Diaspora Politik Muhammadiyah

Diaspora Politik Muhammadiyah
Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof. Dr. Ma’mun Murod Al-Barbasy, M.Si. (Foto: istimewa)

“Peran-peran politik Muhammadiyah sebagai jam’iyah yang berwajah kebangsaan harus bersinergi dengan peran-peran politik jamaah Muhammadiyah yang (sebagian) berwajah politik kekuasaan, sesuatu yang tak mungkin dan mampu dilakukan oleh jam’iyah Muhamadiyah.”

Oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy

Kemenkumham Bali

Dalam beberapa bulan terakhir mengunjungi beberapa daerah, terutama di luar Jawa, ditemukan setidaknya dua fakta politik menarik di lingkup warga (jamaah) Muhammadiyah. Pertama, ada kesadaran dan dinamika politik di lingkup jamaah Muhammadiyah, terutama di kalangan kaum muda bahwa politik kekuasaan itu penting dan dinilainya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari misi dakwah amar makruf nahi munkar. Maka tak ada pilihan kecuali harus terlibat aktif di dalamnya dan merebutnya.

Kesadaran bahwa politik itu penting, dinamikanya tidak atau belum sama antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Jawa Tengah dan Jawa Timur bisa disebut sebagai dua wilayah di Jawa yang dinamikanya cukup tinggi. Wilayah lainnya yang termasuk dinamis adalah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Barat. Di luar Kalimantan, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Maluku Utara, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan, juga termasuk cukup dinamis.

Kedua, terkait diaspora politik, ada wajah politik yang sedikit berbeda antara jamaah Muhammadiyah di Jawa dan luar Jawa. Wajah diaspora politik jamaah Muhammadiyah di luar Jawa jauh lebih nyata dan dinilai berhasil bila dibanding dengan diaspora politik yang terjadi di Jawa.

Partai Amanat Nasional masih tetap menjadi pilihan utama jamaah Muhammadiyah. Namun di banyak daerah sudah mulai ditemui kader-kader Muhammadiyah yang berhasil melakukan diaspora politik dengan aktif menjadi mengurus di banyak partai, baik yang lolos parlemen di Senayan maupun tidak. Menariknya lagi, bukan sekadar berdiaspora, dalam proses politik di partai-partai politik tersebut, jamaah Muhammadiyah berhasil menempati jabatan-jabatan strategis, bukan hanya di partai politik, tapi juga di eksekutif maupun legislatif.

Politik yang Berubah

Munculnya kesadaran bahwa politik kekuasaan itu penting, yang di antaranya ditandai dengan terjadinya diaspora politik, tentu patut mendapat apresiasi yang tinggi. Realitas politik saat ini sangat berbeda dan bahkan kontras dengan realitas politik yang terjadi di era Orde Lama, baik era Demokrasi Parlementer maupun Demokrasi Terpimpin. Juga berbeda dengan era politik di masa Orde Baru dan awal-awal era Reformasi.

Realitas politik saat ini tengah berada di titik nadir. Praktik politik berlangsung sangat liberal yang tergambar dari pemilihan yang serba langsung, suara terbanyak, dan berbiaya sangat mahal yang salah satunya ditandai oleh praktik politik uang secara demonstatif, serta cenderung ahistoris. Kekuasaan politik (dan tentu juga ekonomi) hanya dikuasai oleh segelintir orang (kaum oligarki).

Meskipun demikian, realitas politik ini tetap saja harus disikapi secara bijaksana oleh jamaah Muhammadiyah. Caranya tentu dengan tetap terlibat dalam proses politik yang ada saat ini, sembari terus berikhtiar untuk sebisa mungkin melakukan perbaikan-perbaikan. Membangun kesadaran kepada jamaah Muhammadiyah dan masyarakat pada umumnya bahwa politik itu penting untuk direbut. Bukan sebaliknya, dengan bersikap naif dan mencoba menjauh dari politik. Ini bukan pilihan sikap politik yang cerdas. Sebab semakin menjauh dari politik, maka realitas politik yang ada saat ini akan semakin tidak bersahabat.

Perkuat Sinergi Jam’iyah dan Jamaah

Adanya kesadaran berpolitik di lingkup jamaah Muhammadiyah, khususnya di kalangan kaum muda bahwa politik itu penting dan harus direbut, merupakan hal yang positif. Tentu kesadaran politik saja tak cukup. Perlu ditopang dengan strategi yang baik, yang salah satunya dengan membangun sinergitas yang baik antara Muhammadiyah sebagai organisasi (jam’iyah) dengan Muhammadiyah sebagai jamaah.

Sebagai jam’iyah melekat dalam dirinya wajah Muhammadiyah yang serba prosedural, cenderung kaku, dan strukturalis. Sebaliknya, sebagai jamaah, wajah Muhammadiyah tentu lebih lentur, fleksibel, dan kulturalis. “Dua wajah” ini secara politik akan fungsional kalau saling bersinergi dengan baik.

Sebagai jam’iyah, Muhammadiyah bukanlah organisasi politik. Muhammadiyah tak dibenarkan terlibat dalam politik dukung mendukung kandidat atau partai politik tertentu. Selama ini, positioning ini sudah dijalankan secara tepat oleh Muhammadiyah. Garis Khittah 1912 tetap menjadi pedoman fundamental Muhammadiyah dalam relasinya dengan politik. Sebagai jam’iyah, Muhammadiyah tetap pada pendiriannya sebagai organisasi keagamaan.

Sementara sebagai jamaah, Muhammadiyah adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai hak-hak politik, yang pada dirinya dibenarkan untuk tampil dan menduduki jabatan-jabatan politik. Tak ada larangan untuk aktif di partai politik atau institusi-institusi politik lainnya. Tak ada larangan pula pada dirinya untuk terlibat dalam politik dukung mendukung.

Disayangkan, pertama, selama ini Muhammadiyah hanya pandai merawat wajah jam’iyah-nya saja, sementara wajah jamaah-nya tidak dirawat dengan baik. Akibat, seperti anak ayam kehilangan induknya, dalam hal politik misalnya, jamaah Muhammadiyah cenderung bergerak dan berjuang nafsi-nafsi. Di lingkup jamaah sendiri juga minim tradisi untuk saling support dan membangun kohesivitas yang baik, sehingga tidak tampak sebagai jamaah yang solid dan agenda politiknya pun tak jelas pula. Seperti buih di lautan, jamaah Muhammadiyah terombang ambing, bergerak tanpa arah dan tujuan yang jelas.

Jam’iyah Muhammadiyah tak sering menyapa jamaah Muhammadiyah, terlebih terhadap mereka yang terlibat aktif di wilayah politik (kekuasaan). Bukan hanya tak sering disapa, tapi bahkan cenderung diasingkan. Sebagian penghuni jam’iyah bahkan masih sering memposisikan jamaah Muhammadiyah yang terlibat aktif di ranah politik secara nista.

Kedua, jam’iyah Muhammadiyah terlalu kaku dalam memposisikan diri dan berelasi dengan politik (kekuasaan). Perspektifnya masih memakai perspektif lama yang konservatif dan cenderung mono-perspektif, yaitu dengan memposisikan Muhamamdiyah hanya sebagai jam’iyah dan cenderung mengabaikan posisinya sebagai jamaah. Padahal Muhammadiyah itu jam’iyah dan sekaligus juga jamaah. Akibatnya, jam’iyah Muhammadiyah sering gagap dan gugup dalam berelasi dengan politik kekuasaan.

Kegagapan dan kegugupan tersebut sebenarnya tak perlu terjadi kalau Muhammadiyah mampu bersikap proporsional dalam berelasi dengan kekuasaan. Dan untuk bersikap proporsional hanya dibutuhkan satu hal, yaitu mampu mendudukan secara baik antara peran Muhammadiyah sebagai jam’iyah dengan peran sebagai jamaah. Peran-peran politik Muhammadiyah sebagai jam’iyah yang berwajah kebangsaan harus bersinergi dengan peran-peran politik jamaah Muhammadiyah yang (sebagian) berwajah politik kekuasaan, sesuatu yang tak mungkin dan mampu dilakukan oleh jam’iyah Muhamadiyah.

Sinergitas politik ini sangat penting, terlebih di era politik yang serba liberal dan cenderung ahistoris, yang dalam praktiknya dominan diukur berdasarkan kalkulasi-kalkulasi elektoral yang cenderung mengabaikan nilai-nilai normatif dalam politik. Sinergi politik ini akan saling mendukung, menutupi, dan melengkapi celah-celah yang bolong di antara kalkulasi elektoral dengan nilai-nilai normatif dalam politik. Apa yang secara politik tidak mungkin bisa dilakukan oleh jam’iyah Muhammadiyah akan ditutupi dan dilakukan oleh jamaah Muhammadiyah. Pun sebaliknya, yang tak mungkin dilakukan oleh jamaah Muhammadiyah bisa ditutupi dan dilakukan oleh jam’iyah Muhammadiyah. Di sinilah letak pentingnya sinergi politik, dan elit jam’iyah Muhammadiyah harus menyadari pentingnya sinergitas ini. Kalau tidak, maka kegagapan dan kegugupan Muhammadiyah dalam berelasi dengan politik akan selalu terjadi.(*)

*Penulis adalah Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta

BACA JUGA  Catatan Hukum OC Kaligis: Pembangunan Era Jokowi