“Membeli sesuatu itu kadang bukan berarti kita perlu atau ingin memilikinya. Tetapi bisa jadi membuka jalan rezeki bagi penjual yang sedang menjual barang (atas jasanya). Alhamdulillah kalau orang itu lalu bersyukur mendoakan kita.”
Catatan Hendry Ch Bangun
Banyak sekali ‘tiket’ ke surga dijajakan di Stasiun Tanah Abang. Tiket itu tersebar di emplasemen stasiun, di depan pintu stasiun, di taman dan trotoar sekitar stasiun, terus memanjang sampai di jalan Jatibaru, bawah jembatan layang. Harganya tidak sama.
Mereka dijual orang-orang yang setiap pagi datang ke sini berjuang agar keluarganya bisa makan hari itu, agar anak-anaknya terus sekolah dengan bisa membayar iuran, atau membeli baju layak pakai, atau membayar sewa kontrakan rumah.
Orang yang tidak punya pilihan kecuali berusaha dengan susah payah, bekerja keras agar bertahan hidup. Ada yang berasal dari Rangkasbitung, Pandeglang, Lebak, Depok, Tangerang, dan daerah sekitaran Jakarta.
Mereka ini datang pagi seperti pegawai kementerian, staf perusahaan swasta, satpam, penjaga toko, yang mendapat gaji tetap. Tetapi mereka ini tidak.
Pendapatannya adalah apa yang dia peroleh hari itu. Dia yang berdebar menatap mata calon pembeli, pemakai jasanya, apakah nanti dia mendapat satu-dua lembar rupiah bergambar Idham Khalid, Frans Kaisiepo, ataupun Kapiten Pattimura.
Mereka inilah tukang ojek pangkalan yang memanggil-manggil calon penumpangnya dengan wajah senyum dan penuh harap. Pedagang lontong, tahu, bakwan untuk sarapan bagi para pegawai yang berangkat terburu-buru dari rumah. Sopir dan calo mikrolet yang memanggil-manggil mereka yang baru turun dari KRL. Penjaja minuman hangat dan dingin. Pengemudi bajaj, pedagang kaus kaki Rp10 ribu untuk tiga pasang, penjaja pisang, dan banyak kita lihat di seputaran stasiun Tanah Abang.
Kalau nasib sedang baik, saat sore menjelang wajahnya tersenyum. Ada rasa senang, gembira, minimal dalam 24 jam kegundahannya sudah lewat. Bisa jadi dia akan memesan nasi bungkus berlauk telor, sepotong ayam, ikan. Kalau keadaan sedang, mereka bersyukur karena minimal ada yang dibawa pulang.
Tetapi bila hari sedang buruk, hanya kekecewaan yang tergambar. Uang yang diperoleh hanya cukup untuk ongkos pulang. Perut mungkin hanya diisi lontong dan gorengan sebagai pengganti hidangan nasi untuk makan malam.
Hati disabar-sabarkan karena tahu sedang menghadapi ujian sambil mencari alasan ketika ditanya anak istri ketika pulang. Malam akan terasa panjang. Dan di dalam kereta yang penuh sesak pada suatu sore dan sehabis magrib, apa yang dicapai hari itu tergambar jelas.
Sambil berdesakan dengan penumpang yang bergegas pulang, ada senyum kepuasan. Sambil mencari celah agar bisa sekadar membuka gawai dan berkabar ke rumah, menyapa anaknya, bisa jadi terlihat wajah kelam karena target pendapatan tidak tercapai sesuai harapan.
Termasuk di sini kuli panggul, pembawa barang dengan kereta dorong dari pusat pasar ke kios angkutan barang antarpulau. Atau penjaga toko pusat perbelanjaan Tanah Abang yang pendapatan mulai berkurang karena semakin kehilangan pelanggan lantaran kalah bersaing dengan penjualan online yang murah dan lebih cepat.
Tetapi mereka ini orang yang tahu diri dan selalu mengingat Tuhan. Faham bahwa rezeki sudah diurus Sang Pemilik Alam, diatur jatahnya, tidak perlu dikejar-kejar sampai melupakan segalanya. Termasuk menjalankan ibadah rutin tepat waktu. Tanyakan saja kepada mereka bagaimana rezekinya hari ini, mereka tidak akan marah walaupun yang didapatnya tidak sesuai harapan.
“Rezeki sudah diatur, kita mah yang penting usaha aja,” kata penjual makanan yang sore itu masih banyak dagangannya tersisa.
“Mau apa, Bang, kita pasrah saja. Kalau cuma segini dapatnya, ya berdoa biar besok dapetnya banyakan,” kata pedagang kaus kaki yang berjualan sambil duduk di pinggir taman kawasan Tanah Abang.
Mereka ini golongan yang mencoba menikmati hari ini apa adanya. Bekerja, berusaha, dalam kecepatan normal, menjalankan peran sesuai ritmenya. Tidak mengambil hak orang. Tidak merebut ruang kehidupan orang lain. Tidak berebut masuk ke gerbong KRL dengan mendesak ke kiri dan ke kanan dengan pantat dan punggung, sebagaimana ditunjukkan pegawai berbaju rapi dan berbau wangi di stasiun-stasiun. Enjoy your life and let God do the rest.
Kita pun terkadang ingin demikian, tetapi kerap tergoda untuk terburu-buru secara berlebihan karena berpikiran bahwa kalau tidak cepat bisa tidak dapat. Bahwa rezeki itu melulu upaya manusia. Padahal sebaliknya rezeki sepenuhnya urusan Allah SWT.
Saat usia masih muda, pemahaman makna kehidupan masih dalam pencarian, di dunia yang keras seperti beton-beton bangunan tinggi di sepanjang Jalan Thamrin dan Sudirman, kemenangan dalam bersaing, adu cepat, adu pintar, adu keras, kita anggap sebagai jawaban.
Tetapi seiring waktu, asam garam kehidupan, kita semakin yakin bahwa ada pihak yang sudah membuat skenario kehidupan dengan lika liku dramanya. Ikuti saja dengan keihklasan, sebagaimana pohon yang membiarkan dirinya diikat, dipaku, dipangkas, ditebang, dan dia tetap memberi kesejukan bagi yang berteduh di bawahnya dengan daunnya yang rindang.
Lalu kita akan memikirkan mulai menjalani kehidupan dengan cara yang lebih sederhana: menikmati hari ini, mengoreksi kekurangan di masa lalu dengan memperbaiki diri, dan melihat masa depan dengan sudut pandang positif. Melakukan apa saja agar bekal yang dibawa kelak cukup untuk menempati kavling yang memadai.
Soal ini saya ingat di sebuah ceramah Prof Quraish Shihab soal kedudukan kita di akhirat nanti. “Tidak usah muluk-muluk. yang penting terhindar dari api neraka.”
Pasti ada yang ingin istana emas, silakan saja, tetapi artinya dia harus membeli satu demi satu batu bata, semen, marmer, di setiap detak kehidupannya di dunia ini.
Mari bertanya, sudah berapa batu bata yang kita sisihkan dari rezeki kita?. Sudah berapa banyak semen yang kita beli melalui sedekah ke anak yatim, membantu pengadaan mushaf Al Quran, memberikan makanan kepada tetangga yang miskin, menyumbang pembangunan mushala reyot di pedalaman?.
Berapa banyak marmer yang sudah kita tabung dengan senyum kepada kolega dan rekan kerja, dengan berkata baik dan bersikap sopan, dan selalu berterima kasih atas setiap kali bertransaksi?.
Kalau merasa belum cukup, mari kita beli sebanyak mungkin tiket ke surga. Meski naik Transjakarta murah, sesekali naiklah ojek pangkalan yang sangat berharap mendapat penumpang?. Belilah lontong, gorengan walau tidak lapar, dan menyumbangkannya ke sesama pejalan kaki ataupun teman di kantor?. Beli barang 3 pasang kaus kaki dari pedagang yang sepi pembeli. Belilah dua-tiga buah pisang. Sisihkan beberapa ribu rupiah kepada pengamen meski suaranya sumbang. Atau memberi tip Rp5000 bagi ojek online yang sudah kita gunakan jasanya.
Seperti pernah disampaikan penulis buku Islam dan penceramah ternama, Gus Baha, membeli sesuatu itu kadang bukan berarti kita perlu atau ingin memilikinya. Tetapi bisa jadi membuka jalan rezeki bagi penjual yang sedang menjual barang (atas jasanya). Alhamdulillah kalau orang itu lalu bersyukur mendoakan kita.
Tiket itu tentu saja tidak hanya ada di Stasiun Tanah Abang, atau pasar di sekitarnya yang setiap hari menjadi magnet bagi ribuan orang yang mengais rezeki. Di setiap tempat banyak dijual tiket ke surga. Di lampu merah, di pasar, warung-warung makan, di halte bus, di tempat orang berkeringat dan mengeluarkan banyak pikiran dan tenaga agar bisa hidup.
Mari membelinya sebanyak mungkin mumpung masih ada waktu.
Kebon Sirih, 5 September 2024.
*Penulis adalah Ketua Umum PWI Pusat 2023-2028, Wakil Ketua Dewan Pers 2019-2022