebagai individu yang belum tentu bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Ini adalah bagian dari penghormatan terhadap hak asasi manusia dan keadilan yang substantif.
Pendekatan Ilmiah dan Prinsip PRESISI
APH wajib menerapkan pendekatan ilmiah berbasis bukti dalam proses penyidikan. Prinsip PRESISI, Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan harus menjadi pedoman utama dalam mencari kebenaran materiil atas dugaan pelanggaran hukum.
Penguatan Sistem Pengawasan Eksternal
Pengawasan terhadap APH perlu dilakukan secara terpadu melalui penguatan lembaga-lembaga pengawas seperti Kompolnas, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Yudisial (KY). Ketiganya sebaiknya diintegrasikan dalam satu sistem pengawasan yang memiliki kewenangan jelas, termasuk dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran.
Reward and Punishment untuk Kinerja Terukur
APH yang menunjukkan kinerja baik perlu diberikan penghargaan, sementara yang melanggar aturan harus menerima sanksi proporsional. Sistem pelaporan internal maupun eksternal terhadap penyimpangan harus diberi ruang, dan bila terbukti, pelapor dapat diberikan perlindungan serta apresiasi.
Peradilan Eksaminasi sebagai Alternatif Praperadilan
Selain mekanisme praperadilan yang berlaku selama ini, perlu dihadirkan Peradilan Eksaminasi sebagai bentuk pertanggungjawaban institusional atas kesalahan yang dilakukan oleh oknum APH, khususnya dalam kasus yang telah masuk ke tahap persidangan. Ini akan memperkuat akuntabilitas institusi dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
Minimalkan Rekayasa Hukum dan Overkapasitas Rutan
Sistem reward and punishment yang konsisten akan menekan praktik rekayasa hukum, mencegah penahanan yang tidak perlu, dan mengurangi beban lembaga pemasyarakatan. Selain menghemat anggaran negara, hal ini juga mendorong kehati-hatian dan profesionalisme dalam penanganan perkara.
Menuju Kepastian Hukum dan Indonesia Emas 2045
Kepastian hukum yang adil dan merata merupakan syarat utama menuju Indonesia Emas 2045. Sistem hukum yang bersih akan meningkatkan kepercayaan masyarakat dan menarik minat investasi yang sehat. Hukum harus menjadi pelindung, bukan alat tekanan, terhadap rakyat.
Penutup
Reward and punishment bukan sekadar alat manajemen birokrasi, melainkan strategi jangka panjang untuk membangun budaya hukum yang profesional, berintegritas, dan adil. Pendekatan ini diharapkan dapat diakomodasi dalam revisi UU KUHAP No. 8 Tahun 1981 yang saat ini sedang dibahas di DPR-RI. Tujuannya satu: tegaknya hukum yang memberikan kepastian, keadilan, dan manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa pandang bulu.
Jakarta, 7 Juni 2025
Penulis Muhammad Yuntri, SH., MH., adalah Praktisi Hukum sejak 1986
Disclaimer: Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan institusi mana pun, termasuk redaksi. Redaksi tidak bertanggung jawab atas isi dan dampak dari tulisan ini. Segala pendapat disampaikan dengan menjunjung asas praduga tak bersalah dan bertujuan untuk kontribusi dalam diskusi publik yang konstruktif.