Vaksin, Nyamuk dan Kuasa Global: Siapa Sebenarnya Mengendalikan Tubuh Bangsa?

Vaksin
Kemal H Simanjuntak adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK).

“Sudah saatnya Indonesia menegakkan prinsip “kerjasama sejajar, bukan tunduk”. Artinya, uji vaksin apapun harus melalui audit publik, melibatkan DPR, BPOM, akademisi, dan komunitas lokal. Setiap teknologi asing harus bisa diuji oleh riset dalam negeri dan terbuka pada evaluasi etis”

Oleh Dr. Kemal H Simanjuntak, MBA

Sudah lama Indonesia tidak menjadi sekadar pasar bagi produk global, melainkan kini perlahan menjadi laboratorium hidup bagi eksperimen kesehatan berskala internasional. Tak selalu diumumkan dengan gegap gempita, tapi hadir diam-diam lewat proposal kerjasama, restu kementerian, dan jaringan global yang jauh dari jangkauan publik.

Salah satu yang kini tengah jadi sorotan adalah proyek vaksin TBC M72/AS01E, yang tengah diuji coba di Indonesia dengan dukungan penuh dari WHO dan Bill & Melinda Gates Foundation. Ini bukan sekadar urusan medis ini adalah perkara kuasa, kedaulatan, dan siapa yang memegang kendali atas tubuh bangsa.

Sejak tahun 2009, Gates Foundation telah menggelontorkan lebih dari 159 juta dolar AS ke Indonesia. Bukan untuk membangun jalan atau pelabuhan, melainkan untuk mengembangkan vaksin, memperkuat program imunisasi, dan mendanai riset tropis.

Sekilas tampak mulia. Namun ketika agenda global lebih kuat dari diskusi lokal, maka risiko kolonialisme baru dalam bentuk kesehatan tak bisa diabaikan. M72/AS01E sendiri diklaim sebagai vaksin revolusioner untuk TBC, tapi efektivitasnya baru sekitar 50 persen di uji fase 2b. Kini, uji coba fase 3 dilakukan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

BACA JUGA  1,9 Juta Vaksin AstraZeneca Mendarat di Indonesia

Ironisnya, keterlibatan publik dan transparansi data masih minim.
Tak berhenti di vaksin, publik juga dikejutkan dengan narasi “armada nyamuk” sebuah proyek di mana nyamuk jantan ber-Wolbachia dilepaskan ke udara untuk menekan kasus demam berdarah dan malaria.

Di Florida, proyek serupa memicu kegemparan hingga lahirnya teori bahwa nyamuk digunakan sebagai senjata biologis. Di Indonesia, program ini justru dijalankan terbuka di Yogyakarta oleh World Mosquito Program dan didukung Gates Foundation.

Meski secara ilmiah aman dan hasilnya menjanjikan, kejanggalan tetap ada: Mengapa negara berkembang yang selalu jadi tempat percobaan? Apa hak rakyat atas informasi dan penolakan? Kritik juga muncul dari kalangan ilmuwan dunia.

Sebagian besar mengapresiasi teknologi nyamuk steril dan vaksin, tapi memperingatkan risiko bias arah riset jika terlalu dikendalikan lembaga donor. Banyak proyek kesehatan justru mengabaikan kebutuhan dasar seperti gizi dan sanitasi.

BACA JUGA  Basmi Nyamuk, Babinsa Lakukan Fogging di SDN 1 Jarangan

Fokus besar pada vaksin kerap tidak dibarengi dengan penguatan sistem layanan primer. Ini memperlihatkan ketimpangan kepentingan di mana negara-negara kuat menyetir, negara berkembang ikut saja sebagai pelaksana, bukan pengarah.

Apalagi, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang memberi restu terhadap proyek-proyek ini, bukan berlatar belakang medis. Pendekatannya teknokratis, efisien, tapi tidak selalu sensitif terhadap dinamika sosial dan etika publik. Rakyat tidak pernah diajak bicara. DPR tidak menggugat. Para dokter hanya diminta “ikut prosedur”.

Dalam keadaan semacam ini, narasi konspiratif tumbuh subur bukan karena rakyat bodoh, tapi karena negara diam.
Namun menuduh Gates sebagai dalang pemusnahan ras Asia lewat vaksin tentu tak adil. Tidak ada bukti ilmiah untuk itu.

Tapi membiarkan bangsa ini terus menjadi tempat eksperimen tanpa kontrol, juga bukan tindakan bijak. Masalah utamanya bukan pada “niat jahat” semata, melainkan pada struktur global yang timpang, di mana lembaga donor punya kuasa lebih besar dari kementerian di negara berkembang.

Sudah saatnya Indonesia menegakkan prinsip “kerjasama sejajar, bukan tunduk”. Artinya, uji vaksin apapun harus melalui audit publik, melibatkan DPR, BPOM, akademisi, dan komunitas lokal. Setiap teknologi asing harus bisa diuji oleh riset dalam negeri dan terbuka pada evaluasi etis. Dan yang terpenting Indonesia harus mengembangkan kekuatan farmasi dan bioteknologi nya sendiri agar tak selamanya jadi anak magang dalam sistem kesehatan global.

BACA JUGA  OC Kaligis Kembali Buka-bukaan Soal Perkara Denny Indrayana ke Tito Karnavian, Begini Isi Suratnya

Narasi ini bukan ajakan untuk anti-vaksin atau isolasionisme. Ini adalah seruan agar kita tidak membiarkan tubuh rakyat kita dari bayi hingga lansia menjadi objek kebijakan yang tidak mereka pahami, tidak mereka pilih, dan tidak mereka kontrol. Dalam urusan sebesar kesehatan nasional, yang dibutuhkan bukan hanya teknologi, tapi kedaulatan dan akal sehat.

*Penulis Kemal H Simanjuntak adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK).