Rebo Wekasan: Antara Keyakinan dan Kearifan Lokal

Rebo Wekasan: Antara Keyakinan dan Kearifan Lokal
ilustrasi Kalender Agustus 2025.(Foto: SP)

SUDUTPANDANG.ID – Bulan Safar 1447 H segera berakhir. Di penghujung bulan ini terdapat satu hari yang dianggap istimewa oleh sebagian masyarakat, yaitu rabu terakhir yang dikenal dengan sebutan ‘Rebo Wekasan’. Tradisi tersebut telah berlangsung turun-temurun dan tetap bertahan hingga kini.

Secara bahasa, istilah ini berasal dari kata “Rebo” yang berarti Rabu dan “Wekasan” yang berarti akhir atau penutup. Berdasarkan Kalender Hijriah Indonesia 2025 yang diterbitkan Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag) RI, Rebo Wekasan atau Rabu terakhir di bulan Safar 1447 H jatuh pada 20 Agustus 2025. Momentum ini diyakini sebagai saat turunnya bala, sehingga masyarakat mengisinya dengan doa bersama dan amalan tertentu.

BACA JUGA  Bersama Jaga Kondusivitas Trenggalek di Hari Pers Nasional

Bagi sebagian kalangan, Rebo Wekasan dianggap sebagai bentuk ikhtiar spiritual. Mereka percaya doa yang dipanjatkan dapat menjadi benteng dari marabahaya. Ritual yang dilakukan pun tidak terlepas dari ajaran Islam, seperti membaca surat Yasin, istighosah, dan shalawat. Dengan cara ini, masyarakat memadukan kearifan lokal dengan nilai religius.

Meski begitu, pandangan berbeda juga muncul. Sebagian umat Islam menilai anggapan adanya hari sial bertentangan dengan ajaran agama yang menolak tahayul. Namun, Rebo Wekasan tetap dipandang positif karena menjadi sarana mempererat ikatan sosial, memperbanyak doa, dan mengingatkan manusia akan pentingnya mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Di tengah modernisasi, fenomena ini justru semakin dikenal. Melalui media sosial, banyak orang membagikan doa-doa khusus pada hari itu sebagai bentuk dakwah yang sederhana. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi lama dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan makna.

BACA JUGA  One Way Diperpanjang hingga Tol Semarang-Solo

Dengan demikian, Rebo Wekasan bukan sekadar perdebatan tentang keyakinan atau tahayul. Lebih jauh, tradisi ini menjadi simbol kesinambungan antara budaya, spiritualitas, dan kehidupan sosial masyarakat. Ia mengingatkan bahwa doa dan kebersamaan tetap memiliki peran penting dalam menjaga harmoni di tengah perubahan zaman.(01)