“Karena pihak yang paling diuntungkan terhadap laba korporasi adalah pemegang saham. Dengan demikian, ada baiknya Polri tidak hanya menyidik pengurus, namun juga pemegang saham.”
JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Pakar Hukum Pidana Korporasi Ari Yusuf Amir menekankan pentingnya penegakan hukum terkait pertangungjawaban pidana bagi korporasi penimbun barang.
Hal ini disampaikan Advokat senior itu, terkait gencarnya aparat kepolisian melakukan operasi terhadap para pelaku penimbun obat dan alat kesehatan (alkes) seperti oksigen untuk penanganan Covid-19.
“Seharusnya penegakan hukum tidak hanya menyasar pelaku individu ataupun perorangan. Namun juga menyasar korporasi, jika korporasi terbukti merencanakan penimbunan, maka harus diproses sebagaimana mestinya dengan sanksi hukum maksimal,” ujar Ari Yusuf, dalam keterangan pers di Jakarta, Jumat (23/7/2021).
Menurut Ari, sejak awal pandemi pada awal tahun 2020 lalu, selain dihantui kecemasan tertular virus, masyarakat juga masih harus menanggung penderitaan yang lebih parah karena kelangkaan barang, obat, dan alat kesehatan yang dibutuhkan baik untuk preventif maupun restoratif.
“Biasanya tindakan menimbun dilakukan bila ada situasi genting, seperti gejolak sosial-politik maupun wabah penyakit. Oleh sebab itu pemerintah telah mengeluarkan beberapa undang-undang terkait masalah penimbunan,” kata peraih gelar doktor ilmu hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang disertasinya membahas pidana korporasi ini.
Ia pun memaparkan UU N0 29 tahun 1948 tentang Pemberantasan Penimbunan Barang Penting. Dalam undang-undang tersebut, yang dimaksud penimbun adalah siapapun selain pedagang (atau petani) yang mempunyai atau menyimpan barang penting lebih dari pada guna pemakaian sendiri (Pasal 2).
“Ancaman pidananya adalah penjara selama 5 tahun dan denda. Kemudian lahir UU No 1 tahun 1953, Jo UU No 17/Drt/1951. Dalam undang-undang tersebut diatur ketentuan tentang penimbunan, yaitu dilarang mempunyai persediaan barang dalam pengawasan dengan tiada surat izin oleh Menteri atau instansi yang ditunjuk olehnya sejumlah yang lebih besar daripada jumlah yang ditetapkan pada waktu penunjukan barang itu sebagai barang dalam pengawasan (Pasal 2),” papar penulis buku ‘Doktrin-doktrin Pidana Korporasi’ dan ‘Pidana Untuk Pemegang Saham Korporasi’ ini.
Ari menjelaskan, kedua undang-undang tersebut merupakan respon atas kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami penurunan secara drastis dikarenakan tingkat inflasi dunia sangat tinggi dan rusaknya pelaksanaan perlengkapan sandang pangan. Di samping banyaknya kejahatan-kejahatan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh para pejabat negara maupun masyarakat seperti penimbunan barang, pencatutan, dan lain sebagainya.
Kemudian, Pasal 1 Perpres. No 71 tahun 2015, Barang Kebutuhan Pokok adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat. Barang Penting adalah barang strategis berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional.
“Pasal 29 ayat (1) UU perdagangan mengatur pelaku usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang,” paparnya.
Larangan tersebut di maksudkan untuk menghindari adanya penimbunan barang yang akan menyulitkan konsumen dalam memperoleh barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting.
“Alat kesehatan termasuk oksigen ada dalam cakupan berbagai undang-undang tersebut,” jelas Ari.
Membahayakan Pemerintahan
Ia menyebut tindakan penimbunan dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan memanfaatkan kondisi kedaruratan, bukan hanya membahayakan nyawa orang lain, tetapi juga mengakibatkan gejolak ekonomi, dan pada ujungnya akan membahayakan pemerintahan yang sah, karena akan muncul anggapan publik bahwa pemerintah tidak becus menangani masalah kedaruratan.
“Oleh sebab itu perlu upaya-upaya hukum maksimal untuk mengganjar pelaku. Dari berbagai undang-undang dan peraturan, yang dimaksud pelaku adalah orang perorangan atau badan hukum (korporasi),” tegas Ari.
Ia menuturkan, terhadap pelaku penimbunan dapat dikenai sanksi berupa sanksi pidana kurungan, denda, maupun sanksi administrasi. Terhadap pelaku yang berupa badan usaha, maka korporasi yang telah diakui sebagai subjek hukum, dianggap dapat melakukan perbuatan pidana dan karena itu dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
“Korporasi sebagai subjek pidana dan karena itu bisa dimintai pertanggungjawaban pidana telah diadopsi dalam sistem hukum di Indonesia dengan diundangkannya UU No. 17 tahun 1951 tentang Penimbunan Barang. Meskipun demikian, sistem ini baru dikenal luas dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi pada tahun 1955,” paparnya.
Pasal 15 UU No.7 Darurat Tahun 1955