Opini  

Transformasi Digital dalam Administrasi Publik: Kepastian Hukum, Keadilan Administratif dan Aksesibilitas Layanan

Transformasi Digital dalam Administrasi Publik: Kepastian Hukum, Keadilan Administratif dan Aksesibilitas Layanan
Tri Indroyono, S.E., S.H., M.H.(Foto: Dok. Pribadi)

“Digitalisasi birokrasi bukan sekadar modernisasi teknis, melainkan langkah menuju pemerintahan yang lebih adil, transparan, dan beradab di bawah payung hukum administrasi negara yang hidup.”

Oleh: Tri Indroyono|Panitera PN Bangil

Digitalisasi Birokrasi di Persimpangan Hukum dan Keadilan

Juni 2025 menjadi momentum penting bagi perjalanan birokrasi digital Indonesia. Pemerintah resmi meluncurkan Platform Pelayanan Terpadu Digital Nasional (SPTN) sebagai turunan dari Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2025 tentang percepatan transformasi digital pemerintahan. Melalui platform ini, 87 layanan publik lintas kementerian dan daerah diintegrasikan dalam satu portal daring.

Menurut laporan Antaranews (12 Juni 2025), tujuan kebijakan ini adalah mewujudkan “pemerintahan tanpa kertas” pada 2026. Namun, euforia digitalisasi segera diiringi berbagai persoalan: ketidaksiapan infrastruktur di daerah, ketimpangan akses warga, hingga kekosongan aturan hukum dalam perlindungan data pribadi dan tanggung jawab administratif bila terjadi kesalahan sistem.

Pertanyaan yang kini mengemuka di ruang akademik ialah: bagaimana memastikan keadilan administratif dan kepastian hukum di tengah percepatan digitalisasi layanan publik? Apakah teknologi telah menjamin kemudahan, atau justru menciptakan bentuk baru ketimpangan akses terhadap hak-hak administratif warga?.

Digitalisasi birokrasi di persimpangan hukum dan keadilan, atau yang dikenal juga dengan e-government, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Namun, dalam penerapannya, digitalisasi sering kali dihadapkan pada persimpangan yang rumit antara hukum dan keadilan, menimbulkan berbagai tantangan dan risiko.

Mari kita melihat peraturan dan undang-undang tentang digitalisasi agar tidak ada kesalahan dalam menggunakan informasi teknologi:

  1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016:
    Perubahan dari UU ITE ini menjadi dasar hukum yang kuat untuk aktivitas di dunia digital, termasuk informasi dan transaksi elektronik. Ini mengatur hal-hal seperti perlindungan data pribadi dan kejahatan siber.

  2. Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018:
    Berfokus pada digitalisasi sistem pemerintahan, dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi dan pelayanan publik melalui sistem berbasis elektronik.

  3. Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2023:
    Mengatur percepatan transformasi digital secara keseluruhan dan keterpaduan layanan digital nasional. Perpres ini menekankan pentingnya integrasi dan interoperabilitas antar aplikasi pemerintah.

  4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009:
    Menjelaskan tentang bagaimana digitalisasi dapat dilaksanakan dalam konteks pelayanan publik.

  5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008:
    Mengatur keterbukaan informasi publik, yang relevan dengan digitalisasi akses informasi.

  6. Undang-Undang Cipta Kerja:
    Berisi ketentuan yang mendorong pengembangan ekosistem e-commerce dan digitalisasi UMKM, termasuk percepatan pembangunan infrastruktur broadband.

  7. Permendagri Nomor 56 Tahun 2021:
    Mengatur percepatan dan perluasan digitalisasi daerah, serta implementasi elektronifikasi transaksi pemerintah daerah.

  8. Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019:
    Mengatur tentang Satu Data Indonesia untuk mewujudkan data yang terintegrasi dan terkelola dengan baik.

Kompleksitas teknologi. Hal ini juga menghendaki dibuatnya pola-pola rasional yang telah menjadi ciri khas birokrasi. Di samping itu, yang perlu diperhatikan adalah bahwa rasionalitas birokrasi hendaknya tanggap terhadap kehendak rakyat, bukan sekadar mengutamakan rasionalitas yang kaku.

Di samping itu, Etzioni (Amita Etzioni, 1986) mengatakan bahwa:

“Birokrasi dinilai sebagai alat yang paling efektif dalam melaksanakan kebijakan pemerintah apa pun. Di negara-negara yang sedang membangun, peranan birokrasi yang sudah penting itu semakin bertambah penting dengan dijalankannya pula oleh birokrasi fungsi-fungsi lain di luar policy implementation, seperti menjadi artikulator dan agregator kepentingan, menjadi sumber informasi tentang public issues and political events, sehingga memengaruhi proses penyusunan kebijakan pemerintah, menjalankan sosialisasi politik, menjadi stabilisator politik, menjadi pengendali pembangunan, melakukan pelayanan, dan lain sebagainya.”

Reformasi yang terjadi pada pertengahan tahun 1998 membawa perubahan yang signifikan terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini juga terjadi di dalam birokrasi yang merupakan organisasi pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pemberian pelayanan langsung kepada masyarakat.

Gerakan reformasi menghendaki birokrasi memiliki netralitas politik, transparan, responsif, dan akuntabel. Dengan tuntutan ini, otomatis birokrasi harus membangun frame dan karakteristik baru dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan amanat yang dikehendaki rakyat.

Tantangan dan Risiko pada Digitalisasi Birokrasi di Persimpangan Hukum dan Keadilan

BACA JUGA  Catatan Hukum OC Kaligis: Kritik untuk Ricky Gerung

Meskipun memiliki banyak keuntungan, digitalisasi birokrasi juga menyimpan tantangan yang signifikan, khususnya terkait dengan hukum dan keadilan. Dalam hal ini ada beberapa tantangan sebagai berikut:

  • Perlindungan data dan privasi

  • Ketidaksetaraan akses

  • Tantangan tata kelola

  • Regulasi yang tertinggal

  • Hak digital warga negara

  • Risiko kecerdasan buatan (Artificial Intelligence)

Untuk memastikan digitalisasi birokrasi berjalan di jalur hukum dan keadilan, beberapa langkah strategis perlu diambil:

  • Penguatan regulasi

  • Peningkatan pengawasan

  • Pemberdayaan masyarakat

  • Pengembangan etika dan akuntabilitas

Digitalisasi birokrasi adalah sebuah keniscayaan, tetapi keberhasilannya tidak hanya diukur dari efisiensi semata. Keberhasilan yang sejati terletak pada kemampuannya untuk beriringan dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan, memastikan bahwa inovasi teknologi tidak justru menciptakan ketidakadilan baru di masyarakat.

Penerapan good governance, terutama dalam konteks keterbukaan informasi publik, diyakini sebagai salah satu solusi strategis untuk mengatasi permasalahan tersebut. Prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas diharapkan mampu memperbaiki kualitas pelayanan publik di Pengadilan Negeri, sehingga mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan.

Di samping itu, dalam era digital yang semakin berkembang, harapan masyarakat terhadap kemudahan akses informasi melalui platform digital semakin tinggi. Pengadilan Negeri telah mengadopsi beberapa inovasi digital, seperti Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) dan e-Court, yang memungkinkan masyarakat untuk mengakses perkembangan kasus dan melakukan proses administrasi secara daring.

Namun, efektivitas sistem ini masih menghadapi kendala teknis dan nonteknis. Salah satu masalah utama adalah keterbatasan infrastruktur teknologi dan literasi digital di kalangan masyarakat lokal, yang membuat sebagian besar layanan digital belum dapat dioptimalkan secara maksimal (Kemenkominfo, 2023).

Pelayanan publik yang optimal di lembaga peradilan merupakan komponen penting dalam mendukung terciptanya keadilan dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Di Indonesia, konsep good governance telah menjadi salah satu fondasi utama dalam memperbaiki tata kelola lembaga publik, termasuk di Pengadilan Negeri. Good governance mencakup prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipasi, efektivitas, serta penegakan hukum yang menjunjung keterbukaan informasi sebagai dasar pelayanan publik yang baik.

Mahkamah Agung RI sangat berperan penting dalam administrasi digital melalui inovasi teknologi untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas pelayanan publik, seperti melalui platform e-Court dan e-Berpadu. Peran ini mencakup pengembangan sistem, pembuatan regulasi, pengawasan, hingga pemanfaatan kecerdasan buatan untuk mendukung proses peradilan secara digital.

Dalam sambutannya, YM Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.H., pada peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Mahkamah Agung Republik Indonesia kali ini, Ketua Mahkamah Agung mengusung tema “Pengadilan Bermartabat, Negara Berdaulat” sekaligus meluncurkan sejumlah aplikasi layanan terpadu berbasis teknologi informasi (TI).

Menegaskan, pelayanan hukum yang berkeadilan adalah jaminan bagi seluruh warga negara untuk mengakses layanan peradilan secara sederhana, cepat, transparan, dan berbiaya ringan.

“Pemanfaatan teknologi informasi mampu memangkas hambatan birokrasi sekaligus memperluas keterbukaan informasi. Inovasi adalah kunci menghadapi perkembangan zaman. Beberapa aplikasi yang diluncurkan Mahkamah Agung terbukti sukses meningkatkan efisiensi dan memberi manfaat besar bagi masyarakat Indonesia,” tegas Ketua MA.

Berikut daftar aplikasi inovasi HUT ke-80 Mahkamah Agung Republik Indonesia 

  1. Smart Majelis Tingkat Pertama

  2. Website Badan Urusan Administrasi

  3. RESPEK (Respon Cepat Pelayanan Kepaniteraan)

  4. E-HUM Kepaniteraan

  5. SMART-TPM (Tim Promosi Mutasi) Badilum

  6. BLC (Badilum Learning Center)

  7. Ruang Tamu Virtual (RTV) Badilum

  8. Simetri Badilum

  9. Elektronik Akta Cerai (e-AC) Badilag

  10. E-Putusan Badilag

  11. SIMPAN Terintegrasi-Badimiltun

  12. LASKAR (Layanan Administrasi Kediklatan dan Rekapitulasi)

  13. WASKITAMA (Pengawasan Kinerja Tata Kelola Mahkamah Agung)

Selain undang-undang dan peraturan pemerintah yang mengatur tentang digitalisasi, Mahkamah Agung RI juga memiliki beberapa Peraturan Mahkamah Agung mengenai aplikasi tersebut, yaitu:

  • Perma Nomor 6 Tahun 2022

  • Perma Nomor 7 Tahun 2022

  • Perma Nomor 8 Tahun 2022

  • SK KMA Nomor 207, 363, dan 365 Tahun 2022

Mahkamah Agung RI berupaya untuk menerapkan sistem berbasis elektronik (eGovernment), namun tidak terhindar dari berbagai tantangan yang muncul seiring dengan perkembangan teknologi. Oleh karena itu, penting untuk melakukan kajian lebih mendalam mengenai bagaimana transformasi hukum administrasi di era digital ini dapat meningkatkan transparansi serta menganalisis peluang dan tantangannya.

BACA JUGA  Hari Pers Nasional Banjarmasin 2025 Sangat Menakjubkan.

Menurut M. Yahya Harahap (2020), ahli hukum administrasi, digitalisasi administrasi pemerintah memberikan kesempatan untuk mempercepat proses pengambilan keputusan dan meningkatkan efisiensi birokrasi, namun juga menyarankan agar sistem yang diterapkan memperhatikan perlindungan hak-hak individu dan tidak memperburuk ketimpangan sosial.

Sementara itu, Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan Indonesia, mengemukakan bahwa penerapan e-Government dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran, sehingga mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang dalam pengadaan barang dan jasa.

Transformasi hukum administrasi di era digital tidak hanya mengarah pada penyederhanaan dan efisiensi birokrasi, tetapi juga membuka peluang besar untuk menciptakan pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, dan responsif. Di era digital, pemerintah memiliki potensi untuk memanfaatkan teknologi guna meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mempercepat proses administrasi.

Namun, di sisi lain, era digital juga membawa tantangan tersendiri, terutama dalam hal perlindungan data pribadi, kesenjangan digital, dan perubahan struktur kelembagaan yang diperlukan untuk mendukung transisi ini.

Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo (2018), seorang ahli hukum tata negara, menyatakan bahwa digitalisasi pemerintahan memberikan peluang bagi masyarakat untuk lebih terlibat dalam pengawasan dan pembuatan kebijakan publik. Ia berpendapat bahwa hal ini akan mendorong pemerintah untuk lebih akuntabel. Namun, ia juga menekankan perlunya perhatian terhadap masalah hukum yang timbul akibat digitalisasi, terutama yang berkaitan dengan hak privasi dan hak akses terhadap data publik.

Akselerasi Teknologi dan Ketimpangan Akses

Transformasi digital dalam administrasi publik sejatinya merupakan kelanjutan dari strategi nasional Digital Government Architecture (DGA) yang mulai diimplementasikan sejak 2021. Dalam lima tahun terakhir, digitalisasi birokrasi telah melahirkan berbagai inovasi: e-office, e-budgeting, e-procurement, hingga digital ID.

Data Kementerian PANRB menunjukkan bahwa hingga Mei 2025, sebanyak 64,3 persen instansi pemerintah telah menerapkan sistem layanan digital, dengan tingkat kepuasan publik rata-rata mencapai 78 persen.

Namun, di sisi lain, survei Kompas Research & Development (5 Juni 2025) menemukan bahwa 31 persen warga masih mengalami kesulitan mengakses layanan digital karena keterbatasan sinyal, literasi digital yang rendah, atau ketiadaan perangkat. Ketimpangan akses ini menimbulkan potensi diskriminasi administratif yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan pelayanan publik.

Masalah juga muncul dari sisi hukum: belum jelas siapa yang bertanggung jawab ketika kesalahan administratif terjadi akibat kegagalan sistem digital. Apakah tanggung jawab melekat pada pejabat penandatangan, pada penyedia teknologi, atau pada sistem itu sendiri?. Kekosongan norma ini memperlihatkan bahwa kecepatan digital tidak selalu sejalan dengan ketepatan hukum.

Keadilan Administratif dan Kepastian Hukum dalam Era Digital

Isu ini dapat dibaca melalui kerangka doktrin Keadilan Administratif (Administrative Justice) dan teori Rule of Law dalam Administrasi Publik Digital.

Menurut Paul Craig (2012), keadilan administratif menuntut adanya proses yang adil (due process), keterbukaan keputusan, dan ketersediaan mekanisme keberatan bagi warga terhadap tindakan administrasi. Dalam sistem digital, prinsip tersebut menuntut adaptasi: hak atas informasi dan perbaikan harus tetap dapat dijalankan walau interaksi dilakukan melalui algoritma dan antarmuka elektronik.

Sementara itu, Fuller (1969) dan Hadjon (2007) menegaskan bahwa kepastian hukum hanya dapat dijaga bila tindakan pemerintah bersandar pada norma yang jelas, dapat diprediksi, dan tersedia mekanisme pengawasan independen. Dalam konteks digital governance, kepastian hukum bukan hanya menyangkut kejelasan peraturan, tetapi juga keandalan sistem elektronik yang digunakan untuk mengeksekusi hak-hak administratif warga.

Dengan demikian, digitalisasi birokrasi tidak boleh dipahami sekadar sebagai inovasi teknologi, melainkan sebagai reformasi hukum administratif. Setiap perubahan prosedur, mekanisme verifikasi, atau otomatisasi keputusan harus tunduk pada asas legalitas dan proporsionalitas. Bila tidak, keadilan administratif dapat tergantikan oleh algorithmic discretion keputusan tanpa wajah manusia, tetapi tetap memiliki akibat hukum bagi warga negara.

Menata Ulang Hubungan antara Teknologi dan Hukum

Transformasi digital birokrasi harus dimaknai sebagai proses hukum yang berorientasi pada perlindungan hak warga, bukan sekadar efisiensi. Secara kelembagaan, Kementerian PANRB, BSSN, dan Kominfo perlu membangun kerangka digital accountability, yakni sistem yang menjamin jejak setiap keputusan administratif digital dapat ditelusuri, diverifikasi, dan diuji.

BACA JUGA  Bercermin dari Kasus Hotman Paris dan Razman Nasution: Dicari Advokat Pendekar Hukum

Selain itu, setiap platform layanan publik digital hendaknya memiliki ombudsman virtual sebagai kanal pengaduan hukum administratif daring. Mekanisme ini penting untuk menghindari paradoks “layanan cepat tanpa tanggung jawab”.

Penguatan peran APIP dan Ombudsman RI dalam mengawasi algoritma kebijakan publik menjadi langkah strategis untuk memastikan bahwa prinsip rule of law tetap hadir dalam ruang digital.

Dari sisi manajerial, aparatur sipil negara (ASN) harus dilatih bukan hanya dalam kompetensi teknologi, tetapi juga dalam etika dan tanggung jawab digital administratif. Di sinilah muncul paradigma baru: digital civil servant birokrat yang cakap teknologi, peka hukum, dan empatik terhadap kesetaraan akses warga.

Hukum sebagai Penuntun, Bukan Penghalang Digitalisasi

Transformasi digital pemerintahan merupakan keniscayaan sejarah. Namun, kecepatan inovasi tidak boleh menghapus makna keadilan administratif. Negara hukum digital (digital rechtstaat) hanya akan terwujud bila setiap algoritma, aplikasi, dan platform tunduk pada nilai-nilai hukum yang hidup: keadilan, kepastian, dan kemanfaatan publik.

Ke depan, pemerintah perlu memastikan tiga prinsip normatif utama:

  1. Accessibility of Justice – semua warga, termasuk kelompok rentan, dapat mengakses layanan digital tanpa diskriminasi.

  2. Accountability of Algorithm – setiap keputusan berbasis sistem harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

  3. Human-Centric Governance – teknologi berperan melayani manusia, bukan menggantikannya.

Untuk mewujudkan apa yang menjadi tujuan negara maka diperlukan suatu lembaga negara dan kewenangan.

Penerapan hukum dan keadilan: Pengadilan adalah lembaga yang memiliki peran penting dalam menjaga keadilan dan menerapkan hukum. Dalam konteks good governance, penerapan hukum dan keadilan yang transparan, adil, dan efisien adalah salah satu aspek penting. Dapat menilai sejauh mana good governance tercermin dalam proses peradilan dan bagaimana pengambilan keputusan berdasarkan prinsip-prinsip tersebut.

Kepastian hukum adalah prinsip yang menjamin bahwa semua tindakan dan keputusan pemerintah didasarkan pada aturan hukum yang jelas, konsisten, dan dapat dipahami. Menciptakan kerangka aturan yang jelas sehingga penyelenggara layanan tidak dapat bertindak semena-mena. Ini menjadi dasar bagi terwujudnya keadilan administratif.

Keadilan administratif adalah prinsip yang memastikan bahwa keputusan-keputusan yang dibuat oleh birokrasi pemerintah bersifat adil, tidak memihak, dan tidak diskriminatif. Memastikan bahwa implementasi aturan tersebut dilakukan secara adil dan tidak memihak, serta menyediakan mekanisme koreksi jika terjadi penyimpangan.

Aksesibilitas layanan adalah prinsip yang memastikan bahwa setiap warga negara, tanpa terkecuali, memiliki kemudahan untuk mendapatkan layanan publik. Bahwa kerangka aturan dan proses yang adil tersebut dapat dijangkau oleh semua orang, sehingga tidak ada yang tertinggal dalam mendapatkan haknya.

Hukum administrasi juga menjadi instrumen penting dalam menjamin pelayanan publik yang berkualitas, dengan memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan layanan yang adil, cepat, dan tanpa diskriminasi.

Dalam hal ini, apa yang menjadi urgensi sebagai pedoman dalam bekerja. Delapan nilai itu ialah: Kemandirian, Integritas, Kejujuran, Akuntabilitas, Responsibilitas, Keterbukaan, Ketidakberpihakan, dan Perlakuan yang Sama di Depan Hukum.

Tujuan dari delapan nilai utama ialah pedoman untuk meningkatkan profesionalitas dan integritas aparatur pengadilan baik dalam penyelesaian perkara serta pelayanan kepada para pihak pencari keadilan. Nilai tersebut haruslah tertancap kuat dan diimplementasikan dalam pikiran, ucapan, serta tindakan individu dalam kehidupan berorganisasi dalam lingkup peradilan, serta tak lepas dari penjelasan di atas.

Dengan begitu, digitalisasi birokrasi bukan sekadar modernisasi teknis, melainkan langkah menuju pemerintahan yang lebih adil, transparan, dan beradab di bawah payung hukum administrasi negara yang hidup.

Kata kunci: hukum administrasi digital, keadilan administratif, kepastian hukum, transformasi birokrasi, aksesibilitas layanan publik.

*Penulis Tri Indroyono adalah Panitera PN Bangil

Hari Santri 2025 DPRD Kabupaten Sidoarjo