Sudutpandang.id – OC Kaligis kembali menulis surat dari Lapas Sukamiskin Bandung yang ditujukan kepada Ketua dan Wakil Ketua DPR-RI. Dalam suratnya, Praktisi Hukum senior ini memberikan masukan soal revisi UU Pemasyarakatan (PAS) dan berharap dapat disahkan.
Berikut isi surat selengkapnya yang ditulis OC Kaligis untuk DPR-RI:
Sukamiskin, Sabtu 10 April 2020.
Hal: Remisi
Kepada yang saya hormati Ketua dan para Wakil Ketua DPR-RI
Perkenankanlah saya Prof. Otto Cornelis Kaligis, baik selaku Praktisi, Akademisi dan sekarang dalam kapasitas saya sebagai warga binaan Lapas Sukamiskin, menyampaikan suara hati saya sekaligus mewakili teman-teman senasib di Sukamiskin dan di Lapas pada umumnya.
Kami sangat mengharapkan agar revisi Undang-undang Pemasyarakatan yang telah disetujui DPR-RI, dan dimajukan Pemerintah melalui kerja keras Menteri Hukum dan HAM, Bapak Yasonna Laoly, akhirnya dapat disahkan.
Berikut masukan kami:
1. Undang-undang Nomor: 12/1995 mengenai pemasyarakatan. Asas yang mendasari terdapat di Pasal 5 yaitu Azas Pengayoman. Sedang pelaksanaanya tedapat di Pasal 14 yang adalah penjabaran dari azas.
2. Mengenai PP 99/2012. Antara tahun 1995, dengan lahirnya UU Pemasyarakatan sampai lahirnya PP 99 di tahun 2012. Azas dan penerapan equality before the law sesuai konstitusi UUD 45, pasal 27 (1) dan pasal 28 D(1), I diperlakukan terhadap semua warga binaan.
Contohnya: Kasus korupsi Jaksa Urip dalam kasus Arthalyta Suryani alias Ayin. Urip divonis 20 tahun. Melalui remisi berdasarkan UU Nomor: 12/1995, Jaksa Urip hanya menjalani vonis di Sukamiskin, selama 9 tahun, akibat adanya remisi.
3. PP 99/2012 dirancang dan dilahirkan oleh pemain tunggal Prof. Denny Indrayana. Tanpa sama sekali melibatkan Dirjen Pas Bapak Sihabuddin yang punya pengalaman di Lapas selama 40 tahun. Menurut Pak Sihabuddin, seandainya dia dilibatkan, kekacauan peraturan PP 99/2012 dapat dihindari. Sihabuddin menganjurkan agar PP 99/2012 direvisi dan dirombak total karena bertentangan dengan konstitusi, bertentangan dengan UU Nomor 12/1995.
4. Menurut Dirjen Pas, Pak Sihabudin dalam keterangan tertulisnya tertanggal 16 November 2015 (lampiran 1), dia melihat bahwa PP 99/2012 bertentangan dengan isi dari UU Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan terutama berkaitan dengan pembinaan Lapas-lapas yang berakibat dapat memicu keresahan di antara warga binaan di Lapas/UPT (Unit Pelaksana Teknis), hingga pada akhirnya akan menimbulkan kerawanan keamanan pada lingkungan Lapas/UPT di jajaran Pemasyarakatan.
5. DPR-RI dalam Laporan Panitia Angket DPR-RI yang diedarkan oleh Panitia Angket tertanggal Februari 2018 mempunyai pendapat yang sama. Kami kutip pandangan Panitia Angket di halaman 42.
“Peraturan Perundang-undangan. “Terbitnya PP 99/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32/1999 tentang syarat dan tata cara Pelaksanaan hak warga binaan Pemsyarakatan yang mengisyaratkan salah satu persyaratan administrasi yaitu kesediaan warga binaan sebagai JC.
JC ditentukan pada posisi penyelidikan dan penuntutan kemudian pada PP 99/2012. “JC berlaku sampai di Lembaga Pemasyarakatan.” Padahal Kepala Lapas yang seharusnya punya kewenangan UU untuk mengatur seluruh warga binaan. Kompetensi remisi hanya ada di Kementerian Hukum dan HAM yang prosesnya dimulai dari Lapas dimana warga binaan dibina, bukan di KPK.
(Catatan saya: struktur organisasi Lapas. Remisi diberikan melalui Kabid Pembinaan, dimana dalam struktur kepegawaian, tidak seorangpun pegawai KPK yang duduk di sana. Bagaimana mungkin KPK yang tidak tahu menahu mengenai tingkah laku warga binaan di Lapas, turut memberikan rekomendasi, layak tidaknya siwarga binaan diberi remisi atau tidak.)
Lagi pula berdasar Putusan MK Nomor 33 tahun 2016, wewenang KPK berakhir pada putusan inkracht. Bahkan pada permohonan PK warga binaan, JPU KPK bukan lagi pihak termohon PK. Warga binaan di Lapas berada dibawah pimpinan Lapas dan untuk proses remisi warga binaan barada dibawah pengawasan langsung Kepala bidang Pembinaan Lapas yang bersangkutan.
6. “PP 99/2012 bertentangan dengan sistim perundang-undangan maupun dengan penerapan Criminal Justice System. Bertentangan dengan TAP MPR Nomor III tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Cara Urutan Perundang-undangan.
7. Selanjutnya masih Panitia Angket DPR-RI di halaman 43. ”Terjadi diskriminasi yang tidak memiliki landasan hukum, dimana warga binaan tindak pidana korupsi pada umumnya dalam memperoleh hak-haknya yaitu hak remisi, asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan lain sebagainya. Kepada warga binaan koruptor dipersyaratkan harus memiliki predikat JC, yang tidak memiliki landasan hukum.
8. Remisi adalah hak universal tanpa diskriminasi. Demikianlah putusan Hakim Agung Artidjo dalam perkara pidana korupsi saudara Muhtar Ependi. Mahkamah Agung menolak permintaan JPU KPK untuk tidak memberi remisi kepada Muhtar Ependi. Pertimbangan Mahkamah Agung di halaman 149 Putusan Nomor: 2368 K/Pid.Sus/2015, Hakim Agung Artidjo menolak permohonan KPK dengan pertimbangan hukum dalam perkara a quo yang bunyinya sebagai berikut: “Hak remisi bersifat universal, diberikan kepada warga binaan yang memiliki kelakuan baik.”
9. Perlawanan juga dilakukan oleh DPR-RI. Pansus DPR-RI dengan tegas didalam laporan Pansus terhadap KPK, menentang PP 99/2012 yang menurut wakil rakyat di DPR-RI, melalui Pansus, bahwa PP 99/2012 adalah inkonstitutional. Bahkan Pansus dengan tegas menyatakan bahwa justice collabolator, tidak punya dasar hukum. Jika pelaku utama tidak terjaring, pelaku utama menikmati uang korupsi sendirian. Begitu OTT pelaku utama dianugerahi oleh KPK status Justice Collabolator, dengan hak remisi dan hak-hak lainnya yang meringankan vonis sang penyandang JC. Demikianlah pernyataan DPRRI di halaman 43 Laporan.
10. Hak diskresi KPK memberi status Jusctice Collabolator, dilakukan tanpa standard yang jelas dan baku. Bahkan pemberian Justice collabolator adalah sumber korupsi yang bisa dilakukan oleh oknum penyidik KPK. Terjadi tebang pilih pemberian Justice Collabolator.
11. Berdasarkan Undang-undang, pendapat DPR-RI, putusan Mahkamah Agung, seharusnya dihindari pemberian remisi yang diskriminatif, suatu fakta hukum yang bertentangan dengan konstitusi. Konstitusi yang mendasari NKRI sebagai negara hukum, dimana setiap warga negara harus mendapat perlindungan hukum yang sama, termasuk pelaksanaannya.
Hal ini diatur didalam pasal 1 junctis pasal 27, 28 UUD 1945 . Pasal 27 (1) UUD Amandemen: mengenai jaminan perlakuan persamaan hak di depan hukum. Pasal 28 D (1) mengenai hak jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta diberlakukannya asas equality before the law. Pasal 28 :Perlindungan negara melawan perlakuan diskriminatif. Sumpah Presiden pun di Pasal 9 mewajibkan Presiden : taat Undang-undang.
12. PP 99/2012 yang diskriminatif, bertentangan dengan konvensi konvensi International. Bertentangan dengan Paris Convention, Deklarasi Hak Azasi Manusia 10 Desember 1948. Bertentangan dengan Mandela Rules. Bertentangan dengan International couvenant on Civil and Political Right yang diadopsi dan diratifikasi oleh NKRI melalui UU Nomor 12 tahun 2005. Perlakuan diskriminatif melanggar HAM, yang harus diperlakukan adil berdasar azas equality before the law.
Di Sukamiskin rata-rata warga binaan vonis korupsi kejaksaan diberi remisi. Bukti terjadinya diskriminasi pemberian remisi, tebang pilih vonis KPK dengan vonis Kejaksaan.
13. SBY pelindung KPK untuk kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum KPK. Buktinya kasus korupsi Bibit-Chandra Hamzah. Mereka berdua telah ditahan di Mako Brimob siap segera diadili, setelah Jaksa menyatakan P-21. Berarti berkas kasus korupsi pidana Bibt-Chandra Hamzah, siap diadili.
Melalui rekayasa pembentukan Tim 8 yang dibentuk SBY, akhirnya Plt Jaksa Agung Darmono yang diangkat oleh SBY, mengeluarkan ketetapan deponeering. Melanggar motto SBY sendiri: “Katakan Tidak Kepada Koruptor. Melanggar janji SBY di Cikeas, yang melalui pakta integritasnya sendiri, berniat membentuk pemerintahan bersih, bebas korupsi.
Faktanya sampai detik ini Partai Demokrat meloloskan pencalonan Gubernur Kalimantan Selatan, saudara Prof. Denny Indrayana, yang masih menyandang status tersangka.
14. Pasal 2 UU Nomor 29/1999 mengenai KKN, melarang pencalonan gubernur tersangka korupsi. Somasi saya agar AHY mengoreksi putusannya, yang meloloskan tersangka dugaan korupsi Prof. Denny Indrayana, sama sekali tidak mendapat tanggapan.
Padahal saya melihat di Tv dan membaca di Medsos, betapa ngototnya AHY, melalui surat yang dikirimnya kepada Presiden Joko Widodo untuk menemui Presiden, dalam kasus kemelut Partai Demokrat melawan Moeldoko. Bahkan dalam pernyataan, yang cukup keras dari AHY, AHY seolah menuduh Presiden Jokowi ada dibelakang kemelut internal Partai Demokrat.