Opini  

Saatnya Evaluasi, Mengukuhkan Single Bar atau Multibar

Single Bar atau Multibar. Komunitas Advokat
Muhammad Yuntri.(Foto:Dok.Pribadi)

“Mestinya dirumuskan lagi singlebar di level Sekunder dengan nama baru misalnya F.A.I (Federasi Advokat Indonesia) sebagai regulator, sedangkan di level primer tempat pembinaan advokat yang akan menjalankan tugas-tugas pembinaan dan pelaksanaan PKPA saja, serta pelaksanaan UPA dan regulasi OA tetap pada F.A.I.”

Oleh Muhammad Yuntri

Kemenkumham Bali

Dalam dua minggu terakhir setelah diumumkannya nama-nama menteri Kabinet Presiden Prabowo Subianto pada 21 Oktober 2024 lalu, mulailah bermanuvernya para tokoh advokat di Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI. Ketua Umum DPN Peradi Otto Hasibuan saat ini menjabat Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan. Begitu juga dengan Bob Hasan, Sekretaris Jenderal Himpunan Advokat Pengacara/Indonesia (HAPI) sebagai Ketua BalegDPR-RI. Kedua tokoh tersebut adalah pengacara senior yang akan berperan sebagai aktor yang mempertahankan Peradi sebagai singlebar atau merubahnya ke arah multibar.

Dari sisi lain, multibar tersebut sangat terkait dengan terbitnya Surat Ketua Mahkamah Agung (MA) No. 73 Tahun 2015 yang berdampak menjamurnya Organisasi Advokat (OA) baru yang didirikan dengan UU Ormas No. 17 Tahun 2013 dan memproduksi ribuan para calon advokat yang selama ini dan diajukan prosesi sumpah advokatnya di Pengadilan Tinggi setempat.

OA baru yang berdiri tersebut cenderung disebut sebagai Organisasi Paguyuban Advokat (OPA) saja sebagai tempat pembinaan advokat baru, bukan berwenang melakukan pengangkatan advokat. Tapi bisa juga diberi konsesi oleh federasi sebagai induk OA yang berstatus singlebar untuk melaksanakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dengan standar pendidikan yang ditentukan oleh federasi. Ujian Profesi Advokat (UPA) dan pengangkatan advokat tetap saja berada dalam kewenangan federasi.

Atas dampak yang telah ditimbulkan surat Ketua MA Nomor 73 tersebut, kami dari OA Kongres Advokat Indonesia (KAI) sudah bersurat untuk audiensi dengan Ketua MA, tapi sampai saat ini belum juga dikabulkan, walau sudah disusulkan surat kedua untuk mengevaluasinya atas dampak yang telah ditimbulkannya selama ini.

Menurut pandangan kami, karena adanya Surat Ketua MA No.73 tersebut sudah memberi peluang bagi Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia untuk mendapatkan ‘cuan’ dari prosesi penyumpahan calon advokat yang berbayar tanpa melakukan seleksi efektif ketat terhadap permohonan penyumpahan yang diajukan Ormas mengaku sebagai OA baru. Padahal organisasinya didirikan berdasarkan UU Ormas Nomor 17 Tahun 2013. Pendirian OA haruslah berdasarkan Pasal 28 UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003, yang batas waktunya pendiriannya hanya sampai 2005 (vide pasal 32 uu advokat). Itu hanya dilakukan oleh Peradi, yang akta pendiriannya di-backdated menjadi tahun 2004.

Tapi sayangnya rekan senior advokat Otto Hasibuan kala itu tidak melaksanakan pendirian Peradi melalui Munas para Advokat melainkan hanya mendirikannya secara persekutuan perdata biasa, nah di sini lah salahnya. Sempat saya tanyakan di forum konsolidasi advokat di Jakarta pada tahun 2012 kepada Otto Hasibuan, siapa yang mengangkat anda sebagai Ketua Umum DPN Peradi untuk periode tahun 2005-2010, saksinya siapa dan apakah ada berita acara pengangkatannya?. Spontan Otto Hasibuan menjawab, mohon maaf pak Yuntri, tolong jangan bubarkan Peradi, nanti anggota kami yang 20.000 orang ini mau dikemanakan (hal ini saya publikasikan di artikel saya kala itu, dan tidak ada yang membantahnya sampai saat ini).

Kesalahan Otto Hasibuan di atas, diprotes keras oleh bang Adnan Buyung Nasution (ABN), bapak Advokat Indonesia yang telah ditetapkan KAI saat acara Rakernas KAI tahun 2012, karena hal itu tidak sesuai dengan marwah OA dalam UU Advokat yang dibidani bersama Komisi III DPR-RI kala itu. Akhirnya beliau tulis surat terbuka kepada Otto Hasibuan dan ditembuskan ke MA dan lain-lain.

Sejak saat itulah tindakan Otto Hasibuan ini dikoreksi Adnan Buyung Nasution secara bertahap melalui beberapa kali seminar ilmiah sampai lahirnya lahir KAI pada tahun 2008, dan Peradi dibubarkan oleh para tokoh OA HAPI, IPHI, APSI dan IKADIN (versi Teguh Samudra) berdasarkan Akta Notaris Catur Virgo No.67 tanggal 30 Desember 2008 dan dipublikasikan di harian Media Indonesia tanggal 9 Juni 2009.

Sampai akhirnya muncul putusan Mahkamah Konstitusi (MK)-RI Nomor 101 Tahun 2009, yang intinya menyatakan secara de facto diakui ada dua OA, yaitu Peradi dan KAI. Kemudian muncul lagi Putusan MK Nomor 36 Tahun 2015, yang intinya menyatakan secara de facto ada dua OA, yaitu Peradi dan KAI, yang anggotanya harus bisa diambil sumpah oleh Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia.

Tapi sebelum Putusan MK 36 Tahun 2015 diterbitkan, MA “menelikungnya” dengan terbitnya Surat Ketua MA Nomor 73, yang intinya semua anggota OA bisa disumpah asalkan memenuhi syarat (Direkrut oleh KAI dan PERADI) asalkan punya badan hukum (SK AHU-red).

Nah, inilah yang sengaja disalahtafsirkan oleh oknum advokat, dengan cara mendirikan Ormas dan menyelenggarakan PKPA dan UPA tanpa izin dari Kemendiknas, kemudian mengajukan prosesi sumpah ke PT setempat, dan diterima. Maka sejak itulah muncul OA rasa Ormas (atau Ormas rasa OA) mengajukan prosesi sumpah advokat ke PT setempat dan panenlah ‘cuan’ pada PT setempat yang pelaksanaannya tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 4 UU Advokat.

Saat ini mulai ramai para advokat senior untuk audiensi denga Baleg DPR-RI untuk membahas perubahan UU Advokat menuju multibar atau tetap singlebar. Kebetulan Ketua Baleg Bob Hasan (eks Sekjen HAPI). Dan Otto Hasibuan yang sekarang menjabat sebagai Wamen Kemenkum RI akan mengajukan Peradi di posisi singlebar (induk) dan OA yang lain bagian dari Peradi.

Tidak fair

Kesalahan Otto Hasibuan mendirikan Peradi sebagai persekutuan perdata pada bulan September 2005 (Akta Notaris Buntaran Tigris, SE, SH Nomor 30 tanggal 8 September 2005) yang backdated tanggal 21 Desember 2004 tanpa munas para advokat yang telah dikoreksi oleh pendirian KAI via inisiatif bang Adana Buyung Nasution pada tahun 2008 dengan munas para advokat di Jakarta yang dihadiri +/- 4.000 advokat tanggal 30 Mei 2008.

Mestinya dirumuskan lagi singlebar di level Sekunder dengan nama baru misalnya F.A.I (Federasi Advokat Indonesia) sebagai regulator, sedangkan di level primer tempat pembinaan advokat yang akan menjalankan tugas-tugas pembinaan dan pelaksanaan PKPA saja, serta pelaksanaan UPA dan regulasi OA tetap pada F.A.I

Sekarang isu inilah yang ramai sedang dibicarakan di Baleg DPR-RI yang akan dilaksanakan sebelum tanggal 20 November 2024 ini.

Jakarta, 6 November 2024

*Penulis adalah advokat senior

BACA JUGA  Perbedaan Hukum Perdata dan Hukum Pidana Dalam Jual Beli Barang