“Bukankah putusan MK tersebut adalah hasil putusan MK dalam kedudukannya sebagai the guardian of constitution. Fungsi pengawalannya mungkin dengan peristiwa ini, sudah menjadi pupus.”
Oleh Prof. DR. O.C.Kaligis
Jakarta, Kamis, 24 November 2022.
Analisa Hukum Ruat Caelum
1. Berita mengejutkan hari ini di harian Kompas, tanggal 24 November 2022.
2. Berita pertama mengenai Menilik Penggantian Hakim Mahkamah Konstitusi.
3. Berita kedua berjudul “Runtuhnya Pilar-pilar Negara Hukum, Analisis Politik” oleh Bivitri Susanti, Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
4. Sebagai praktisi hukum dan seorang akademisi, saya cukup terkejut membaca penggantian Hakim Konstitusi atas usul DPR. Hakim Konstitusi Prof. Aswanto diganti oleh Hakim Konstitusi Guntur Hamzah.
5. Apalagi pengangkatan Guntur Hamzah dan penggantinya Prof. Aswanto, mestinya dimulai dari usul Ketua Mahkamah Konstitusi.
6. Sekalipun kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, intervensi DPR yang melanggar konstitusi dan Undang-undang MK tetap dilaksanakan.
7. Saya lalu teringat saat Dr. Hamdan Zoelva yang menolak untuk diuji menjelang masa jabatannya yang kedua kalinya.
8. Sebagai seorang hakim tidak pantas untuk mengikuti proses seleksi kelayakan kembali, artinya sama halnya seperti meragukan kredibilitas dan integritasnya.
9. Masa harus diuji lagi, menimbang bahwa setiap harinya baik sebagai pemimpin sidang, maupun sebagai anggota, tiap hari Hamdan Zoelva menjalankan praktik sebagai Hakim Konstitusi, yang pertimbangan putusannya berdasarkan undang- undang dan peraturan yang berlaku?.
10. Karena Dr. Hamdan menolak untuk diuji kembali, Dr. Hamdan Zoelva akhirnya mengundurkan diri.
11. Saya yang berpraktik sebagai praktisi di Mahkamah Konstitusi, setahu saya putusan putusan mereka tidak selalu dibuat secara aklamasi.
12. Setiap kali menjelang putusan, tiap-tiap hakim memberi pertimbangan hukum secara independen, sehingga sering terjadi adanya dissenting opinion.
13. Hakim Konstitusi Guntur Hamzah, pengangkatannya memang istimewa, karena tidak melalui uji kelayakan, tidak melalui rekam jejak dan wawancara, tidak melalui seleksi terbuka pun, tidak melewati Panitia Seleksi (Pansel).
14. Di hari selanjutnya kedudukan Hakim Konstitusi, tidak lagi aman, alias setiap waktu dapat dilengserkan melalui usul DPR-RI.
15. Yang tidak setuju oleh usul DPR adalah sebagian ahli hukum yang hendak mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara yang menurut saya akan sia- sia apalagi setelah Bapak Presiden memberikan persetujuan atas usul DPR-RI.
16. Sekalipun pelantikan Guntur Hamzah tepat dilakukan sebelum putusan Mahkamah Konstitusi yang menganulir usul DPR, dengan diktum MK, tidak sahnya usul DPR-RI mengganti Prof. Aswanto, tetap saja putusan MK tersebut dikesampingkan.
17. Penunjukkan langsung saudara Guntur Hamzah belum tentu dirasakan nyaman oleh para Hakim Konstitusi sekarang, para Hakim MK yang tidak menyetujui usul DPR-RI menggantikan Prof. Aswanto.
18. Sekalipun mungkin Prof. Aswanto di dalam hati kecilnya tidak menyetujui penghentian dirinya Prof. Aswanto secara sangat santun di media menerima putusan Presiden tersebut.
19. Alasan Prof. Aswanto, beliau telah cukup mengabdi di Mahkamah Konstitusi, sehingga beliau berpendapat masa baktinya di MK, sudah cukup.
20. Kehadiran Guntur Hamzah sebagai Hakim Konstitusi, jelas berlawanan dengan para hakim pemutus yang tidak menyetujui pengangkatan Guntur Hamzah melalui usul DPR-RI.
21. Bukankah putusan MK tersebut adalah hasil putusan MK dalam kedudukannya sebagai the guardian of constitution. Fungsi pengawalannya mungkin dengan peristiwa ini, sudah menjadi pupus.
22. Lebih berbahaya lagi, menjelang Pemilihan Calon Presiden tahun 2024 mendatang.
23. Putusan-putusan MK, menjadi sorotan. DPR-RI bila putusan tersebut dalam anggapan mereka berlawanan dengan kehendak penguasa, bisa saja Hakim Konstitusi lainnya mengalami nasib di “Aswanto-kan”.
24. Padahal sumpah para Hakim Konstitusi sesuai Pasal 21 UU Nomor 24 Tahun 2003 UU MK adalah taat kepada UUD ’45 dan semua undang-undang yang berlaku.
25. Tadinya saya berpendapat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan final dan mengikat.
26. Dari uraian analisis politik (bukan analisis hukum) saudara ahli Bivitri Susanti, saya bisa menyimak alasan politik usul penggantian tersebut, karena katanya banyak putusan Prof. Dr Aswanto dianggap melawan kehendak pembuat undang-undang.
27. Lalu menjadi pertanyaan, di mana letak putusan yang kolegial itu, yang melawan kehendak DPR atau melawan undang-undang?.
28. Seperti saya katakan di atas, setahu saya seorang Hakim Konstitusi atau tiap-tiap Hakim Konstitusi, sebelum putusan, bebas memberi pertimbangan hukumnya sendiri sendiri secara independen.
29. Saya termasuk yang meng-amini analisa politik saudara Bivitri Susanti mengenai Runtuhnya Pilar Pilar Negara Hukum.
30. Dengan peristiwa tersebut, dapat dimengerti bila banyak ahli hukum berpendapat bahwa mungkin Indonesia bukanlah lagi termasuk negara hukum?. Semoga pendapat tersebut keliru.
Dengan hormat,
Teman-teman media yang peduli dengan keadilan
Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, S.H., M.H.