“Peran pemerintah sangat penting dalam mencegah maraknya pinjol ilegal yang telah meresahkan masyarakat, sehingga diperlukan adanya penegakan hukum yang menimbulkan efek jera. Di sisi lain masyarakat harus ekstra hati-hati, terutama agar terhindar dari perusahaan pinjol bodong dan agar terhindar dari belenggu riba.”
Oleh Dr. Amirsyah Tambunan, MA
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) telah membuat dimensi ruang dan waktu tanpa batas serta memberikan banyak manfaat bagi masyarakat, tapi tidak sedikit pula menyebabkan kemudharatan bagi orang banyak.
Salah satu contoh adalah maraknya pinjaman online (pinjol) di tengah terpaan sulitnya kehidupan rakyat akibat dampak pandemi COVID-19. Pertanyaannya, di mana letak kedaulatan ekonomi bangsa untuk mengatasi terpaan kesulitan ekonomi masyarakat?.
Bung Hatta pernah mengatakan, agar menjadi tuan di negeri sendiri, maka kedaulatan nasional dan kedaulatan ekonomi bangsa harus diperjuangkan karena kedaulatan dimaksud tidak akan jatuh dari langit.
Dalam kaitan ini, ada tiga kondisi yang sedang dihadapi Indonesia saat ini. Pertama, pola dominasi kegiatan agraris pra industri, seperti tambang telah dikuasai asing. Kedua, adanya budaya produksi massal berskala raksasa yang juga di kuasai asing. Ketiga, berkembangnya masyarakat informasi yang mestinya dapat menjadi solusi dalam menggerakkan ekonomi.
Masalah lain, era kemajuan teknologi informasi yang mengglobal kian mengaburkan batas-batas yang membedakan bisnis, media, dan pendidikan, bahkan ada sisi buruk yang sangat nyata di bidang ekonomi saat ini, yakni berkembangnya sistem pinjol yang banyak merugikan masyarakat luas.
Pinjol jadi pilihan, riba semakin dalam
Perlahan tapi pasti, pinjol saat ini telah menjadi pilihan banyak orang di tengah terpaan sulitnya kehidupan masyarakat akibat dampak pandemi COVID-19 selama hampir dua tahun terakhir ini.
Dalam kaitan ini, artikel di salah satu media mainstream menyebutkan, ternyata saat ini sekitar 68 juta rakyat mengikuti pinjol. Artinya, dari 170 juta penduduk usia produktif di Indonesia, 40 persen di antaranya mengikuti pinjol (setidaknya satu dari tiga orang kemungkinan punya pinjol).
Dengan total nilai pinjaman Rp. 260 trilyun, artinya rata-rata per orang meminjam Rp. 4 juta. Jika margin bunga yang terkait kira-kira 35 persen saja, maka ada potensi margin keuntungan perusahan pinjol sekitar Rp. 90 triliun.
Tak heran saat ini ada 4.874 akun pinjol ilegal. Jika ditambah sekitar 200 akun pinjol legal, maka ada 5.000-an akun pinjol. Maka, rata-rata per akun pinjol mengelola dana pinjaman Rp. 52 milyar dengan potensi margin keuntungan masing-masing Rp. 18 milyar.
Ini merupakan sebuah size bisnis yang sangat besar, sehingga dibutuhkan adanya regulasi yang ketat. Di sisi lain, diperlukan kehati-hatian dan kebijaksanaan masyarakat agar tidak tegiur kemudahan pinjol dan terjerumus dalam riba.
Bayangkan, ambil pinjol Rp. 1 juta, dan yang diterima Rp.700 ribu karena dipotong biaya admin di muka (perusahaan pinjol sudah untung lebih dulu), sedangkan bunga pinjaman tetap dihitung based on Rp. 1 juta itu.
Belum lagi ada kasus yang lebih parah. Ada yang meminjam ke perusahaan pinjol yang informasinya diperoleh di medsos. Pinjamam tidak ditransfer, namun ditagih terus beserta bunganya yang sangat tinggi, plus ancaman kekerasan jika tidak dibayar.
Hal seperti ini jelas tidak boleh terjadi dan harus dilakukan tindakan hukum yang tegas. Mestinya kemajuan teknologi informasi memungkinkan dan memudahkan manusia untuk saling berhubungan dengan cepat serta memberikan banyak manfaat, dan bukannya malah disalahgunakan untuk merugikan masyarakat.
Dalam situasi tersebut, instusi negara seperti Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu terus menjalankan komitmennya untuk mengawal kedaulatan ekonomi nasional seperti diamanatkan Konstitusi.
Konstitusi pasal 33 (2) menyebutkan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Implementasi konsitusi ini harus memperkuat posisi masyarakat madani, yakni masyarakat yang berkeadilan, beradab, demokratis, dan berdaulat secara ekonomi dan politik dalam dinamika perubahan lingkungan.
Dalam kaitan ini pula masyarakat bisa dibantu melalui skema pembiayaan online yang terjamin aman seperti melalui koperasi syariah dan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang memiliki fungsi sosial dan komersial.
Di sisi lain, ketergantungan kepada sumber daya asing harus dikurangi sejauh mungkin, tapi mengajak masyarakat untuk menjadi kekuatan otonom guna membangun harga diri dan martabatnya, sehingga tidak perlu membungkuk kepada pemilik modal.
Pada titik ini pula peran pemerintah sangat penting dalam mencegah maraknya pinjol ilegal yang telah meresahkan masyarakat, sehingga diperlukan adanya penegakan hukum yang menimbulkan efek jera. Di sisi lain masyarakat harus ekstra hati-hati, terutama agar terhindar dari perusahaan pinjol bodong dan agar terhindar dari belenggu riba.
Sekali lagi saya menekankan pentingnya amanat Konstitusi pasal 33 (1) yaitu menyusun perekonomian nasional sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, terlebih saat ini banyak kelompok masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi akibat dampak COVID-19.
*Penulis, Dr H Amirsyah Tambunan MA adalah Sekjen MUI dan Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta/Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) yang juga Ketua Dewan Pembina Lembaga Advokasi Konsumen Muslim Indonesi (LAKMI).